Ada
sebuah pepatah klasik. “ Kejam-kejam ibu tiri, lebih kejam ibu kota” kalimat tersebut juga berlaku di kota
Jogyakarta. Di selah-selah kesibukan manusia, masih banyak orang yang
mengantungkan sendi kehidupan sebagai seorang pengemis, pemulung, dan juga
pengamen. pepatah tersebut jelas, hidup di kota tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan.
Ketika
menapaki langkah ke Kaliurang tidak jauh dari Daerah Istimewa Jogyakarta DIY
terlihat asing dan penuh kagum dengan seorang Nenek yang sudah rentan. Jalan
penuh pendakian, kakinya masih keras untuk berjalan.
“ Salak e mas..salak e mbak..manis
di coba dulu”
Sambil mengendong satu keranjang salak nek Jerto mencoba mejajakan
dagangangan Salaknya kepada masyarakat di seputaran Jl Kepodang Kaliurang Jogyakarta. Sekasat mata, terlihat tua dan
rentan. Di usianya yang ke 68 Tahun itu, masih bisa berjalan menempuh 10 Kilo
setiap harinya. Sebelum Ayam berkokok, Nek Jerto telah bangun mempersiapakan
diri untuk berdagang buah Salak ke puncak Kaliurang.
Setiap
hari, Nek Jerto melewati jalan Murti sampai bawah Gunung Merapi di Kaliurang. Di sini, banyak
bangunan Hotel sederhana. Setiap ruas jalan, di penuhi dengan bangunan Vila dan
tempat penginapan para Wisatawan yang
hendak berkunjung ke Gunun Merapi.
Berpindah
dari satu hotel ke hotel lainnya, Nek Jerto mencoba menawarkan harga mulai dari
Rp 10.000 sampai Rp 8.000/ Kg. Setiap harinya, Nek Jerto hanya mendapatkan Rp
50.000 dari para pembeli. uang yang di terima Nek Jerto harus bagi dua dengan
perusaahaan Salak yang berada di Daerah Murti. Penghasilan Nek Jerto bergantung kepada banyaknya jumlah pembeli.
Kadang-kadang, Nek Jerto sama sekali tidak ada jatah dari atasanya. Karena,
barang dagangangannya tidak laku di jual.
“Meski Tua harus tetap berusaha, ketegaran
dan keihklasan adalah modal semangat saya untuk mencari uang” dengan logat
jawanya yang kental. Nek Jerto mencoba meyakinkan, bahwa di usia Tua bukanlah
sebuah hambatan untuk mencari Nafkah.
“Saya
tidak sendiri, masih banyak orang seumuran Nenek menjadi buruh Dagang. Jadi,
untuk memopang kehidupan di Jogyakarta harus benar-benar bekerja keras.
Termasuk Nenek yang sudah rentan. Bila berharap, tak tahu harus kemana
menuangkan harapan. Anak dan cucu jauh dari saya” Kisanya. Sambil menyodorkan buah Salak kepada
saya
Bukan
untuk kehidupan sendiri Nek Jerto mencari uang. Melainkan untuk menghidupkan
cucunya yang ada di rumah. Dengan penghasilan yang sangat minim, tentu membuat
kehidupan Nek Jerto semakin sulit. Hanya butuh kesabaran untuk bisa bertahan
hidup di Kota penuh sejarah itu.
Hampir
setiap hari Nek Jerto mengitari Kaliurang yang terkenal tempat meletusnya
gunung merapi di Jogyakarta pada tanggal 26 Okteber 2010 yang lalu. Nek Jerto juga menghapiri di setiap tempat
pariwisata yang banyak di kunjungi oleh para Wisatawan. Termasuk di Musium
Ullen sentalu di Dalem Kaswargan.
Dalem Kaswargan
adalah nama daerah sekitarnya museum. Nama itu didedikasikan untuk menghargai
keindahan alam, sebuah dataran tinggi yang merupakan kaki gunung Merapi. Dalam
mitologi Jawa, gunung Merapi adalah tempat diberkati di mana para Dewa tinggal
dan pusat kehidupan. Pada awalnya, Kaswargan taman merupakan daerah dengan
kemiringan kebebasan yang berbatu dan hutan hujan. Tempat itu dibeli oleh
keluarga Haryono di tahun 1970-an. Mereka mulai melanjutkan dengan ketekunan
dan kesabaran untuk membangun sebuah museum menampilkan elemen arsitektur
hibrida yang menikah batu lokal dengan gaya Tudor mock inspirasi kolonial
Belanda. Senyawa indah, diselingi dengan kebun-kebun yang berbeda menetapkan di
antara paviliun, beberapa di antaranya patung display. Sebuah kayu manis dan
hutan pinus berbatasan dengan alasan di sisi barat .
Disanalah Nek Jerto sering
menjajakan Dagangannya. Meskipun tidak seberapa. Namun, ia terus menikmati
perjalanannya sambil mengendong satu keranjang Salak di Bahunya. Nek Jerto tak
ingin manja, ia tak mau menjadi pengemis seperti kebanyakan orang susah yang
hidup di kota besar. Selagi masih bisa berjalan, ia tetap bekerja keras untuk
menghidupkan kedua cucunya telah duduk di bangku sekolah dasar.
Seharian di pejalanan, tak
membuatnya lelah. Garis matanya yang sudah tampak besar menutupi kesedihan dari
raut wajanya. Semangat dan perjuangan yang tinggi Nek Jerto tak pernah henti
sampai di siti saja. Sebagai penjual Salak, ia sadar. Bahwa hidup di Kota
tidaklah mudah. Ibaratkan Pengemis, namun Nek Jerto tak punya cita-cita ingin
jadi pecundang. Lebih baik ia bekerja keras, dibandingkan harus meminta-minta
di jalananan seperti teman seumuran Nek Jerto.
Kali ini, Nek Jerto juga sangat di
Kagumi oleh masyarakat Kaliurang. Selain keramahannya, terkadang ia rela memberi
buah Salaknya tanpa meminta uang. Padahal bila laku satu keranjang Salak hanya
mendapatkan uang Rp 150.000 itupun bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan bagi
dua dengan pemilik Usaha.
Kerja keras Nek Jerto harus menjadi
ceriminan bagi seluruh lapisan masyarakat. Meski sudah Tua tetap mandiri dalam
segala hal. Kehidupannya juga mencintohkan agar manusia tidak bermalas-malasan
dalam bekerja. Karena berkat kerjakeraslah manusia dapat bertahan untuk hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar