Pagi
itu hari masih mendung, sekolahku masih
terlihat sepi. anak-anak belum ada yang tiba di sekolah. Aku masih bisa
mengembus embun di pagi itu. Di sana, Aku berdiri menunggu sahabat-sahabatku. Aku
berusaha datang lebih awal dibandingkan dengan temanku yang lain, karena Aku
harus berdayung sepeda dari kosku di Lingke. Rika adalah sahabat dekatku. Aku
banyak belajar darinya. Selain waktu yang terus ia manfaatkan untuk belajar, Ia
juga sering mengunjungi perpustakaan sekolah saat jam istirahat. Aku sering memanggilnya dengan nama Uhkti.
Wajar saja, diantara semua gadis di sekolahku, hanya Ia yang berpenampilan
muslimah. Mulai caranya memakai hijab dari kepala hingga menutupi dadanya, Ia juga
terlihat sederhana dan bersahaja.
Selain
Rika, ada juga Sinta. Sinta temanku yang paling usil, cerdas, kemudian
pemberani. Ia adalah harapan bagi semua anak-anak di kelasku. Kelas IPA
meskipun terlihat sedikit lebih feminim dibandingkan anak IPS, tapi kami punya
satu tujuan untuk mencapai sesuatu yang kami impikan. Misalnya kepala sekolah
sering menaikkan SPP setiap semester, tak segan Sinta membuat tuntutan untuk
menurunkan spp. Bukan alasan tak punya uang, tapi demi membela seorang sahabat yang
tak mampu membayar uang sekolah. Begitulah mulianya Ia di mata kami.
“Assalamulaikum
ukhti, “ Kataku pada Rika
“Walaikumusalam,
Kaifa khaluk ya ukhti?” Tanya Rika
“Bikhair
Alhadulillah”. Jawabku.
“Alhadulillah,
bikhair...” Jawab Sinta yang tiba muncul dari belakang kami. Ia membenarkan
kalimatku yang salah ucap. Aku memang kurang bisa berbahasa Arab. Tapi, Aku
bangga mempunyai dua sahabat yang sangat cerdas.
“Oh
ya Rika, Sinta, Aku punya berita bagus nih buat kita bertiga”
“Berita
apa? Kasih tau dong..penasaran ini” kata Sinta sambil memelas.
Rika
hanya terdiam menunggu jawaban dariku.
“Gimana,
kalau kita ke perpustakaan saja, setelah jam istirahat. Biasanya Rika kalau
udah ke pustaka pasti banyak ide cemerlang kalau sudah melihat tumpukan buku”
Jawabku.
“Memangnya,
kenapa harus ke pustaka? Mengapa kita tak duduk dikantin saja, bisa jajan
sambil cerita” Tangkas Sinta.
“Ah,
kau Sinta, tak pernah berhenti jajan, padahalkan tubuhmu sudah bisa tak makan
hingga seminggu.” Ledekku. Kami tertawa bersama, wajah Sinta memerah.
“Sssst....”
Tiba-tiba Rika memberi kode tak boleh berisik kepada kami.
“Kenapa
ka?” Tanyaku.
“Ada
kepala sekolah lewat.” Jawab Rika.
“
Oh, memangnya kenapa dengan kepala sekolah? Kamu ada masalah ka?” tanya Sinta.
“Bukan,
Aku kesal saja, karena rencana kepala sekolah untuk menjadikan perpustakaan
tempat permainan Tenis meja sungguh tak masuk akal. Aku merasa nyawaku telah
kulekatkan di sana, di perpustakaan adalah tempat mendapatkan inspirasi” Jelas
Rika.
“Apa???
Perpustakaan mau dijadikan tempat tenis meja?” Tangkas Tika dan Sinta serentak.
“Aku
tak setuju dengan program gila itu. Aku tak ingin tempat menimba itu dijadika
tempat olah raga. Perpustakaan lebih penting dari segalanya, tanpa perpustakaan
mungkin kita buta. Yah, buta ilmu. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi anak
cerdas, kalau perpustakaan tidak ada di sekolah. Ini adalah pembodohan” Tegas
Sinta kesal.
“Hei..kalian
tau kan, kalau Aku adalah penggemar perpustakaan? Aku sudah menempelkan impian
dalam kertas, kalau suatu saat nanti Aku ingin jadi duta baca Indonesia. Kalian
pernah mengenal dengan Tantowo Yahya? Nah, Ia adalah inspirasiku untuk bisa
menuju ke sana.” Balas Rika memelas.
Aku
hanya terdiam. Sinta dan Rika memang dua sahabatku yang kukenal rajin ke
perpustakaan sekolah. Terkadang Aku menjadi cemburu ketika mereka bercerita
tentang kisah novel “Pudarnya pesona cleopatra” karangan Habiburrahman
Ar-Sirazy. Mereka juga sudah menuntaskan Sirah Nabawiyah, yang seharusnya di
baca oleh kalangan mahasiswa. Aku cemburu terkadang mereka melukiskan impiannya
dalam kertas putih, kalau Aku merebut dari tangannya wajah mereka akan memerah.
Semua Aku tau tentang pustaka itu dan dua sahabat Sinta dan Rika.
“Oh,
ya Aku punya ide, gimana kalau kita pergi menghadap ke kepala sekolah saja?”
Kata Sinta menatap tajam ke arah kami berdua.
“Hah...!untuk
apa? Mau bunuh diri, kamu tau kan kepala sekolah kita kan terkenal judes dan
galak. Memang kamu berani?” Tanya Rika.
“Bukan
Aku, tapi kita. Yah, kita lakukan bersama agar pustaka itu tetap berdiri tegak dibawah
pohon filicium itu. Aku tak ingin, ilmu kita gersang menerima dari guru saja.
Ini hanya sebatas usaha loh!” Jawab Sinta meyakinkan.
“Terus
kita mau ngomong apa dihadapan kepala sekolah?” Tanyaku kembali.
“Kita
minta kepala sekolah memberikan penjelasan lengkap mengenai status pustaka yang
akan dijadikan tempat olah raga. Kemudian, kita menjelaskan betapa pentingnya
pustaka itu tetap utuh di sana untuk penunjang pendidikan kita” Jelas Sinta.
Kami
tertegun dengan ide Sinta. Ia memang teman kami yang sangat kritis dan cerdas.
Keberaniannya tampil sebagai orator tetap eksis di semua bidang. Dari itu kami
sering memanggilnya dengan sebutan “Cut Nyak Dien” Srikandi Aceh. Meskipun
demikian, Ia tetap tawaduk menanggapi komentar positif dari anak-anak.
Hari
itu, Tika, Sinta, dan Rika datang menemui kepala sekolah. Sinta sudah
mempersiapkan pris riliese isi tuntutan apabila kepala sekolah tidak mau
mendengarkan kata-kata mereka. Ia juga sudah mengajak diskusi seluruh kelas,
mau berdemo apabila pustaka itu dijadikan tempat olah raga dan menguburkan
pustaka dalam-dalam.
“Salamualikum...”
Ucap mereka bertiga ketika masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.
Dengan
wajah tegas, alisnya yang tebal membuat wajah Rika pucat seperti tahu yang
direndam selama tiga hari. Aku masih siap siaga dengan makiannya. Sinta menarik
nafas panjang siap dengan segala keberaniannya.
“Walaikumsalam.
Silahkan masuk” Jawab Pak Burdan sambil membaca selembaran kertas di tangannya.
“Ia,
ada apa?” Kata pak Burdan tanpa ada basa basi dan tak menatap sedikitpun ke
arah ketiga siswi ini.
“Begini
pak, kami mau menanyakan tentang rencana bapak menjadikan pustaka sebagai
tempat olah raga tenis meja, jadi kami menanyakan prihal kebenaran dan alasan
bapak.” Ujar Sinta. Kami berdua hanya berdo’a dalam hati agar Pak Burdan tidak naik darah atas keberanian
Sinta.
“Terus
kalau ia, apa ada masalah untuk kalian? Apa hak kalian menanyakan hal itu?”
Tanya Pak Burdan santai dan tegas. Mendengar jawaban tersebut hati kami
tersentak kaget. Namun, Sinta masih saja berani. Ia tak ingin kalah dengan si
Judes itu.
“Ma’af
kalau kami sudah lancang untuk memasuki ruangan bapak, sebenarnya kami hanya
ingin meminta penjelasan dari bapak selaku pembuat kebijakan. Bapak tau, bahwa
kehadiran perpustakaan sekolah adalah bagian pencerdasan dan penambah wawasan
murid-murid. Perpustakaan sekolah juga bagian dari Misi sekolah ini. Bagaimana
mungkin Bapak bisa mengambil keputusan yang tak masuk akal itu” Balas Sinta
dengan nada sedikit tegas namun teratur.
“Saya
memang merencanakan untuk mengantikan perpustakaan tersebut dengan tempat olah
raga yaitu tenis meja. Jadi, untuk sementara perpustakaan di tutup. Kita tau
bahwa sebentar lagi sekolah kita akan mengirimkan dua peserta perwakilan
sekolah untuk mengikuti PON di Jawab Barat. Yah, kita manfaatkan saja fasilitas
yang sudah ada. Lagian kan, perpustakaan tidak banyak dikunjungi oleh kalian
semua!” Pak Burdan menjelaskan dengan santai namun menusuk hati kami bertiga.
Bagaimana
mungkin Pak Burdan mengatakan tak ada murid yang sering berkunjung ke
perpustakaan? Mungkinkah kami harus melapor dulu ketika ingin membaca ke
perpustakaan sekolah? Jelas sudah semakin lama semakin membuat kami pusing
berlamaan dalam ruangan ber AC namun memanaskan hati itu. Namun Aku bisa
membaca wajah Sinta, sepertinya Ia juga tak sabaran ingin membuat ribuan aksi
untuk menyelamatkan perpustakaan itu.
“Alasan
tak masuk akal” Kata Sinta sambil kesal, meninggalkan ruangan kepala sekolah. Sinta tak tinggal diam. Isi tuntutan yang Ia
buat semalaman tak ingin berujung sia-sia. Ia tak ingin rasa impiannya menjadi
duta baca sirna hanya gara-gara tak melihat pustaka. Ia sedang mencari akal
agar pustaka tersebut bisa bertahan dengan segudang ilmu di dalamnya.
Esok
harinya, Sinta menulis surat kepada kepala sekolah. Ia tak ingin mengotori nama
baik sekolahnya hanya gara-gara melakukan aksi hanya gara-gara masalah kecil.
Yth:
Bapak Burdan
Di Tempat
Sehubungan dengan diskusi kita
minggu lalu, maka kami perwakilan murid
sekolah ini, akan meberitahukan pernyataan sikap atas kebijakan tanpa
ada dukungan dari semua pihak. Dari itu, kami meminta agar bapak sudi kiranya
membangun pustaka baru, apabila pustaka lama telah digantikan. Jika tidak,
tidak segan-segan kami melakukan aksi dan mengundang media untuk memberitakan
hal ini. Tentu semua terlihat sangat konyol.
Wassalam
Murid
Surat
itupun langsung sampai dihadapan Pak Burdan. Ia menanggapi keberanian tiga
siswa ini. Dari itu, Ia meminta petugas sekolah agar mereka bisa menghadapnya
di ruangan kepala sekolah.
Dengan
wajah lesu dan cemas, mereka memasuki ruangan Pak Burdan. Sinta tak pernah
takut dengan segala keputusannya. Ia siap dengan resiko yang Ia terima
nantinya.
Pak
Burdan diam selama lima menit. Ia menatap wajah mereka satu persatu. Kami tak
tau apa yang telah Ia baca dari pikiran kami.
“Sudah
saya baca surat dari kalian. Oke saya akan memenuhi permintaan kalian.
Membangun pustaka yang lebih bagus dan besar. Tapi dengan syarat kalian harus
bisa mengikuti kegiatan sosialisasi duta baca di Jakarta” Jelas Pak Burdan
Kami
kaget dengan pernyataan Pak Burdan. Apakah ini namanya impian yang akan menjadi
relita? Apakah ini balasan Tuhan apabila kita menjaga ilmunya?
“Subhanallah,
Terima kasih ya Allah...jika ini adalah jalan-Mu, maka kami siap memperjuangkan
amanah ini untuk membuktikan kepada dunia bahwa hanya dengan membaca Aku faham
dengan Qalam-Mu, Aku mengerti perkataan kekasih-Mu Muhammad, Aku mengenal dunia
lewat membaca. Akan kugengam amanah ini, hingga Aku bisa menjadi duta baca
Indonesia nantinya” Harap Rika.
Akhirnya
perjuangan mereka tak sia-sia. Perpustakaan itu takkan pernah sirna. Karena
disanalah jendela dunia. Kita harus bisa membukanya agar bisa melihat dunia
lebih luas. Bukankah perintah pertama hidup ini adalah Iqra’(BACALAH) namun,
kenapa kita harus menjauhinya.