Sabtu, 14 Juni 2014

Catatan Kecil Untuk Tagore Abubakar






Oleh: Siti Aminah

Tinggal menghitung hari, Indonesia kembali mengadakan pesta Demokrasi. Setelah pemilihan calon Legislatif, DPRK, DPRD, dan DPR RI 09 April lalu.  Dari 13 caleg yang sukses terpilih ke DPR RI, akhirnya Ir. H. Tagore Abubakar perwakilan dari dataran tinggi Gayo, terpanggil ke Senayan Jakarta. Kepercayaan masyarakat Gayo pun terlihat sangat besar atas kinerja sosok yang pernah menjabat sebagai Bupati Bener Meriah Priode 2007 tersebut. 

Sebagai masyarakat biasa, saya ingin mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran saya tentang Gayo sekarang. Tulisan ini juga terbentuk, berdasarkan hasil pengamatan saya melalui media Lintasgayo dan juga diskusi bersama aktivis gayo yang sering menyuarakan Gayo ke luar daerah. Meski pun saya tak pernah duduk bersamaan dengan Tagore, namun saya condong melihat bagaimana ketika Tagore pernah memimpin Bener Meriah tempo dulu.

Ini memang perkara yang tak pantas untuk dibicarakan kembali. Sebagai orang yang suka merekam jejak masa lalu. Saya tak pernah lupa, saat penyambut bulan suci ramadhan. Di desa saya, kebetulan banyak anak-anak yatim. Namun, hampir setiap bulan Ramadhan Tagore memberikan santunan kepada seluruh anak yatim yang ada di Kabupaten Bener Meriah. Kalau boleh saya katakan, santunan itu memang tidak bisa di nilai dengan materi. Karena, kalau di nilai dengan materi, tentu itu belum cukup untuk mensejahterakan jumlah anak yatim yang sangat banyak. Apa lagi, banyak anak-anak yang korban konflik, sehingga mereka kehilangan orang tuanya.

Tetapi, masyarakat begitu senang dengan kebijakan Tagore tersebut. Saya tidak tahu, apakah santunan yang diberikan merupakan uang dari pemerintah, atau saku pribadi. Yang paling penting  bagi saya adalah, mengingat pristiwa bulan Ramadhan tersebut. Mungkin, mengingat itu masyarakat kembali mengingat sosok pemimpin yang peduli terhadap rakyat-rakyat kecil. Bukan hanya itu, saya melihat Tagore juga sangat peduli dengan pendidikan, yang ada di dataran tinggi Gayo. Apapun kegiatan mahasiswa, Ia tak pernah menolak memberikan bantuan, walaupun hanya sedikit.

Pada 01 Oktober 2014, semua anggota legislatif DPR dan DPD RI akan di lantik. Seperti pelantikan pada umumnya, di sana tentu akan ada perjanjian dan sumpah jabatan yang akan di bacakan kepada semua anggota legeslatif. Namun, sebelum pelantikan itu akan dilaksanakan, kami mempunyai harapan besar kepada Tagore Abubakar selaku perwakilan orang Gayo. Kami tak ingin, ada beberapa kalimat yang ke luar dari banyak orang “ Mau jadi Presiden, mau DPR, apa pun itu, kami rakyat kecil tetap seperti ini saja. Kami tidak berubah” Pernyataan itu tentu tak ingin terulang kembali untuk para caleg yang akan mewakili daerah ini.

Harapan kami tidak terlalu besar. Pertama kami hanya ingin perkara Aceh Lauser Antara (ALA) yang banyak disuarakan masyarakat gayo hari ini, bisa terselesaikan dengan bijak, dengan paduan untuk kepentingan masyarakat Gayo, bukan kepentingan kelompok maupun pribadi. Kedua, kami melihat tidak ada perubahan yang signifikan yang tampak di daerah Gayo. Seharusnya, tugas pemimpin daerah hari ini adalah menyoal apa yang di butuhkan masyarakat Gayo bisa teralisasikan, artinya suara mereka juga merupakan bait-bait dari janji-janji yang pernah ditawarkan oleh pemimpin sebelumnya kemudian baru benar-benar jadi pemimpin. Saya melihat salah satunya masih banyak akses jalan antara satu desa ke desa yang lain mengalami rusak berat. Kalau mengatakan anggaran tidak ada itu bukan alasan, kerena semua sudah disediakan khusus untuk pemerintah daerah. Yang Kedua, akses pendidikan yang tidak merata. Baik secara kualitas maupun kuantitas.  Program untuk pendidikan seharunya di nomor satukan, karena tanpa pendidikan bagaimana mungkin daerah kita akan maju, jika cara berpikir masyarakatnya saja masih terkesan “loyo”. Ini juga akan berpengaruh kepada pendidikan anak, melihat kenyataan Gayo hari ini masih banyak anak-anak yang tidak bisa menikmati fasilitas pendidikan secara baik. Tidak cukup di sini saja, seharusnya pemerintah juga menyediakan beasiswa bagi anak-anak beprestasi, kurang mampu, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Ini juga menimbang, banyak SDM di Bener Meriah yang masih minim, terutama dalam mengelola kinerja di pemerintahan.

Ke tiga, terkait dengan pembangunan dan perekonomian. Jika di tinjau dari aspek Ekonomi, sebenarnya ‘haram’ masyarakat Gayo di kategorikan Kabupaten No 2 Termiskin dari Seumeulu. Pasalnya, sector ekonomi ada di tanah yang subur ini. Melihat mata pencaharian masyarakat Gayo pada umumnya adalah bertani, seharusnya harga kopi jangan turunnya dua tahun, naiknya hanya sebulan. Ini perkara lobi. Seharusnya sebagai produsen, kita bisa menciptakan sarana yang unggul untuk membawa kopi Gayo ke luar daerah, bukan hanya sekedar unggulan nama di tingkat Internasional namun seiring waktu hanya memberikan kekayaan kepada para tengkulak, sedangkan petani hanya menunggu harga mati yang tak pernah pasti. Wajar saja, kondisi ini sangat memprihatikan jika di biarkan begitu saja. Harapan saya yang terakhir adalah hapuskan kolusi dan Nepotisme. Karena itu, tak akan bisa membuat daerah Gayo menjadi maju. Bukankah Negara yang lemah itu membiarkan generasinya diambil oleh Negara lain, dan mempertahankan orang-orang yang bodoh di dalamnya? Semoga apa yang di cita-citakan masyarakat Gayo ke depan bisa tercapai, dan pemimpin hari ini bisa mengembankan amanah dari rakyatnya.

Penulis adalah Staf Program Newtwork for Education Wacth (NEW Indonesia) Alumni IAIN Ar-Raniry Banda Aceh









Kamis, 05 Juni 2014

Indonesia Gagal Menjadi Negara Maju

Bangsa Indonesia  gagal menjadi Negara maju di lima belas tahun yang akan datang. Ancaman tersebut terkait tingginya angka kemiskiminan mencapai 136 juta jiwa. Hal itu disampaikan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, dalam mata kuliah umum  di Gedung AAC  Dayang Dawood Darussalam Banda Aceh.

“Tingginya angka kemiskinan tersesbut akan menjadi tebesar bagi bangsa Indonesia. 136 jiwa  miskin harus benar-benar di benahi. maka bangsa Indonesia masih bisa optimis untuk memajukan menjadi Negara yang maju seperti Amerika, Jepang, dan China”. Ujarnya.

Dahlan Iskan, juga menyampaikan ada strategi khusus untuk bisa mengurangi angka kemiskinan, salah satunya dengan memproduksi bahan pangan, seperti beras, gula, dan BUMN harus menjadi jangkauan Asia Tenggara. Sehingga Indonesia dapat memproduksi pasar secara nasional maupun Internasional.
“Pengangguran tidak akan terjadi bila ekonomi tumbuh di Indonesia, bila pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia menjadi maju, justru pengangguran akan menjadi tertutupi bagi lulusan sarjana dari berbagai Perguruan Tinggi yang ada di diindonesia. Mahasiswa harus bisa mengembangkan usaha sendiri, agar terkesan mandiri dan bisa memajukan bangsa Indonesia nantinya” Harap Dahlan Iskan.

“Generasi bangsa Indonesia harus tetap optimis di lima belas tahun yang akan datang. Rasa optimis tersebut harus ditumbuhkan dari diri sendiri seseorang, agar bangsa Indonesia harus maju dan lebih bermartabat. Kemajuan bangsa Indonesia, tidak dipungkiri juga di tentukan oleh pemimpin bangsa Indonesia yang akan datang. Semga saja, masalah KKN di Negara ini bisa terhapuskan secara total.” Tambahnya.



Gedung 'Fy Over'

Jakarta, Sabtu 24 Mei 2014
Tepatnya  pukul 12:36 wib setelah azan dzuhur, aku baru membaca pesan di handphoneku. “Mina, lagi free gak hari ini? Ikutan acara ngomeng (ngomong english) atau praktik speaking sama bule-bule yuk...pukul 14:00 wib di yayasan balita sehat” Pesan itu jelas tertulis dari mbak Nur Febrian Wardi selaku direktur YBS.

“Bule....?” Sudah lama rasanya aku tak  berbicara bahasa asing itu. tiba-tiba aku, langsung mempersiapkan diri dan berangkat menuju lokasi yang ingin ku tuju. Balasan pesan kedua aku menerima alamat lengkap “ Naik kopaja 57 arah Blok M, lalu naik 615  ke arah Antasari, Turunnya di bawah Flyover Antasari di mesjid atau SMP 250”
Waktuku sangat singkat. Kalau aku berangkat dengan bus, tentu  aku datang, mereka akan pulang. Akhirnya, aku memilih membawa motor ke Antasari. Perjalananku sedikit rumit, selain karena aku tak hafal nama tempat,  kemudian ini pengalaman perdanaku membawa motor di area Jakarta.

Targetku aku tak boleh telat. Setiap persimpangan, aku selalu bertanya kepada orang alamat yang kutuju. Dari semua jawaban, semua sama. “ Lurus, ketemu lampu merah tiga kali, belok kiri, lurus lagi, belok kanan, kemudian lurus” Jawaban yang sangat menyebalkan pikirku. Kuikuti sesuai dengan petunjuk arah di jalanan. Kadang, di kota besar aku tak percara dengan jawaban orang, sehingga aku harus bertanya berulang kali.
Tiba di Blok M, aku melihat Kopaja 615 melintang di hadapanku.  Aku tak bisa mengikuti bus tersebut, karena ia harus menunggu penumpang. Sedangkan waktu hampir jam dua siang. Akhirnya, aku memilih bertanya kepada satpam di pinggir jalan.

“Pak, gedung Flyover dimana ya?”
“ Hah...flyover? daerah mana neng?”
“ Antasari pak, SMP 250.”
“Oh...lurus saja neng, nanti ketemu lampu merah ketiga belok kiri. Kamu ambil yang bawah jembatan ya.” Jawabnya.
“ Memangnya, kalau naek jembatan kenapa pak?”
“Itu khusus jalan mobil, motor  gak  bisa masuk, nanti ditangkap pak polisi” Tegasnya.
Sambil tersenyum, aku meninggalkan satpam dan melaju kencang mencari gedung  flyover. Kupandangi gedung disisi kiri dan kanan, namun aku belum juga menemukan nama ‘flyover’ dibangunan yang menjulang tinggi di kawasan Antasari tersebut.
Pilihan terakhir patokankanku adalah Mesjid. Di mana ada mesjid di sana aku berhenti. Tibalah di Mesji Al-Ihklas. Kubaca alamat yang tertera di handphoneku berulang kali.
“Mesjid atau SMP 250” Aku hanya melihat Mesjid di sebelah kananku, tapi smp 250 itu tak tampak di mataku.
Setelah ku menghubungi mbak Febri, ia mengatakan di  mesjid An-nur di perempatan lampu merah, ada tulisan angka 38. Akhir aku memutar balik. Ku parkir motorku di depan kantin mini. Ada tiga orang lelaki separuh abad duduk di sana.

“ Pak, gedung Flyover yang di atasnya angka 38 di mana ya pak?”
Tampak bengong di wajah mereka. Flyover? Angka? Aku heran, padahal ini sudah sesuai alamat, mengapa mereka malah kebingungan menjelaskan tempat tersebut.
Kemudian aku menunjukkan di atas jembatan.
“Pak, katanya di atas jembatan gedungnya.”
“Di atas jembatan ini hanya ada jalan, manusianya juga gak ada neng.” Jawab lelaki berkulit saoh matang tersebut kepadaku.
“ Kalau saya naik ke atas lewat mana ya pak? Kata teman saya acaranya di atas itu”
Tawa dari ketiga lelaki tua itu menggelitik di telingaku.
Saat aku mengatakan smp 250, baru mereka menujukkan arah lorong sebelah kiri dari perempatan tersebut. Sekilas aku melihat angka 38 di tembok jembatan. Apa itu maksud flyover 38? Dari pada kesasar, aku menelpon mbak Febri, tiba-tiba aku sudah melihat mbak Febri dihadapanku. Aku tersenyum, syukur aku tiba di YBS dengan selamat.
***
Saat memasuki YBS, aku disambut oleh beberapa bule berhidung mancung, tinggi, dan berambut pirang. Mereka adalah Chris, Polly dan Marti. Selain itu ada peserta dampingan yang terlihat semangat mengikuti kursus speaking tersebut.
Ini juga pengalaman pertamaku ngomeng sama bule-bule. Awalnya sempat merasa minder, karena aku melihat teman-teman yang sudah tiba di sana, tampak wajah-wajah orang mahir bahasa Inggris. Entah karena aku merasa Jakarta adalah tempat orang-orang hebat, sehingga aku malu mengekpresikan bahasa Inggrisku di hadapan mereka.

Nothing not impossible” Itulah mantraku sebelum bicara. Aku ngoceh ajah, meskipun mereka tak faham dengan kalimatku yang penting judul kali ini ya ngomeng aja. Di sini kami bercerita tentang  Tranportation, fotograph, and culture. Kami membentuk tiga kelompok. Masing-masing kelompok di bimbing oleh Chris, Marti, dan Polly. Biasa, dalam public speaking semua peserta harus memberikan opininya terkait pertanyaan yang diajukan oleh fasilitator. Contoh pertanyaan yang kuingat adalah “ Do you like go to Musuem or Cafe?” Kemudian peserta menjawab dengan persepsi masing-masing.
Ngomeng tak hanya memperkaya vocabulary seseorang. Di sini juga melatih mentalitas seseorang untuk  percaya diri dalam berbahasa Inggris. Pertemuan ini sangat luar biasa, tak hanya mendapatkan pengalaman baru, teman baru, aku sendiri mendapatkan semangat baru sepulang dari kursus ini. Semangat belajarku semakin bertambah. Apalagi melihat potensi peserta hampir semua aktif dalam berbahasa Inggris. Setelah dikoreksi, ternyata ada juga yang mahir dalam tujuh bahasa. Bahasa spayol, Jerman, Turki, China, Inggris, Jepang, ah entah negara mana lagi aku lupa. Sempat terbesit di pikiranku, ‘Ini anak makan nasi atau batu ya?’ Pikirku. Sedangkan aku hanya sedikit-sedikit, entah apalah arti sedikit itu dalam bahasa inggris just a little-litle. Minimal aku mendapatkan istilah baru, Flyover itu jembatan. Bukan bangunan yang tertulis angka 38 seperti yang kubayangkan.
 Semoga aku masih bisa mengikuti pertemuan selanjutnya. I love Ngomeng J




Sabtu, 24 Mei 2014

Nasib Dunia Pendidikan


   Oleh: Siti Aminah
Pendidikan di Indonesia adalah dunia sepi dan terbuang. Ia seperti ditakdirkan untuk menderita sendirian di tengah permasalahan bangsa yang serba kompleks. Kita sadar secara bersama, tetapi kita malah dibutakan dengan permasalahan politik yang begitu banyak menelan dana.  Pendidikan selalu terimajinalisasikan dan tenggelam atas siapa yang berkuasa dan bertahta di negeri ini. kekuasaan itu, mengakibatkan pendidikan tergantung dalam keterlenaan permainan kaum elit politik. Kita tak pernah berusaha untuk sama-sama sepakat bahwa”Pembangunan sarana pendidikan dikalangan rakyat jelata adalah lebih penting dari pada seluruh harta milik orang-orang kaya yang ada dalam negara.” Itulah ungkap John Adams presiden kedua Amerika, ketika membangun pendidikan negerinya dulu.

Sangat menyedihkan melihat kondisi bangsa saat ini. Semua orang terlena dengan kekuasaan, untuk merebut kekuasaan itu pun dihalalkan dengan berbagai cara agar dapat duduk di bangku panas di republik ini. Tak banyak, anggota DPR, DPRD, yang hanya duduk santai tanpa bicara apalagi untuk berbuat. Hanya  segelintir kecil dari mereka yang sibuk menyuarakan kepentingan pendidikan, selebihnya lebih kepada urusan politik dan usaha-usaha untuk mengumpulkan harta-harta haram dari negeri ini.

Jangan salahkan jika bangsa ini lama-kelamaan bangkrut di kerok oleh negara-negara maju di dunia ini. Karena jelas, kita tak pernah memperbaiki sumber daya manusia yang ada, politik yang carut marut, pendidikan yang terbaikan, ekonomi yang tak pernah maju. Jika menilai sebuah negara maju cukup sederhana, lihatlah bagaimana sistem pendidikan di negara mereka.

Negeri butuh seorang pemimpin visioner yang mengutamakan pendidikan dalam mencapai misinya. Dari tahun ke tahun masih banyak anak yang tidak mendapatkan hak untuk bersekolah, karena biaya pendidikan begitu mahal. Pendeknya, pendidikan kita adalah sebuah dunia yang penuh ironi dan paradoks. Dunia yang para pemimpinnya hanya bersuara besar untuk merubah bangsa, tetapi tidak menaruh minat pada pendidikan. Kita baru sadari bahwa bangsa ini kaya akan alam yang berlimpah, namun masih banyak anak-anak yang tak bisa menikmati dunia pendidikan.

Ingatkah pada era 1998? Melihat pergolakan mahasiswa sebagai kaum terpelajar dan intelektual berani menurunkan penguasa yang diktator? Tapi coba lihat sejauh mana kaum intelektual itu apakah merasa gundah terhadap dunia pendidikan? Adakah sebuah aksi yang dilakukan oleh para aktivis terkait dengan kondisi buku perpustakaan di sebuah perguruan tinggi serba minim? Adakah mereka bersuara untuk rakyat dan anak-anak miskin di pedalaman yang tak mendapatkan fasilitas sekolah yang memadai? Di mana suara progresif itu? kita tak melihat kegundahan dari mereka pengkritik bangsa seperti KAMMI, HMI, BEM, dan lembaga organisasi besar lainnya. Mereka hanya sibuk mengurus kepentingan politik yang tentu maaf lebih jelas hasilnya.

Dengan demikian, momentum hari pendidikan ini kita mengisi dan mengingatkan kita semua agar kita bisa bercermin dan menatap perubahan bangsa indonesia yang lebih panjang. Bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk menebus kebodohan kita selama ini yang sering dipermainkan oleh bangsa lain. Pendidikan bisa membuat orang terpimpin tatapi tidak memaksa, membuat negara besar namun tak diperbudak. Pendidikan satu-satunya jalan agar tak terjadi pembodohan intelektual, pemimpin harus kritis dan tegas dalam menyikapi masalah pendidikan di negeri ini. Bukan pemimpin yang menawarkan sejuta janji-janji palsu, namun berani merubah kepalsuan menjadi kejujuran yang murni untuk membangun bangsa ini.
Email: mina_jurnalis@yahoo.com







Sabtu, 05 April 2014

Meraih Impian di gudang Ilmu



Pagi itu hari masih mendung,  sekolahku masih terlihat sepi. anak-anak belum ada yang tiba di sekolah. Aku masih bisa mengembus embun di pagi itu.  Di sana,  Aku berdiri menunggu sahabat-sahabatku. Aku berusaha datang lebih awal dibandingkan dengan temanku yang lain, karena Aku harus berdayung sepeda dari kosku di Lingke. Rika adalah sahabat dekatku. Aku banyak belajar darinya. Selain waktu yang terus ia manfaatkan untuk belajar, Ia juga sering mengunjungi perpustakaan sekolah saat jam istirahat.  Aku sering memanggilnya dengan nama Uhkti. Wajar saja, diantara semua gadis di sekolahku, hanya Ia yang berpenampilan muslimah. Mulai caranya memakai hijab dari kepala hingga menutupi dadanya, Ia juga terlihat sederhana dan bersahaja.
Selain Rika, ada juga Sinta. Sinta temanku yang paling usil, cerdas, kemudian pemberani. Ia adalah harapan bagi semua anak-anak di kelasku. Kelas IPA meskipun terlihat sedikit lebih feminim dibandingkan anak IPS, tapi kami punya satu tujuan untuk mencapai sesuatu yang kami impikan. Misalnya kepala sekolah sering menaikkan SPP setiap semester, tak segan Sinta membuat tuntutan untuk menurunkan spp. Bukan alasan tak punya uang, tapi demi membela seorang sahabat yang tak mampu membayar uang sekolah. Begitulah mulianya Ia di mata kami.
“Assalamulaikum ukhti, “ Kataku pada Rika
“Walaikumusalam, Kaifa khaluk ya ukhti?” Tanya Rika
“Bikhair Alhadulillah”. Jawabku.
“Alhadulillah, bikhair...” Jawab Sinta yang tiba muncul dari belakang kami. Ia membenarkan kalimatku yang salah ucap. Aku memang kurang bisa berbahasa Arab. Tapi, Aku bangga mempunyai dua sahabat yang sangat cerdas.
“Oh ya Rika, Sinta, Aku punya berita bagus nih buat kita bertiga”
“Berita apa? Kasih tau dong..penasaran ini” kata Sinta sambil memelas.
Rika hanya terdiam menunggu jawaban dariku.
“Gimana, kalau kita ke perpustakaan saja, setelah jam istirahat. Biasanya Rika kalau udah ke pustaka pasti banyak ide cemerlang kalau sudah melihat tumpukan buku” Jawabku.
“Memangnya, kenapa harus ke pustaka? Mengapa kita tak duduk dikantin saja, bisa jajan sambil cerita” Tangkas Sinta.
“Ah, kau Sinta, tak pernah berhenti jajan, padahalkan tubuhmu sudah bisa tak makan hingga seminggu.” Ledekku. Kami tertawa bersama, wajah Sinta memerah.
“Sssst....” Tiba-tiba Rika memberi kode tak boleh berisik kepada kami.
“Kenapa ka?” Tanyaku.
“Ada kepala sekolah lewat.” Jawab Rika.
“ Oh, memangnya kenapa dengan kepala sekolah? Kamu ada masalah ka?” tanya Sinta.
“Bukan, Aku kesal saja, karena rencana kepala sekolah untuk menjadikan perpustakaan tempat permainan Tenis meja sungguh tak masuk akal. Aku merasa nyawaku telah kulekatkan di sana, di perpustakaan adalah tempat mendapatkan inspirasi” Jelas Rika.
“Apa??? Perpustakaan mau dijadikan tempat tenis meja?” Tangkas Tika dan Sinta serentak.
“Aku tak setuju dengan program gila itu. Aku tak ingin tempat menimba itu dijadika tempat olah raga. Perpustakaan lebih penting dari segalanya, tanpa perpustakaan mungkin kita buta. Yah, buta ilmu. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi anak cerdas, kalau perpustakaan tidak ada di sekolah. Ini adalah pembodohan” Tegas Sinta kesal.
“Hei..kalian tau kan, kalau Aku adalah penggemar perpustakaan? Aku sudah menempelkan impian dalam kertas, kalau suatu saat nanti Aku ingin jadi duta baca Indonesia. Kalian pernah mengenal dengan Tantowo Yahya? Nah, Ia adalah inspirasiku untuk bisa menuju ke sana.” Balas Rika memelas.
Aku hanya terdiam. Sinta dan Rika memang dua sahabatku yang kukenal rajin ke perpustakaan sekolah. Terkadang Aku menjadi cemburu ketika mereka bercerita tentang kisah novel “Pudarnya pesona cleopatra” karangan Habiburrahman Ar-Sirazy. Mereka juga sudah menuntaskan Sirah Nabawiyah, yang seharusnya di baca oleh kalangan mahasiswa. Aku cemburu terkadang mereka melukiskan impiannya dalam kertas putih, kalau Aku merebut dari tangannya wajah mereka akan memerah. Semua Aku tau tentang pustaka itu dan dua sahabat Sinta dan Rika.
“Oh, ya Aku punya ide, gimana kalau kita pergi menghadap ke kepala sekolah saja?” Kata Sinta menatap tajam ke arah kami berdua.
“Hah...!untuk apa? Mau bunuh diri, kamu tau kan kepala sekolah kita kan terkenal judes dan galak. Memang kamu berani?” Tanya Rika.
“Bukan Aku, tapi kita. Yah, kita lakukan bersama agar pustaka itu tetap berdiri tegak dibawah pohon filicium itu. Aku tak ingin, ilmu kita gersang menerima dari guru saja. Ini hanya sebatas usaha loh!” Jawab Sinta meyakinkan.
“Terus kita mau ngomong apa dihadapan kepala sekolah?” Tanyaku kembali.
“Kita minta kepala sekolah memberikan penjelasan lengkap mengenai status pustaka yang akan dijadikan tempat olah raga. Kemudian, kita menjelaskan betapa pentingnya pustaka itu tetap utuh di sana untuk penunjang pendidikan kita” Jelas Sinta.
Kami tertegun dengan ide Sinta. Ia memang teman kami yang sangat kritis dan cerdas. Keberaniannya tampil sebagai orator tetap eksis di semua bidang. Dari itu kami sering memanggilnya dengan sebutan “Cut Nyak Dien” Srikandi Aceh. Meskipun demikian, Ia tetap tawaduk menanggapi komentar positif dari anak-anak.
Hari itu, Tika, Sinta, dan Rika datang menemui kepala sekolah. Sinta sudah mempersiapkan pris riliese isi tuntutan apabila kepala sekolah tidak mau mendengarkan kata-kata mereka. Ia juga sudah mengajak diskusi seluruh kelas, mau berdemo apabila pustaka itu dijadikan tempat olah raga dan menguburkan pustaka dalam-dalam.
“Salamualikum...” Ucap mereka bertiga ketika masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.
Dengan wajah tegas, alisnya yang tebal membuat wajah Rika pucat seperti tahu yang direndam selama tiga hari. Aku masih siap siaga dengan makiannya. Sinta menarik nafas panjang siap dengan segala keberaniannya.
“Walaikumsalam. Silahkan masuk” Jawab Pak Burdan sambil membaca selembaran kertas di tangannya.
“Ia, ada apa?” Kata pak Burdan tanpa ada basa basi dan tak menatap sedikitpun ke arah ketiga siswi ini.
“Begini pak, kami mau menanyakan tentang rencana bapak menjadikan pustaka sebagai tempat olah raga tenis meja, jadi kami menanyakan prihal kebenaran dan alasan bapak.” Ujar Sinta. Kami berdua hanya berdo’a dalam hati agar  Pak Burdan tidak naik darah atas keberanian Sinta.
“Terus kalau ia, apa ada masalah untuk kalian? Apa hak kalian menanyakan hal itu?” Tanya Pak Burdan santai dan tegas. Mendengar jawaban tersebut hati kami tersentak kaget. Namun, Sinta masih saja berani. Ia tak ingin kalah dengan si Judes itu.
“Ma’af kalau kami sudah lancang untuk memasuki ruangan bapak, sebenarnya kami hanya ingin meminta penjelasan dari bapak selaku pembuat kebijakan. Bapak tau, bahwa kehadiran perpustakaan sekolah adalah bagian pencerdasan dan penambah wawasan murid-murid. Perpustakaan sekolah juga bagian dari Misi sekolah ini. Bagaimana mungkin Bapak bisa mengambil keputusan yang tak masuk akal itu” Balas Sinta dengan nada sedikit tegas namun teratur.
“Saya memang merencanakan untuk mengantikan perpustakaan tersebut dengan tempat olah raga yaitu tenis meja. Jadi, untuk sementara perpustakaan di tutup. Kita tau bahwa sebentar lagi sekolah kita akan mengirimkan dua peserta perwakilan sekolah untuk mengikuti PON di Jawab Barat. Yah, kita manfaatkan saja fasilitas yang sudah ada. Lagian kan, perpustakaan tidak banyak dikunjungi oleh kalian semua!” Pak Burdan menjelaskan dengan santai namun menusuk hati kami bertiga.
Bagaimana mungkin Pak Burdan mengatakan tak ada murid yang sering berkunjung ke perpustakaan? Mungkinkah kami harus melapor dulu ketika ingin membaca ke perpustakaan sekolah? Jelas sudah semakin lama semakin membuat kami pusing berlamaan dalam ruangan ber AC namun memanaskan hati itu. Namun Aku bisa membaca wajah Sinta, sepertinya Ia juga tak sabaran ingin membuat ribuan aksi untuk menyelamatkan perpustakaan itu.
“Alasan tak masuk akal” Kata Sinta sambil kesal, meninggalkan ruangan kepala sekolah.  Sinta tak tinggal diam. Isi tuntutan yang Ia buat semalaman tak ingin berujung sia-sia. Ia tak ingin rasa impiannya menjadi duta baca sirna hanya gara-gara tak melihat pustaka. Ia sedang mencari akal agar pustaka tersebut bisa bertahan dengan segudang ilmu di dalamnya.
Esok harinya, Sinta menulis surat kepada kepala sekolah. Ia tak ingin mengotori nama baik sekolahnya hanya gara-gara melakukan aksi hanya gara-gara masalah kecil.
Yth:
Bapak Burdan
Di Tempat

Sehubungan dengan diskusi kita minggu lalu, maka kami perwakilan murid  sekolah ini, akan meberitahukan pernyataan sikap atas kebijakan tanpa ada dukungan dari semua pihak. Dari itu, kami meminta agar bapak sudi kiranya membangun pustaka baru, apabila pustaka lama telah digantikan. Jika tidak, tidak segan-segan kami melakukan aksi dan mengundang media untuk memberitakan hal ini. Tentu semua terlihat sangat konyol.
Wassalam
Murid
Surat itupun langsung sampai dihadapan Pak Burdan. Ia menanggapi keberanian tiga siswa ini. Dari itu, Ia meminta petugas sekolah agar mereka bisa menghadapnya di ruangan kepala sekolah.
Dengan wajah lesu dan cemas, mereka memasuki ruangan Pak Burdan. Sinta tak pernah takut dengan segala keputusannya. Ia siap dengan resiko yang Ia terima nantinya.
Pak Burdan diam selama lima menit. Ia menatap wajah mereka satu persatu. Kami tak tau apa yang telah Ia baca dari pikiran kami.
“Sudah saya baca surat dari kalian. Oke saya akan memenuhi permintaan kalian. Membangun pustaka yang lebih bagus dan besar. Tapi dengan syarat kalian harus bisa mengikuti kegiatan sosialisasi duta baca di Jakarta” Jelas Pak Burdan
Kami kaget dengan pernyataan Pak Burdan. Apakah ini namanya impian yang akan menjadi relita? Apakah ini balasan Tuhan apabila kita menjaga ilmunya?
“Subhanallah, Terima kasih ya Allah...jika ini adalah jalan-Mu, maka kami siap memperjuangkan amanah ini untuk membuktikan kepada dunia bahwa hanya dengan membaca Aku faham dengan Qalam-Mu, Aku mengerti perkataan kekasih-Mu Muhammad, Aku mengenal dunia lewat membaca. Akan kugengam amanah ini, hingga Aku bisa menjadi duta baca Indonesia nantinya” Harap Rika.
Akhirnya perjuangan mereka tak sia-sia. Perpustakaan itu takkan pernah sirna. Karena disanalah jendela dunia. Kita harus bisa membukanya agar bisa melihat dunia lebih luas. Bukankah perintah pertama hidup ini adalah Iqra’(BACALAH) namun, kenapa kita harus menjauhinya.

Sabtu, 22 Maret 2014

Media dalam Gemggaman Parpol


Oleh: Siti Aminah
Pers merupakan sebuah kegiatan yang berhubungan dengan dunia media dan masyarakat luas. Kegiatan tersebut mengacu kepada kegiatan jurnalistik yang sifatnya mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah materi, dan menerbitkan berdasarkan sumber-sumber yang terpecaya dan valid. Namun, kebebasan pers  (freedom of the press) menurut pakar hukum media massa Prof. Oemar Seno Adji adalah menyiarkan gagasan atau berita dengan jalan kata tertulis. Suatu istilah yang perlu dipadankan dengan istilah freedom os speech sebagai manisfestasi dari pengertian pers yaitu mengemukakan pikiran dan perasaan seseorang melalui berbagai jenis media massa.
Sebetulnya, pers di Indonesia masih berada dalam titik kritis: partisannya belum berubah dari masa kolonial hingga sekarang. pengabdian koran-koran nasional masih terbatas pada dua pihak: kalau tidak ke penguasa (kepentingan politik) maka ke penguasa (kepentingan ekonomi). Pada masa penjajahan, media massa kita mengabdi kepada penguasa. Selama orde lama, pers kita berpihak kepada parpol dan pemerintah. Ketika orde baru berkuasa, setelah sebelumnya mengabdi kepada publik, pers lalu dipaksa dan terpaksa tunduk pada rezim. Memasuki reformasi, pers kita bertambah polarisasi pemihakan, ada yang atas dasar ideologi dan politik, ada juga karena kepentingan pasar sehubungan pers telah menjadi industri.
Menjelang Pemilu 2014
Sebentar lagi, Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi besar-besaran. Seiring dengan pemilihan Calpres temperatur politik sudah mulai memanas sementara media menjadi mediator pertarungan politisi. Semua orang tentu ingin menduduki kursi panas sesuai dengan partainya masing-masing. Kita bisa melihat dengan mata sendiri, dalam beberapa pekan terakhir, banyak media yang menyorot tentang muatan partai nasional dan lokal. Sehingga, berita-berita tentang pendidikan, pembangunan, ekonomi, budaya, sering terabaikan. Wajar saja, melihat fungsi media juga sebagai pendidikan, hiburan, dan  kontrol sosial, tak bisa juga di pungkiri bahwa media akan bersaing untuk memperjuang ‘profit oriented’ dalam dunia bisnis. Maka, control sosial seolah menjadikan pers Indonesia seperti api jauh dari panggang.
Dalam situasi seperti itu, jelas kepentingan rakyat yang bukan penguasa atau politisi dan mengusaha media sering terabaikan. Masyarakat jadinya tidak memperoleh pendidikan politik secara baik, namun lebih banyak menerima pendidikan politik yang bersifat manipulatif dari kepenting media dan politik itu sendiri. Sebab, pers sendiri agak kurang suka memberitakan arti pentingnya program partai dan lebih gemar mengekpose ramainya peristiwa kompanye. Dengan demikian, masyarakat juga sudah mengikuti dan merasakan hawa media memang sudah berpihak atas kepentingan elit politik, bukan lagi pro kepada masyarakat. Jadi, mau tak mau masyarakat media apa saja “harus di tonton dan di baca, itu apa adanya, itulah yang ada.”
Menjaga Independensi
Kalau ada acara seminar atau sosialisai media massa baik di lokal  maupun nasional, saya sering bertanya kepada berbagai pemateri yang menjabat sebagai direktur atau sekurang-kurangnya pimpinan redaksi di sebuah media nasional. Pertanyaan saya cukup sederhana, masih adakah media di Indonesia yang tidak berpihak kepada ‘kepentingan politik?’ rata-rata hampir semua jawaban dari pemateri tersebut menjawab tidak ada. Jawaban itu sudah jelas, bahwa media kita secara nasionalis masih berada dalam ‘pelukan’ partai politik.
Reformasi di tahun 1998 dan berlakunya Undang-Undang no.40 tahun 1999 tentang Pers serta UU no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, telah membuka pintu bagi media massa di Indonesia untuk bisa berperan  lebih maksimal dalam mencerdaskan masyarakat atas hak hak sipil dan hak hak politiknya dalam memilih wakil wakilnya yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presidennya.
Dengan demikian, seharusnya media massa yang tak terlepas dari empat pilar kebangsaan harus menjaga keberlangsungan pemilu mendatang. Bukan malah dijadikan sebagai alat kepentingan kepada satu golongan dan meninggalkan nilai-nilai demokratis media itu sendiri. Persoalan yang akan terjadi bila mana, media massa menjadi harapan semua pihak ternyata dimiliki oleh pemilik yang juga menjadi pelaku politik bahkan partai politik.
Media seharusnya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara jangan sampai menjadi alat ‘pembodohan publik’. Kalau memang seperti itu, wajar saja bangsa kita terus mengalami kemunduran karena hari ini yang berkuasa bukanlah penguasa, tetapi siapapun penguasa adalah mereka yang menguasai media. Tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah bagaimana seharusnya media massa menjalankan fungsinya sesuai dengan tatanan UUD 1945 dan nilai-nilai pancasila. Meskipun itu menjadi sebuah impian dan harapan bagi kita semua, namun jangan sampai ‘mimpi’ karena media saat ini sudah menjadi sarang dan bumerang bagi sang penguasa negeri ini.
Untuk mencari format baru, hari pers nasional jatuh pada Tanggal 9 Februari 2014 merupakan sebuah pelajaran bagi kita untuk saling mengingatkan arti, fungsi, dan hakikat pers itu sendiri. Di hari ini, tentu kita mengharapkan kepada semua media massa di Indonesia agar tidak mengorbankan kepentingan publik di atas kepentingan politik. Ini menjadi refleksi bagi kita semua, agar tetap menjaga independensi diri sebagai jurnalis, maupun sebagai lembaga yang menyiarkan, memberitakan informasi kepada khalayak ramai. Serta, masyarakat juga harus cerdas dalam menyikapi pemberitaan media, dan dianjurkan untuk bersikap skeptis dan tidak apatis dengan informasi yang ada pada hari ini dan masa akan datang.
Penulis adalah Alumni Muharram Journalis College angkatan ke-3 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.