Sabtu, 19 Januari 2013

Tua Bukan Sebuah Alasan



Ada sebuah pepatah klasik. “ Kejam-kejam ibu tiri, lebih kejam ibu kota”  kalimat tersebut juga berlaku di kota Jogyakarta. Di selah-selah kesibukan manusia, masih banyak orang yang mengantungkan sendi kehidupan sebagai seorang pengemis, pemulung, dan juga pengamen. pepatah tersebut jelas, hidup di kota tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Ketika menapaki langkah ke Kaliurang tidak jauh dari Daerah Istimewa Jogyakarta DIY terlihat asing dan penuh kagum dengan seorang Nenek yang sudah rentan. Jalan penuh pendakian, kakinya masih keras untuk berjalan.
“ Salak e mas..salak e mbak..manis di coba dulu  Sambil mengendong satu keranjang salak nek Jerto mencoba mejajakan dagangangan Salaknya kepada masyarakat di seputaran Jl Kepodang Kaliurang  Jogyakarta. Sekasat mata, terlihat tua dan rentan. Di usianya yang ke 68 Tahun itu, masih bisa berjalan menempuh 10 Kilo setiap harinya. Sebelum Ayam berkokok, Nek Jerto telah bangun mempersiapakan diri untuk berdagang buah Salak ke puncak Kaliurang.
Setiap hari, Nek Jerto melewati jalan Murti sampai bawah Gunung Merapi di Kaliurang. Di sini, banyak bangunan Hotel sederhana. Setiap ruas jalan, di penuhi dengan bangunan Vila dan tempat penginapan para Wisatawan  yang hendak berkunjung ke Gunun Merapi.
Berpindah dari satu hotel ke hotel lainnya, Nek Jerto mencoba menawarkan harga mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 8.000/ Kg. Setiap harinya, Nek Jerto hanya mendapatkan Rp 50.000 dari para pembeli. uang yang di terima Nek Jerto harus bagi dua dengan perusaahaan Salak yang berada di Daerah Murti. Penghasilan Nek Jerto  bergantung kepada banyaknya jumlah pembeli. Kadang-kadang, Nek Jerto sama sekali tidak ada jatah dari atasanya. Karena, barang dagangangannya tidak laku di jual.
Meski Tua harus tetap berusaha, ketegaran dan keihklasan adalah modal semangat saya untuk mencari uang” dengan logat jawanya yang kental. Nek Jerto mencoba meyakinkan, bahwa di usia Tua bukanlah sebuah hambatan untuk mencari Nafkah.
“Saya tidak sendiri, masih banyak orang seumuran Nenek menjadi buruh Dagang. Jadi, untuk memopang kehidupan di Jogyakarta harus benar-benar bekerja keras. Termasuk Nenek yang sudah rentan. Bila berharap, tak tahu harus kemana menuangkan harapan. Anak dan cucu jauh dari saya”  Kisanya. Sambil menyodorkan buah Salak kepada saya
Bukan untuk kehidupan sendiri Nek Jerto mencari uang. Melainkan untuk menghidupkan cucunya yang ada di rumah. Dengan penghasilan yang sangat minim, tentu membuat kehidupan Nek Jerto semakin sulit. Hanya butuh kesabaran untuk bisa bertahan hidup di Kota penuh sejarah itu.
Hampir setiap hari Nek Jerto mengitari Kaliurang yang terkenal tempat meletusnya gunung merapi di Jogyakarta pada tanggal 26 Okteber 2010 yang lalu.  Nek Jerto juga menghapiri di setiap tempat pariwisata yang banyak di kunjungi oleh para Wisatawan. Termasuk di Musium Ullen sentalu di Dalem Kaswargan.
Dalem Kaswargan adalah nama daerah sekitarnya museum. Nama itu didedikasikan untuk menghargai keindahan alam, sebuah dataran tinggi yang merupakan kaki gunung Merapi. Dalam mitologi Jawa, gunung Merapi adalah tempat diberkati di mana para Dewa tinggal dan pusat kehidupan. Pada awalnya, Kaswargan taman merupakan daerah dengan kemiringan kebebasan yang berbatu dan hutan hujan. Tempat itu dibeli oleh keluarga Haryono di tahun 1970-an. Mereka mulai melanjutkan dengan ketekunan dan kesabaran untuk membangun sebuah museum menampilkan elemen arsitektur hibrida yang menikah batu lokal dengan gaya Tudor mock inspirasi kolonial Belanda. Senyawa indah, diselingi dengan kebun-kebun yang berbeda menetapkan di antara paviliun, beberapa di antaranya patung display. Sebuah kayu manis dan hutan pinus berbatasan dengan alasan di sisi barat .
Disanalah Nek Jerto sering menjajakan Dagangannya. Meskipun tidak seberapa. Namun, ia terus menikmati perjalanannya sambil mengendong satu keranjang Salak di Bahunya. Nek Jerto tak ingin manja, ia tak mau menjadi pengemis seperti kebanyakan orang susah yang hidup di kota besar. Selagi masih bisa berjalan, ia tetap bekerja keras untuk menghidupkan kedua cucunya telah duduk di bangku sekolah dasar.
Seharian di pejalanan, tak membuatnya lelah. Garis matanya yang sudah tampak besar menutupi kesedihan dari raut wajanya. Semangat dan perjuangan yang tinggi Nek Jerto tak pernah henti sampai di siti saja. Sebagai penjual Salak, ia sadar. Bahwa hidup di Kota tidaklah mudah. Ibaratkan Pengemis, namun Nek Jerto tak punya cita-cita ingin jadi pecundang. Lebih baik ia bekerja keras, dibandingkan harus meminta-minta di jalananan seperti teman seumuran Nek Jerto.
Kali ini, Nek Jerto juga sangat di Kagumi oleh masyarakat Kaliurang. Selain keramahannya, terkadang ia rela memberi buah Salaknya tanpa meminta uang. Padahal bila laku satu keranjang Salak hanya mendapatkan uang Rp 150.000 itupun bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan bagi dua dengan pemilik Usaha.
Kerja keras Nek Jerto harus menjadi ceriminan bagi seluruh lapisan masyarakat. Meski sudah Tua tetap mandiri dalam segala hal. Kehidupannya juga mencintohkan agar manusia tidak bermalas-malasan dalam bekerja. Karena berkat kerjakeraslah manusia dapat bertahan untuk hidup.





Tidak ada komentar: