Sabtu, 19 Januari 2013

Warkop Versus Perpustakaan


Oleh :Siti Aminah
Pascatsunami  tahun 2004 silam,  ada fenomena baru di Aceh, yakni bisnis warung kopi (warkop) yang menjamur. Banyaknya warung kopi membuat Aceh jadi perhatian  para wisatawan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Apalagi Aceh dikenal sebagai salah satu daerah produsen kopi. Kopi Aceh atau kopi Ulee Kareng pun sudah menjadi satu ikon  sebagai produk budaya Aceh.

Pengunjung ke warkop justru lebih banyak  dibandingkan dengan  jumlah pengunjung ke perpustakaan, baik perpustakaan  di perguruan tinggi, perpustakaan umum, maupun  perpustakaan sekolah. Peningkatan jumlah pengunjung dapat dilihat dengan kedua mata kita. Data jumlah pengunjung di perpustakaan Wilayah Banda Aceh, misalnya,  menunjukkan, tingkat pengunjungnya  masih sangat rendah, apalagi jika dibandingkan dengan pengunjung ke sejumlah warkop yang ada di  seluruh Aceh. Kebijakan kepala perpustakaan yang  membuka perpustakaan   hingga malam pun,   tetap   belum menumbuhkan minat warga Aceh untuk  membaca.

Minat baca di Aceh memang  masih sangat rendah. Dalam Waspada Online diberitakan bahwa hasil penelitian United Nations Development Programme (UNDP) beberapa waktu lalu, menunjukkan  bahwa minat baca masyarakat Aceh sangat rendah, yakni berada pada peringkat ke 112 dari 117 daerah yang diteliti. Rata-rata masyarakat yang diteliti mengatakan, rendahnya minat baca masyarakat Aceh disebabkan belum adanya perpustakaan yang dikelola secara profesional di seluruh kabupaten/kota di Aceh.

Kalau indeks perkembangan membaca di Indonesia hanya 0,009, bagaimana dengan Aceh?  Sementara kita melihat negara Jepang  berindeks 156. Jangan salahkan orang Jepang kalau mereka lebih cerdas dan maju dalam teknologi. Jangan heran kalau produk-produk Jepang dapat menguasai pasar dunia, termasuk Indonesia. Dan jangan marah kalau negara kita sering dikerjain  oleh negara tetangga. Itu karena  bangsa kita belum menunjukkan budaya yang peka terhadap ilmu pengetahuan.
Warkop ancaman?
Sebagai orang yang melek  informasi, tentu kita  memilih  tindakan yang membuat diri kita nyaman.  Bukan hanya dalam dunia kerja,  dalam dunia pengetahuan juga demikian. Kecanggihan teknologi informasi mengubah pola berpikir manusia menjadi serbainstant. Kalau bisa mendapatkan informasi  dengan mudah, kenapa hasus bersusah payah. Kalau dulu menyampaikan  informasi kepada teman di seberang sana melalui surat, saat ini dalam  waktu sedetik, pesan sudah dapat diterima di berbagai belahan dunia dengan bantuan  internet.

Perkembangan warkop  menjadi alternatif  baru bagi orang  yang gemar mencari informasi. Dengan menyediakan wifi gratis, sudah bisa dinikmati  sejuta informasi di dalamnya. Tanpa harus bersusah payah berkunjung ke perpustakaan yang bertumpuk segudang ilmu. Apalagi di internet juga terdapat E-book dan dokter google, yang diajadikan rujukan oleh semua kalangan. Sehingga moto yang diberikan oleh kaum Netizen saat ini adalah, “Apa pun masalahmu, dokter google  akan  menjawabnya”. Hal inilah, salah satu sebab,  warkop di Aceh dibanjiri  masyarakat dari berbagai usia.
Mereka nongkrong di warkop sambil menikmati internet gratis. Tak ada larangan  berdiskusi, merokok. Boleh juga menjadi  tempat perencanaan segala  hal. Pengunjung ke warkop juga dari berbagai kalangan. Baik dari kaum elite politik, budayawan, ekonom, dan juga para intelektual kampus yang nongkrong sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok.  Namun, di sisi lain,  kehadiran warkop mungkin juga menjadi ancaman bagi perpustakaan?

Peran perpustakaan

Perpustakaan di Aceh mestinya  memberi kontribusi signifikan untuk meningkatkan kualitas  pendidikan. Misalnya saja perpustakaan di sekolah. Sudah seharusnya dikelola oleh pustakawan yang profesional. Tujuannya  agar minat baca  bertambah setiap tahun. Jika melihat faktanya, terlihat pengelolaan perpustakaan  sekolah belum serius dilakukan.  Inilah yang menambah imej buruk  perpustakaan di mata masyarakat.


Di tengah-tengah minimnya minat baca,  perpustakaan dituntut lagi   untuk  bersaing   dengan warkop yang ada di Aceh, baik dari segi pelayanan maupun  perkembangan teknologi informasi.  Perpustakaan harus menyediakan fasilitas yang memadai.
Di sisi lain, Warkop di Aceh juga harus bisa menemukan solusi terbaru untuk meningkatkan minat baca. Selain dijadikan sebagai tempat bersantai, alangkah indahnya bila warkop juga menyediakan perpustakaan, sehingga pengunjung tidak bisa lepas dari budaya membaca. Begitu juga sebaliknya. Jika perpustakaan ingin mendapatkan keunggulan seperti fungsi kelima perpustakaan, yaitu sebagai arena rekreasi, maka ciptakanlah suasana seindah dan senyaman mungkin dengan pelayanan prima.  Seperti halnya  perpustakaan cafe, yang bisa menjadi contoh teladan untuk peningkatan minat  baca
Kita selaku warga Aceh justru harus sadar bahwa membaca adalah hal yang mudah, akan tetapi  rumit untuk dijadikan sebuah kebiasaan. Dengan mengubah pola pikir dan sadar akan membaca, justru membuat negeri kita ini jauh dari keterpurukan. Ini  seperti  ungkapan  yang sudah sering kita dengar, “Orang yang malas membaca paling dekat dengan kebodohan. Kebodohan paling dekat dengan kemiskinan.”  Penegasan  kalimat tersebut menunjukkan betapa bodoh dan meruginya  orang-orang yang malas membaca.

 Dimuat,di opini serambi Indoensia












1 komentar:

Yoshiewafa mengatakan...

:D tulisannya bagus mbak, abis Tsunami terus pada bikin warung Kopi :D.