Sabtu, 05 April 2014

Meraih Impian di gudang Ilmu



Pagi itu hari masih mendung,  sekolahku masih terlihat sepi. anak-anak belum ada yang tiba di sekolah. Aku masih bisa mengembus embun di pagi itu.  Di sana,  Aku berdiri menunggu sahabat-sahabatku. Aku berusaha datang lebih awal dibandingkan dengan temanku yang lain, karena Aku harus berdayung sepeda dari kosku di Lingke. Rika adalah sahabat dekatku. Aku banyak belajar darinya. Selain waktu yang terus ia manfaatkan untuk belajar, Ia juga sering mengunjungi perpustakaan sekolah saat jam istirahat.  Aku sering memanggilnya dengan nama Uhkti. Wajar saja, diantara semua gadis di sekolahku, hanya Ia yang berpenampilan muslimah. Mulai caranya memakai hijab dari kepala hingga menutupi dadanya, Ia juga terlihat sederhana dan bersahaja.
Selain Rika, ada juga Sinta. Sinta temanku yang paling usil, cerdas, kemudian pemberani. Ia adalah harapan bagi semua anak-anak di kelasku. Kelas IPA meskipun terlihat sedikit lebih feminim dibandingkan anak IPS, tapi kami punya satu tujuan untuk mencapai sesuatu yang kami impikan. Misalnya kepala sekolah sering menaikkan SPP setiap semester, tak segan Sinta membuat tuntutan untuk menurunkan spp. Bukan alasan tak punya uang, tapi demi membela seorang sahabat yang tak mampu membayar uang sekolah. Begitulah mulianya Ia di mata kami.
“Assalamulaikum ukhti, “ Kataku pada Rika
“Walaikumusalam, Kaifa khaluk ya ukhti?” Tanya Rika
“Bikhair Alhadulillah”. Jawabku.
“Alhadulillah, bikhair...” Jawab Sinta yang tiba muncul dari belakang kami. Ia membenarkan kalimatku yang salah ucap. Aku memang kurang bisa berbahasa Arab. Tapi, Aku bangga mempunyai dua sahabat yang sangat cerdas.
“Oh ya Rika, Sinta, Aku punya berita bagus nih buat kita bertiga”
“Berita apa? Kasih tau dong..penasaran ini” kata Sinta sambil memelas.
Rika hanya terdiam menunggu jawaban dariku.
“Gimana, kalau kita ke perpustakaan saja, setelah jam istirahat. Biasanya Rika kalau udah ke pustaka pasti banyak ide cemerlang kalau sudah melihat tumpukan buku” Jawabku.
“Memangnya, kenapa harus ke pustaka? Mengapa kita tak duduk dikantin saja, bisa jajan sambil cerita” Tangkas Sinta.
“Ah, kau Sinta, tak pernah berhenti jajan, padahalkan tubuhmu sudah bisa tak makan hingga seminggu.” Ledekku. Kami tertawa bersama, wajah Sinta memerah.
“Sssst....” Tiba-tiba Rika memberi kode tak boleh berisik kepada kami.
“Kenapa ka?” Tanyaku.
“Ada kepala sekolah lewat.” Jawab Rika.
“ Oh, memangnya kenapa dengan kepala sekolah? Kamu ada masalah ka?” tanya Sinta.
“Bukan, Aku kesal saja, karena rencana kepala sekolah untuk menjadikan perpustakaan tempat permainan Tenis meja sungguh tak masuk akal. Aku merasa nyawaku telah kulekatkan di sana, di perpustakaan adalah tempat mendapatkan inspirasi” Jelas Rika.
“Apa??? Perpustakaan mau dijadikan tempat tenis meja?” Tangkas Tika dan Sinta serentak.
“Aku tak setuju dengan program gila itu. Aku tak ingin tempat menimba itu dijadika tempat olah raga. Perpustakaan lebih penting dari segalanya, tanpa perpustakaan mungkin kita buta. Yah, buta ilmu. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi anak cerdas, kalau perpustakaan tidak ada di sekolah. Ini adalah pembodohan” Tegas Sinta kesal.
“Hei..kalian tau kan, kalau Aku adalah penggemar perpustakaan? Aku sudah menempelkan impian dalam kertas, kalau suatu saat nanti Aku ingin jadi duta baca Indonesia. Kalian pernah mengenal dengan Tantowo Yahya? Nah, Ia adalah inspirasiku untuk bisa menuju ke sana.” Balas Rika memelas.
Aku hanya terdiam. Sinta dan Rika memang dua sahabatku yang kukenal rajin ke perpustakaan sekolah. Terkadang Aku menjadi cemburu ketika mereka bercerita tentang kisah novel “Pudarnya pesona cleopatra” karangan Habiburrahman Ar-Sirazy. Mereka juga sudah menuntaskan Sirah Nabawiyah, yang seharusnya di baca oleh kalangan mahasiswa. Aku cemburu terkadang mereka melukiskan impiannya dalam kertas putih, kalau Aku merebut dari tangannya wajah mereka akan memerah. Semua Aku tau tentang pustaka itu dan dua sahabat Sinta dan Rika.
“Oh, ya Aku punya ide, gimana kalau kita pergi menghadap ke kepala sekolah saja?” Kata Sinta menatap tajam ke arah kami berdua.
“Hah...!untuk apa? Mau bunuh diri, kamu tau kan kepala sekolah kita kan terkenal judes dan galak. Memang kamu berani?” Tanya Rika.
“Bukan Aku, tapi kita. Yah, kita lakukan bersama agar pustaka itu tetap berdiri tegak dibawah pohon filicium itu. Aku tak ingin, ilmu kita gersang menerima dari guru saja. Ini hanya sebatas usaha loh!” Jawab Sinta meyakinkan.
“Terus kita mau ngomong apa dihadapan kepala sekolah?” Tanyaku kembali.
“Kita minta kepala sekolah memberikan penjelasan lengkap mengenai status pustaka yang akan dijadikan tempat olah raga. Kemudian, kita menjelaskan betapa pentingnya pustaka itu tetap utuh di sana untuk penunjang pendidikan kita” Jelas Sinta.
Kami tertegun dengan ide Sinta. Ia memang teman kami yang sangat kritis dan cerdas. Keberaniannya tampil sebagai orator tetap eksis di semua bidang. Dari itu kami sering memanggilnya dengan sebutan “Cut Nyak Dien” Srikandi Aceh. Meskipun demikian, Ia tetap tawaduk menanggapi komentar positif dari anak-anak.
Hari itu, Tika, Sinta, dan Rika datang menemui kepala sekolah. Sinta sudah mempersiapkan pris riliese isi tuntutan apabila kepala sekolah tidak mau mendengarkan kata-kata mereka. Ia juga sudah mengajak diskusi seluruh kelas, mau berdemo apabila pustaka itu dijadikan tempat olah raga dan menguburkan pustaka dalam-dalam.
“Salamualikum...” Ucap mereka bertiga ketika masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.
Dengan wajah tegas, alisnya yang tebal membuat wajah Rika pucat seperti tahu yang direndam selama tiga hari. Aku masih siap siaga dengan makiannya. Sinta menarik nafas panjang siap dengan segala keberaniannya.
“Walaikumsalam. Silahkan masuk” Jawab Pak Burdan sambil membaca selembaran kertas di tangannya.
“Ia, ada apa?” Kata pak Burdan tanpa ada basa basi dan tak menatap sedikitpun ke arah ketiga siswi ini.
“Begini pak, kami mau menanyakan tentang rencana bapak menjadikan pustaka sebagai tempat olah raga tenis meja, jadi kami menanyakan prihal kebenaran dan alasan bapak.” Ujar Sinta. Kami berdua hanya berdo’a dalam hati agar  Pak Burdan tidak naik darah atas keberanian Sinta.
“Terus kalau ia, apa ada masalah untuk kalian? Apa hak kalian menanyakan hal itu?” Tanya Pak Burdan santai dan tegas. Mendengar jawaban tersebut hati kami tersentak kaget. Namun, Sinta masih saja berani. Ia tak ingin kalah dengan si Judes itu.
“Ma’af kalau kami sudah lancang untuk memasuki ruangan bapak, sebenarnya kami hanya ingin meminta penjelasan dari bapak selaku pembuat kebijakan. Bapak tau, bahwa kehadiran perpustakaan sekolah adalah bagian pencerdasan dan penambah wawasan murid-murid. Perpustakaan sekolah juga bagian dari Misi sekolah ini. Bagaimana mungkin Bapak bisa mengambil keputusan yang tak masuk akal itu” Balas Sinta dengan nada sedikit tegas namun teratur.
“Saya memang merencanakan untuk mengantikan perpustakaan tersebut dengan tempat olah raga yaitu tenis meja. Jadi, untuk sementara perpustakaan di tutup. Kita tau bahwa sebentar lagi sekolah kita akan mengirimkan dua peserta perwakilan sekolah untuk mengikuti PON di Jawab Barat. Yah, kita manfaatkan saja fasilitas yang sudah ada. Lagian kan, perpustakaan tidak banyak dikunjungi oleh kalian semua!” Pak Burdan menjelaskan dengan santai namun menusuk hati kami bertiga.
Bagaimana mungkin Pak Burdan mengatakan tak ada murid yang sering berkunjung ke perpustakaan? Mungkinkah kami harus melapor dulu ketika ingin membaca ke perpustakaan sekolah? Jelas sudah semakin lama semakin membuat kami pusing berlamaan dalam ruangan ber AC namun memanaskan hati itu. Namun Aku bisa membaca wajah Sinta, sepertinya Ia juga tak sabaran ingin membuat ribuan aksi untuk menyelamatkan perpustakaan itu.
“Alasan tak masuk akal” Kata Sinta sambil kesal, meninggalkan ruangan kepala sekolah.  Sinta tak tinggal diam. Isi tuntutan yang Ia buat semalaman tak ingin berujung sia-sia. Ia tak ingin rasa impiannya menjadi duta baca sirna hanya gara-gara tak melihat pustaka. Ia sedang mencari akal agar pustaka tersebut bisa bertahan dengan segudang ilmu di dalamnya.
Esok harinya, Sinta menulis surat kepada kepala sekolah. Ia tak ingin mengotori nama baik sekolahnya hanya gara-gara melakukan aksi hanya gara-gara masalah kecil.
Yth:
Bapak Burdan
Di Tempat

Sehubungan dengan diskusi kita minggu lalu, maka kami perwakilan murid  sekolah ini, akan meberitahukan pernyataan sikap atas kebijakan tanpa ada dukungan dari semua pihak. Dari itu, kami meminta agar bapak sudi kiranya membangun pustaka baru, apabila pustaka lama telah digantikan. Jika tidak, tidak segan-segan kami melakukan aksi dan mengundang media untuk memberitakan hal ini. Tentu semua terlihat sangat konyol.
Wassalam
Murid
Surat itupun langsung sampai dihadapan Pak Burdan. Ia menanggapi keberanian tiga siswa ini. Dari itu, Ia meminta petugas sekolah agar mereka bisa menghadapnya di ruangan kepala sekolah.
Dengan wajah lesu dan cemas, mereka memasuki ruangan Pak Burdan. Sinta tak pernah takut dengan segala keputusannya. Ia siap dengan resiko yang Ia terima nantinya.
Pak Burdan diam selama lima menit. Ia menatap wajah mereka satu persatu. Kami tak tau apa yang telah Ia baca dari pikiran kami.
“Sudah saya baca surat dari kalian. Oke saya akan memenuhi permintaan kalian. Membangun pustaka yang lebih bagus dan besar. Tapi dengan syarat kalian harus bisa mengikuti kegiatan sosialisasi duta baca di Jakarta” Jelas Pak Burdan
Kami kaget dengan pernyataan Pak Burdan. Apakah ini namanya impian yang akan menjadi relita? Apakah ini balasan Tuhan apabila kita menjaga ilmunya?
“Subhanallah, Terima kasih ya Allah...jika ini adalah jalan-Mu, maka kami siap memperjuangkan amanah ini untuk membuktikan kepada dunia bahwa hanya dengan membaca Aku faham dengan Qalam-Mu, Aku mengerti perkataan kekasih-Mu Muhammad, Aku mengenal dunia lewat membaca. Akan kugengam amanah ini, hingga Aku bisa menjadi duta baca Indonesia nantinya” Harap Rika.
Akhirnya perjuangan mereka tak sia-sia. Perpustakaan itu takkan pernah sirna. Karena disanalah jendela dunia. Kita harus bisa membukanya agar bisa melihat dunia lebih luas. Bukankah perintah pertama hidup ini adalah Iqra’(BACALAH) namun, kenapa kita harus menjauhinya.