Sabtu, 28 Desember 2013

Titian Do’a dari Ibu



Sudah lama Ibu menanti sosok bertahun-tahun Ia rindukan. Sesekali mulutnya bertasbih tak henti menyebut Asma Allah. Do’a pagi dan petang pesan dari Hasan Al-Banna kerab Ia amalkan. Ia berharap semua mantra Ilahi bisa mendatangkan orang yang dirindukannya. Meskipun belum ada bayangan kehadiran putra sulungnya itu, Rusmi tak henti meminta di seperdua malam agar separuh hatinya yang telah pergi bisa utuh kembali.
Ibu selalu menyapa Tuhan lewat do’anya. Ia tak tau do’a mana yang akan termustajab. Karena Ia yakin do’anya di dengar, maka setiap nafasnya kini adalah rangkaian dari do’a. Dulu, sebelum Ayah meninggal dunia, Ia sering memarahi Ibu karena  Ibu sosok perempuan yang mudah menangis. Air matanya adalah senjata untuk meluluhkan hati Ayah. Tapi, kini Ia menangis bukan karena kepergian separuh jiwanya. Melainkan,  putra sulungnya Ilham yang pergi meninggalkan rumah beberapa tahun yang silam.
Sebelum Ayah pergi, Ilham adalah sosok yang sangat dirindukan. Setiap kali tidur, Ayah menyebut dan memeluk foto lelaki berkulit saoh matang bertubuh kekar itu. Setiap kali Ia menatap foto itu, detik itu juga kerinduannya mengebu. Ibu tak tega melihat tubuh Ayah yang berbaring terus dirudung kesedihan. Ibu memutuskan untuk menyuruh Ilham pulang untuk menjenguk Ayah sedang sakit di  kampung halaman.
“Ma’af Bu, Ilham belum bisa pulang. Dalam minggu ini harus mengikuti ujian di pondok pasantren. Kalau sudah selesai, pasti akan kembali” Itulah jawaban Ilham saat Ibu menghubunginya. Meskipun hati Ilham sesak mendengar kabar Ayahnya sedang sakit, namun Ia juga berniat pulang tapi setelah mengikuti ujian. Rencana Ilham pulang dengan  membawa oleh-oleh untuk Ayahnya. Itulah niat yang terbesit dalam hati Ilham.
Ilham dalam keluarga tersebut sangat mengesankan. Selain akhlaknya mulia, santun, bersahaja, Ia tak pernah menyakiti kedua orang tuanya tersebut. Pekerjaan perempuan seperti mencuci baju, menyetrika, masak, menyapu sering Ia kerjaan tanpa harus disuruh oleh kedua orang tuanya. Padahal, Ia mempunyai dua adik perempuan. Tapi, Ilham tak berharap adik-adiknya yang akan mengurusi rumah. Itulah alasan mengapa Ayah selalu merindukannya. Tapi kali ini Ilham merasa sangat menyesal seumur hidup. Ketika, Ia pulang nafas Ayah sudah terhenti, wajahnya mulai pucat, tubuhnya terbaring tak berdaya. Hanya ada kain putih yang menjadi selimutnya. Oleh-oleh itu sama sekali tak membawa makna, Ia mendekat penuh dosa karena sudah mengabaikan perintah Ibu untuk pulang lebih awal.
Malam terus larut, hari-hari membisu ditelan kesunyian. suara gaduh kini telah lenyap, panggilan menyapa menggema dalam ruangan seolah terlintas suara Ayah memanggil nama Ilham. Hanya ada foto nan gagah berdiri tegap bersama tokoh nasional H. Amien Rais. Ayah memang selalu terlihat gagah, apalagi kalau Ia tersenyum. Kerinduan itu membalik dilubuk hati Ilham. “ Aku tak ingin lagi berlayar Ayah, Aku ingin menjaga yang tersisa yaitu Ibu” Itu adalah janjinya untuk menjaga Ibunya.

Ilham tak ingin lagi kembali ke pondok. Setiap kali Ia mendengar kata-kata pasantren, maka Ia selalu membayangkan hawa kepergian, ujian, dan penyesalan. Ia tak ingin bayangan itu membunuh pikirannya. Perencanaannya dalam tahun ini adalah pergi merantau untuk mengubah nasib. Katanya, nasib itu tak akan di dapatkan di kampung halamannya, Ia tak ingin jadi bujang kampung yang bergelar status penggangguran. Kini, Ia bertekad untuk pergi meninggalkan kampung halaman demi sebuah harapan dan impian. Apalagi tiga mantra sudah Ia dapatkan sebagai bekal perjuangan, “Man jadda wajada, man shobaru zhafira, man yazro’ yahsud. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil, siapa yang sabar akan beruntung, siapa yang menanam akan menuai yang ditanam” Kalimat ini sudah Ia tanam dalam jiwanya.
Sekarang tugas Ilham adalah meminta restu Ibu. Ibu yang telah menyapihnya selama sembilan bulan, Ibu yang telah menyusuinya. Ibu yang telah membesarkannya hingga dewasa. Tanpa Ibu mungkin Ilham tak hidup. Ibu yang telah mengajarkannya seribu kebaikan, bahasa Ibu yang lembut, Ia takut niatnya untuk merantau bisa menyakiti Ibunya. Atau Ia akan memperoleh nasib yang sama. Ilham terus membayangkan masa depan yang suram. Masa depan yang mengerikan, padahal belum tentu menjadi sebuah kenyataan. Wajah Ayahnya masih membekas, sesekali Ia mengantikannya dengan wajah Ibu. Ait matanya semakin membasahi kedua pipinya. Ia benar-benar tak sanggup untuk mencabut kembali kata-katanya, bahwa Ia ingin manjaga Ibu yang tingga seorang diri.
Bagaimana dengan masa depannya? Apakah Ia terus-terusan menjadi pengemis kepada Ibunya? Yang seharusnya Ia harus memberi kepada Ibunya. Bukan malah meminta. Bukankah seharusnya sikap bijaksana seorang lelaki, tidak manja dan harus mandiri?
Ibu memperhatikan gerak gerik Ilham. Terkadang Ibu bertanya kepada Ilham dengan penuh kasih sayang. Pertanyaan itu membuat Ilham membisu. Diam adalah tanda masalah, masalah tak perlu didiamkan. Ibunya selalu berpesan, kalau memang ada masalah jadikan Ibu tempat cerita. Kini Ilham memberanikan diri untuk meminta izin kepada Ibunya. Ia tak ingin terlambat untuk membahagiakan Ibunya, kemiskinan adalah alasan yang kuat Ilham pergi untuk merubah nasib. Dengan uang Ia akan membelikan segala kepada Ibu.
Niat dan impian Ilham telah Ia utarakan kepada Ibu. Meskipun tak berniat menyakiti hati Ibu, tetap saja Ibu merasa sedih. Karena baru saja Ia mengalami kesedihan karena ditinggal oleh kekasinya, sekarang Ia harus merelakan kepergian anak sulungnya. Meskipun Ibu berat melepaskan Ilham, tapi ada rasa tegar dalam sosok lembutnya. Ia tak ingin membatasi cita-cita anaknya. Meskipun suatu saat Ia akan merasakan rindu sangat berat, atau akan pergi mengikuti jejak Ayah. Ibu tak ingin Ilham tau betapa Ia tak ingin pergi dari hatinya lagi. Di rumah tanpa jendela di kota dingin, di tanah Gayo itu Ilham terakhir kali menatap, mendekap, mencium telapak kaki Ibunya sebagai tanda bakti padanya.
Tanpa terasa lima tahun sudah Ilham merantau. Mendengar suara Ilham adalah pengobat rindu Ibu. Setiap malam, Ia menantikan Telphone dari anaknya merantau ke Jakarta. terkahir kali Ibu mendapatkan informasi, Ilham telah kuliah di Universitas Perkapalan Jakarta. Cita-citanya ingin berlayar ke negara Asing terwujud sudah. Ibu selalu mengingatkan Ilham agar tidak lalai beribadah kepada Allah, menjaga diri dan jangan pernah makan indomie. Sebenarnya Ibu saat ini sakit. Ia ingin sekali dikunjungi oleh Ilham, tapi Ibu selalu mengatakan baik-baik saja kepadanya. 30 Desember adalah hari ulang tahun Ibu. Ilham tentu mengingatnya, Ia juga tak pernah memberi kabar tentangnya kepada Ibu. Batapa Ngerinya Ia menghadapi maut saat kapal tempat Ia kerja tenggelam di selat Malaysia, betapa tersiksanya Ilham tak makan selama berhari-hari karena menaiki kapal Ilegal dan harus sidang di meja hijau. Betapa Ia ingin kembali ke pelukan Ibu, tapi tak ada sedikitpun uang dalam sakunya.
“Nak, kemanapun kau berlayar jangan mengoleh ke belakang. Lupakan masa lalumu, tapi jangan pernah melupakan kedua orang tuamu. Nak, negeri orang itu kejam, maka bertahanlah. Karena do’a Ibu selalu memasuki relung hatimu. Ibu baik-baik saja. Asal kau bahagia itu saja sudah cukup”. Itulah pesan terakhir Ibu kepada Ilham saat semua telah menjadi gelap.




Cemburu Sang Pembunuh Jiwa



Pernahkah Anda mendengar suami membunuh istri hanya gara-gara cemburu? Bukan hanya perlakuan diskriminatif yang muncul ketika cemburu sudah bergejolak dalam diri manusia. Namun, secara mentalitas juga sangat mempengaruhi. Akibat cemburu seseorang bisa melakukan tindakan yang tidak diinginkan. Misalnya berani membunuh yang juga terimplikasi mengalami kerugian seumur hidup. Apalagi tindakan rasa cemburu bisa membuat orang terjebak dengan istilah “bunuh diri” karena ketidaksanggupan menahan rasa sakit hati.
Menurut psikolog Ratih Ibrahim, cemburu adalah bagian dari  rasa, perasaan –a feeling, not a taste- yang merupakan bagian dari emosi negatif pada manusia. Perasaan ini bersaudara sepupu dengan iri dan dengki, dan biasanya muncul lantaran ada rasa “tidak aman” atas kepemilikan relasional yang terusik. Cemburu bisa terjadi di antara kekasih, suami atau istri, saudara, atau teman terhadap yang lain.
Sebenarnya dampak cemburu itu ada yang mengarah kepada hal-hal yang negatif, ada juga positif. Cemburu yang membabi buta adalah kebiasaan mengikuti hawa nafsu marah, terlindung segala  kebenaran dan masing-masing mau menegakkan pendirian walaupun ternyata masih ada kesalahan. Cemburu ini bisa mengakibatkan sesuatu yang berdampak negatif terhadap pelaku si pecemburu tersebut. Di sisi lain, cemburu kerab ditandai dengan rasa kasing sayang. Beberapa pendapat mengatakan cemburu adalah tanda cinta. Tanpa cemburu mungkin seseorang tak mempunyai rasa kasih sayang lagi pada dirinya.
Cemburu Menurut Islam
Bagaimana sebenarnya Islam menanggapi persoalan rasa cemburu? Ketika Nabi Muhamad S.A.W diutus kepada umat manusia, Baginda mengisytiharkan bahwa perutusannya adalah untuk melengkapkan akhlak yang mulia. Baginda juga menghapuskan perilaku-perilaku hina dan meluruskan apa yang perlu diluruskan. Di antara sifat yang mendapat perhatian Baginda dalam membetulkan masyarakat Jahiliyah di tanah Arab ketika itu ialah sifat "cemburu" yang melampau. Sifat cemburu yang dimiliki oleh lelaki Arab Jahiliyyah terhadap kaum wanita berlaku sehingga mereka sanggup menguburkan anak puterinya hidup-hidup kerana khawatir nanti ia akan berbuat sesuatu perkara yang memalukan.
Cemburu dalam rumah tangga kerab sekali terjadi. Sehingga bisa mengakibatkan perceraian dan kerusakan lainnya. Padahal semua masalah bisa diperbincangkan dengan kesepakatan antara kedua belah pihak. Kecemburuan yang melampau seperti ini diharamkan oleh Allah Taala, tetapi dalam masa yang sama Allah turut melestarikan sifat cemburu dengan menjadikannya sebagai sebahagian dari cabang iman.
Nabi Daud A.S pernah berpesan kepada anaknya Sulaiman A.S, "Wahai anakku, jangan terlalu banyak cemburu kepada isterimu, jangan kamu lihat yang buruk-buruk sahaja. Ini kerana, sifat yang keterlaluan itu akan menyebabkan isterimu menjadi mangsa tuduhan yang melampau padahal dia bersih dari tuduhan tersebut" - Sunan Al Baihaqi 1/499

Namun, tanpa cemburu juga bahaya. Melalui cemburu, seseorang menunjukkan sikap ingin mempertahankan sesuatu seutuhnya, dijaga sepenuh pengawasannya. Tanpa cemburu juga maka tiada siapa yang akan ambil peduli dan terpanggil untuk rasa bertanggungjawab memperbaiki keadaan. Nabi SAW menganjurkan seseorang untuk mempunyai rasa cemburu. Cemburu yang dianjurkan tentu cemburu yang mempunyai qadar dan tidak berlebihan dalam memandang sebuah permasalahan. Cemburu yang disarankan yaitu cemburu yang tidak merugikan sehingga menimbulkan penyakit dalam jiwa manusia.
Cemburu Penyakit Jiwa
Menurut Mu’awiyah ditulis dalam bulettin Ad-dakwah Ciri cemburu buta yaitu: memonitor pasangan setiap waktu (kemana, dengan siapa, sedang apa), tidak mau mengakui kesalahan, tidak tenang, ingin selalu diajak ke mana pun dan kapan pun, kasar (sering marah, berteriak, memukul, merusak barang). 
Rasulullah bersabda: “Rasa cemburu ada yang disukai Allah dan ada pula yang tidak disukai-Nya. Kecemburuan yang disukai Allah adalah yang disertai alasan yang benar. Sedangkan yang dibenci ialah yang tidak disertai alasan yang benar (cemburu buta).” (HR. Abu Daud). 
Cemburu buta itu merugikan, menyiksa jiwa, merusak kehidupan rumah tangga, mendorong pelanggaran syariat, seperti banyak mengeluh, mencela, berprasangka buruk sehingga menuduh orang yang tidak bersalah, curiga terhadap sesuatu yang belum jelas dan pasti, rasa was-was yang berasal dari setan (QS. An-Naas:3-6),
Masalah-masalah di atas adalah cemburu yang diharamkan oleh Allah SWT. Kecemburuan tersebut hanya mengundang Syaitan untuk menjerumuskan manusia kedalam siksa-Nya. Ketika cemburu sudah mengelabui hati seseorang dan bertindak diluar syari’at Islam maka akan menambah penyakit dalam jiwa seseorang. Hal demikian sudah jelas dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW.
Bagaimana cara menghilang rasa cemburu yang berlebihan dan dapat menyebatkan hati berpenyakit? Pertama, orang yang berlebihan dalam mengepresikan sifat cemburu akibat kurangnya keimanan seseorang kepada Allah SWT, dari itu hendaklah kita meluruskan niat agar tidak terpancing dengan emosi berlebihan. Kedua, sebelum mengambil keputusan, hendaklah mendiskusikan segala sesuatu yang bisa menimbukan kecurigaan. Agar, perasangka tidak terjadi dalam sebuah hubungan. Ketiga, bersihkan jiwa dari cemburu buta, jauhi perilaku menyakiti hati pasangan, mengumpulkan pahala yang besar dalam bersabar mengendalikan cemburu, menjauhi pergaulan yang buruk, berprasangka baik (positif thinking).
Ada beberapa point penting mengenai cemburu menurut Mario Teguh jangan bangga kalau pasanganmu tak cemburuan, itu artinya ia tidak cinta. Cemburu adalah tanda bahwa cinta harus memiliki. Jika dia tidak penting bagimu, dan boleh diambil orang kapan pun, engkau tak mungkin merasa cemburu. Cemburu adalah tanda cinta yang sehat, yang tidak sehat adalah cemburu yang norak. Terlalu cemburu adalah tanda ketidak-stabilan jiwa, berhati-hatilah untuk dua-duanya. Cemburu itu tanda bahwa cintamu kuat. Tapi, pastikanlah dia pantas untuk kau cemburui.

Senin, 16 Desember 2013

Titian Do'a Ibu



Oleh: Siti Aminah
Sudah lama Ibu menanti sosok bertahun-tahun Ia rindukan. Sesekali mulutnya bertasbih tak henti menyebut Asma Allah. Do’a pagi dan petang pesan dari Hasan Al-Banna kerab Ia amalkan. Ia berharap semua pesan Ilahi bisa mendatangkan orang yang dirindukannya. Meskipun belum ada bayangan kehadiran putra sulungnya itu, Rusmi tak henti meminta di seperdua malam agar separuh hatinya yang telah pergi bisa utuh kembali.
Ibu selalu menyapa Tuhan lewat do’anya. Ia tak tau do’a mana yang akan termustajab. Karena Ia yakin do’anya di dengar, maka setiap nafasnya kini adalah rangkaian dari do’a. Dulu, sebelum Ayah meninggal dunia, Ia sering memarahi Ibu karena  Ibu sosok perempuan yang mudah menangis. Air matanya adalah senjata untuk meluluhkan hati Ayah. Tapi, kini Ia menangis bukan karena kepergian separuh jiwanya. Melainkan,  putra sulungnya Ilham yang pergi meninggalkan rumah beberapa tahun yang silam.
Sebelum Ayah pergi, Ilham adalah sosok yang sangat dirindukan. Setiap kali tidur, Ayah menyebut dan memeluk foto lelaki berkulit saoh matang bertubuh kekar itu. Setiap kali Ia menatap foto itu, detik itu juga kerinduannya mengebu. Ibu tak tega melihat tubuh Ayah yang berbaring terus dirudung kesedihan. Ibu memutuskan untuk menyuruh Ilham pulang untuk menjenguk Ayah sedang sakit di  kampung halaman.
“Ma’af Bu, Ilham belum bisa pulang. Dalam minggu ini harus mengikuti ujian di pondok pasantren. Kalau sudah selesai, pasti akan kembali” Itulah jawaban Ilham saat Ibu menghubunginya. Meskipun hati Ilham sesak mendengar kabar Ayahnya sedang sakit, namun Ia juga berniat pulang tapi setelah mengikuti ujian. Rencana Ilham pulang dengan  membawa oleh-oleh untuk Ayahnya. Itulah niat yang terbesit dalam hati Ilham.
Ilham dalam keluarga tersebut sangat mengesankan. Selain akhlaknya mulia, santun, bersahaja, Ia tak pernah menyakiti kedua orang tuanya tersebut. Pekerjaan perempuan seperti mencuci baju, menyetrika, masak, menyapu sering Ia kerjaan tanpa harus disuruh oleh kedua orang tuanya. Padahal, Ia mempunyai dua adik perempuan. Tapi, Ilham tak berharap adik-adiknya yang akan mengurusi rumah. Itulah alasan mengapa Ayah selalu merindukannya. Tapi kali ini Ilham merasa sangat menyesal seumur hidup. Ketika, Ia pulang nafas Ayah sudah terhenti, wajahnya mulai pucat, tubuhnya terbaring tak berdaya. Hanya ada kain putih yang menjadi selimutnya. Oleh-oleh itu sama sekali tak membawa makna, Ia mendekat penuh dosa karena sudah mengabaikan perintah Ibu untuk pulang lebih awal.
Malam terus larut, hari-hari membisu ditelan kesunyian. suara gaduh kini telah lenyap, panggilan menyapa menggema dalam ruangan seolah terlintas suara Ayah memanggil nama Ilham. Hanya ada foto nan gagah berdiri tegap bersama tokoh nasional H. Amien Rais. Ayah memang selalu terlihat gagah, apalagi kalau Ia tersenyum. Kerinduan itu membalik dilubuk hati Ilham. “ Aku tak ingin lagi berlayar Ayah, Aku ingin menjaga yang tersisa yaitu Ibu” Itu adalah janjinya untuk menjaga Ibunya.

Ilham tak ingin lagi kembali ke pondok. Setiap kali Ia mendengar kata-kata pasantren, maka Ia selalu membayangkan hawa kepergian, ujian, dan penyesalan. Ia tak ingin bayangan itu membunuh pikirannya. Perencanaannya dalam tahun ini adalah pergi merantau untuk mengubah nasib. Katanya, nasib itu tak akan di dapatkan di kampung halamannya, Ia tak ingin jadi bujang kampung yang bergelar status penggangguran. Kini, Ia bertekad untuk pergi meninggalkan kampung halaman demi sebuah harapan dan impian. Apalagi tiga mantra sudah Ia dapatkan sebagai bekal perjuangan, “Man jadda wajada, man shobaru zhafira, man yazro’ yahsud. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil, siapa yang sabar akan beruntung, siapa yang menanam akan menuai yang ditanam” Kalimat ini sudah Ia tanam dalam jiwanya.
Sekarang tugas Ilham adalah meminta restu Ibu. Ibu yang telah menyapihnya selama sembilan bulan, Ibu yang telah menyusuinya. Ibu yang telah membesarkannya hingga dewasa. Tanpa Ibu mungkin Ilham tak hidup. Ibu yang telah mengajarkannya seribu kebaikan, bahasa Ibu yang lembut, Ia takut niatnya untuk merantau bisa menyakiti Ibunya. Atau Ia akan memperoleh nasib yang sama. Ilham terus membayangkan masa depan yang suram. Masa depan yang mengerikan, padahal belum tentu menjadi sebuah kenyataan. Wajah Ayahnya masih membekas, sesekali Ia mengantikannya dengan wajah Ibu. Ait matanya semakin membasahi kedua pipinya. Ia benar-benar tak sanggup untuk mencabut kembali kata-katanya, bahwa Ia ingin manjaga Ibu yang tingga seorang diri.
Bagaimana dengan masa depannya? Apakah Ia terus-terusan menjadi pengemis kepada Ibunya? Yang seharusnya Ia harus memberi kepada Ibunya. Bukan malah meminta. Bukankah seharusnya sikap bijaksana seorang lelaki, tidak manja dan harus mandiri?
Ibu memperhatikan gerak gerik Ilham. Terkadang Ibu bertanya kepada Ilham dengan penuh kasih sayang. Pertanyaan itu membuat Ilham membisu. Diam adalah tanda masalah, masalah tak perlu didiamkan. Ibunya selalu berpesan, kalau memang ada masalah jadikan Ibu tempat cerita. Kini Ilham memberanikan diri untuk meminta izin kepada Ibunya. Ia tak ingin terlambat untuk membahagiakan Ibunya, kemiskinan adalah alasan yang kuat Ilham pergi untuk merubah nasib. Dengan uang Ia akan membelikan segala kepada Ibu.
Niat dan impian Ilham telah Ia utarakan kepada Ibu. Meskipun tak berniat menyakiti hati Ibu, tetap saja Ibu merasa sedih. Karena baru saja Ia mengalami kesedihan karena ditinggal oleh kekasinya, sekarang Ia harus merelakan kepergian anak sulungnya. Meskipun Ibu berat melepaskan Ilham, tapi ada rasa tegar dalam sosok lembutnya. Ia tak ingin membatasi cita-cita anaknya. Meskipun suatu saat Ia akan merasakan rindu sangat berat, atau akan pergi mengikuti jejak Ayah. Ibu tak ingin Ilham tau betapa Ia tak ingin pergi dari hatinya lagi. Di rumah tanpa jendela di kota dingin, di tanah Gayo itu Ilham terakhir kali menatap, mendekap, mencium telapak kaki Ibunya sebagai tanda bakti padanya.
Tanpa terasa lima tahun sudah Ilham merantau. Mendengar suara Ilham adalah pengobat rindu Ibu. Setiap malam, Ia menantikan Telphone dari anaknya merantau ke Jakarta. terkahir kali Ibu mendapatkan informasi, Ilham telah kuliah di Universitas Perkapalan Jakarta. Cita-citanya ingin berlayar ke negara Asing terwujud sudah. Ibu selalu mengingatkan Ilham agar tidak lalai beribadah kepada Allah, menjaga diri dan jangan pernah makan indomie. Sebenarnya Ibu saat ini sakit. Ia ingin sekali dikunjungi oleh Ilham, tapi Ibu selalu mengatakan baik-baik saja kepadanya. 30 Desember adalah hari ulang tahun Ibu. Ilham tentu mengingatnya, Ia juga tak pernah memberi kabar tentangnya kepada Ibu. Batapa Ngerinya Ia menghadapi maut saat kapal tempat Ia kerja tenggelam di selat Malaysia, betapa tersiksanya Ilham tak makan selama berhari-hari karena menaiki kapal Ilegal dan harus sidang di meja hijau. Betapa Ia ingin kembali ke pelukan Ibu, tapi tak ada sedikitpun uang dalam sakunya.
“Nak, kemanapun kau berlayar jangan mengoleh ke belakang. Lupakan masa lalumu, tapi jangan pernah melupakan kedua orang tuamu. Nak, negeri orang itu kejam, maka bertahanlah. Karena do’a Ibu selalu memasuki relung hatimu. Ibu baik-baik saja. Asal kau bahagia itu saja sudah cukup”. Itulah pesan terakhir Ibu kepada Ilham saat semua telah menjadi gelap.


Senin, 02 Desember 2013

Menyadarkan Penerbit Melalui Undang-Undang Deposit


Oleh: Siti Aminah
Pada dasarnya, Aceh kaya dengan karya cipta karsa manusia. Salah satunya adalah melalui budaya menulis. Budaya menulis tersebut tercipta bukan hanya di kalangan masyarakat Aceh saja, melainkan di luar Aceh juga banyak menuliskan buku tentang Aceh. Menurut Hermansyah “Naskah kuno Aceh” Mengatakan Koleksi Aceh tersedia di beberapa tempat seperti koleksi Zawiyah Tanoh Abee, koleksi Yayasan Museum Ali Hasjmy Banda Aceh, koleksi Museum Negeri Aceh , koleksi naskah Tgk Syik Awe Geutah di Kabupaten Bireuen, koleksi Perpustakaan Harun Geusyik Leumik, koleksi pribadi Tarmizi A Hamid Banda Aceh, serta beberapa koleksi pribadi masyarakat di  Banda Aceh dan Aceh Besar. Karya-karya tersebut tidak hanya dalam bentuk naskah sejarah Aceh, melainkan seluruh koleksi menyangkut tentang ke- Aceh-an. Beberapa orang menganggap bahwa semua karya ke-Aceh-an tersebut tentu banyak terdapat di perpustakaan daerah Aceh. Tetapi, sampai saat ini koleksi-koleksi mengenai Aceh, masih dipertanyakan oleh  pihak perpustakaan wilayah Aceh terutama  bidang deposit yang bertugas untuk menghimpun koleksi tentang ke-Aceh-an.

 Kondisi perpustakaan suatu daerah merupakan cerminan atau refleksi tingkat kebudayaan serta tingkat peradaban yang harus dicapai, yaitu perpustakaan diharapkan mampu memperkenalkan dan meningkatkan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat. Oleh karena itu, tidak mudah mengumpulkan dan menghimpun hasil karya karsa, cipta dan rasa sebagai wujud hasil karya budaya bangsa dalam bentuk karya cetak, karya rekam, naskah dan sejenisnya. Di samping itu, sangat diperlukan strategi pelacakan untuk mengetahui di mana saja koleksi-koleksi Aceh itu berada. Strategi tersebut tentu dapat dilakukan oleh bidang deposit perpustakaan Wilayah Aceh. Strategi pelacakan merupakan suatu pendekatan dalam proses pencarian informasi yang lebih dalam sesuai dengan informasi yang dibutuhkan demi tercapainya suatu tujuan. Strategi pelacakan tersebut tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi, perlu adanya langkah-langkah khusus yang harus dilakukan untuk melacak koleksi Aceh tersebut oleh pihak yang berwenang dalam melakukan pelacakan secara mendalam.

Meskipun seluruh kegiatan serah simpan karya cetak dan karya rekam telah diatur dalam Undang-Undang No.4 tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (SSKCKR) dan peraturan pemerintah No. 70 tahun 1990, sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang No.4 tahun 1990. Undang-Undang tersebut tidak sepenuhnya menyadarkan para penerbit untuk menyerahkan satu eksemplar jenis koleksi Aceh kepada perpustakaan. Hal ini berkaitan dengan implementasi dari Undang-Undang tersebut tidak direalisasikan semaksimal mungkin.  Meskipun Undang-Undang  No.4 tahun 1990 memiliki kekuatan hukum yang mengikat, tetapi tidak semua penerbit atau pengusaha rekaman menyerahkan setiap enam bulan sekali sesuai ketentuan dalam Undang-Undang tersebut. Sanksi dari pelanggaran tersebut juga belum direalisasikan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang  No.4 Tahun 1990.

Membentuk Tim Hunting

Belum optimalnya sanksi yang diberikan, sehingga para penerbit tidak melaksanakan mekanisme Undang-Undang serah simpan karya cetak karya rekam (KCKR). Menurut Lucya dalam artikelnya Implementasi Undang-Undang Deposit No.4 tahun 1990, dikarenakan sosialisasinya yang masih belum maksimal membuat para penerbit pun belum merasakan manfaat yang diperoleh dari Undang-Undang tersebut. Kelonggaran-kelonggaran ini tidak boleh didiamkan terus menerus demi kesinambungan koleksi daerah. Payung hukum Undang-Undang No. 4 tahun 1990 yang sudah berusia lebih dari 20 tahun juga patut dicermati apakah masih layak diterapkan mengingat perkembangan teknologi dan informasi yang kian deras.

Dari permasalahan di atas, muncul pula perbedaan persepsi (sudut pandang) pelaku industri penerbitan dan rekaman dalam memaknai Undang-Undang serah simpan karya cetak karya rekam. Dalam Undang-Undang tersebut, para penerbit wajib menyerahkan hasil terbitan dan rekaman satu eksemplar ke perpustakaan daerah/ provinsi. Faktanya, sampai saat ini, masih banyak penerbit yang belum menyerahkan karyanya keperpustakan Wilayah Banda Aceh. Kondisi tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi perpustakaan daerah Aceh khususnya bidang deposit dalam melakukan tindakan preventif untuk mendapatkan kembali informasi yang berkaitan dengan Aceh. Salah satunya dengan membentuk Tim Hunting untuk melacak koleksi Aceh dari berbagai daerah. yang menjadi pertanyaan adalah Stategi dan tantangan seperti apa yang akan dilakukan Tim Hunting bidang deposit untuk menyadarkan para penerbit.

Tujuan Deposit untuk membentuk Tim Hunting ini yaitu agar bisa menyadarkan kembali penerbit KCKR di Aceh agar dapat menyerahkan koleksi tentang Aceh ke Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh. Kegiatan tersebut bisa dilakukan dengan cara: Pertama Melakukan sosialisasi di 23 kabupaten dan kota yang ada di Aceh, seputar tentang akan dilakukannnya kegiatan melacak koleksi mengenai Aceh yang di terbitkan dari beberapa daerah yang ada di kabupaten dan kota. Kedua Membuat surat penindaklanjutan sebagai peringatan kepada para penerbit, intansi, yang ada di Aceh, agar seluruh penerbit sadar akan sosialisasi Undang-Undang No. 4 tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Ketiga Melakukan tindakan dengan cara malakukan promosi atau pemberitaan di media massa. Keempat, Mensosialisasikan permasalah tentang kurangnya kesadaran para instansi penerbitan dalam menyerahkan KCKR kepada perpusnas. Kemudian pihak perpusnas menindaklanjuti kebagian penegakan hukum terkait dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1990.
Dengan demikian, penyadaran penerbit untuk menyerahkan hasil karyanya kepada perpustakaan daerah merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi. Selain sudah amanah dari Undang-Undang No.4 Tahun 1990, juga sebagai cerminan kepedulian terhadap pentingnya informasi tentang Aceh tersebut disebarluaskan kepada masyarakat luas.


Minggu, 01 Desember 2013

Apakah Tuhanmu Mengecam Perbedaan?


Apakah Tuhanmu  Mengecam Perbedaan?
Oleh:  Mina

“Itu adalah pertatanyaan yang diajukan oleh Anais kepada Omar. Karena, di dunia yang hiruk pikuk menajamkan perbedaan, cinta sering kali terserak dalam kemustahilan, terlebih perbedaan dalam keyakinan. Namun, iman adalah pergulatan nilai kemanusiaan trasendental yang bersifat universal. Kisah mereka sendiri tak meratapi perbedaan”
Ini adalah penggalan sinopsi buku “Pelangi Musim Semi” karya Rizki Affiat.  Perempuan asal  Jakarta ini baru meluncurkan buku perdananya pada bulan Agustus 2013 lalu. Bukan hal mudah untuk menerbitkan novel, apalagi persaingan di luar semakin ketat. Namun, Rizki telah melewati semua kesulitan yang pernah Ia rasakan.
"Saya mempersiapkan novel ini sejak usia saya masih 17 Tahun. Ketika saya masih menmpunyai cita-cita ingin menjadi seorang politikus.” Kata Rizki saat membedah bukunya di 3 IN 1 Lampineung Banda Aceh (30/11). Acara ini juga mengundang Teuku Kemal Pasya seorang Antropolog dan Evi Zain pegiat HAM sebagai pembedah buku “pelangi musim semi.”
Mengapa harus Pelangi Musim Semi?
“ Pelangi melambangkan sebuah perbedaan. Namun perbedaan tersebut mempunyai satu tujuan. Di sini, kita semua mempunyai keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Namun, kita tetap satu arah, satu tujuan, menuju sang Pencipta. Jadi, musim semi adalah pertemuan pertama tokoh utama Anais dan Omar dalam novel ini”   Ungkap Rizki kepada semua peserta yang hadir.
Bukan hanya itu, novel ini juga sangat mengispirasi pembaca. Selain membangun spritualitas, novel ini mengarah kepada sebuah cerita yang mengandung politis, filsafat, dan membangun idealis antar beberapa tokoh.
Rizki juga telah sukses mengantarkan imajinasi pembaca untuk memasuki tempat-tempat yang diceritakan dalam novel tersebut. Meskipun Ia tak pernah berkunjung ke Palestina dan Amerika tapi Ia sudah melakukan research lokasi Harvard di negara paman Sam itu.
“ Novel ini sangat bagus dibaca bagi semua kalangan, selain membangun hal yang berkaitan dengan spritualitas dan kisah cinta romantis, namun Rizki juga telah mengalahkan penulis best seller Habiburrahman Ar-Sirazy  karena pendiskripsiannya sangat bagus dan menantang” Ujar Teuku Kemal Pasya selaku Antropolog sekaligus penulis.“ Di sisi lain, Rizki sudah berpihak kepada Palestina. karena dalam konten Novel ini banyak menceritakan soal Palestina. Tapi tak apa, ini memang cocok untuk orang-orang PKS ” Tambah Pasya menilai novel ini terlalu religius dan politis.
Evi Zain pegiat HAM juga menilai novel “Pelangi Musim Semi” Ini  merupakan sebuah hasil karya yang sangat gemilang. Rizki mampu menarik perhatian pembaca dengan sinopsis yang pendek namun bahasa yang disajikan sangat mendalam. Di sini, penulis tak ada menggurui dari beberapa tokoh yang Ia bangun. Ia mampu mengurai kalimat dalam buaian drama melakonlis menjadi plegmatis.  Jadi, pembaca tak pernah bosan untuk membaca setiap lembarannya.
“Dalam keheningan, keduanya bersua. Membahasakan semua: tragedi jiwa, kebahagiaan-kecuali cinta, yang selalu tercekat diantara tatap mereka” Ini adalah kalimat terakhir sinopsis pelangi musin semi.
Novel pelangi musim semi ini di terbitkan oleh bentang pustaka. Meskipun ini adalah  karya perdananya. Namun selanjutnya juga akan terbit novel ke dua.“ Do,akan saja, agar novel ke dua saya segera terbit lagi. Ini masih dalam proses editing” Kata Rizki.



Senin, 18 November 2013

AIWA,Tuhan Itu Ada


By : Teuku Muhammad Syahrizal, C.SH.i

Ku tutup mata sejenak, mencoba membayangkan padang keramaian kota yang makin menjadi. Keramaian yang tak terhingga. Ketidakhinggaan ini yang membuat kiraan tak tentu akan jumlah.

Ratusankah?? Ribuankah?? Ratusan ribukah?? Atau brapa?? Apakah jumlahnya terbatas?? Mungkin juga sesuatu yang tak terbatas??

Hmhm,.
Bisa jadi, karena ku manusia hina yang bingung akan jumlah padatan kota. Keberadaan keterbatasan hina manusia dalam menentukan jumlah.

Apakah hal ini juga melibatkan TUHAN?
Jika Dia ada, jumlah itu pasti terbatas. Dia mengetahui jumlah akan padatan kota.
Jika Dia tak ada, jumlah itu pasti tak terbatas. Karena tak da sesuatu yang tahu akan jumlah padatan kota.

Dan dalam bayangan ku,..
Ah,. biar ku katakan dengan yakin, bahwa Ribuan manusia berada di kota. Sedangkan kata Ribuan bukan sesuatu yang pasti. Karena ku sebutkan Ribuan, bukan seribu dua ratus lima puluh dua, atau mungkin lebih bahkan kurang, yang kepastian tersebut tersusun dari bilangan cacah. Lagi-lagi hina manusia menentukan jumlah yang tak pasti.

Tapi Dia, pasti. Begitu juga keberadaanNya.
Walau hanya bayangan sejenak.
Tapi tetap melibatkan keberadaan TUHAN.

Aiwa, TUHAN itu ada, . 

*Mahasiswa SPH Fak. Syari’ah IAIN Ar-Raniry. Bekerja sebagai Koordinator Talks and News di Radio Seulaweut 91FM.

Minggu, 17 November 2013

Pajak Ikan Lama Pusat Grosir Kota Medan



Bangunan tua peninggalan belanda, yang bernama Titi Gantung itu berdiri kokoh dengan cat putih menyapa setiap kendaraan yang memasuki wilayah Pasar Ikan Lama atau yang dikenal warga Medan dengan sebutan Pajak Ikan Lama.
            Dalam hitungan menit, kami telah memasuki wilayah pasar tekstil yang cukup tersohor  ini. Tampak seorang turis mancanegara tengah menapaki ruas jalan. Sesekali  terlihat beberapa toko yang didominasi oleh pedagang berkebangsaan Cina, Arab, dan Pakistan.
            Seorang pedagang asli Pakistan, Muhammad Yaqub, yang mengaku telah 25 tahun menggantungkan kehidupannya menjadi pedagang di Pajak Ikan ini, mengiyakan bahwa beberapa abad yang lalu pajak ikan ini adalah tempat penjualan Ikan terbesar di Sumatera utara.
Tapi sekarang hal itu hanya tinggal nama saja karena tak ada seorang pun yang berjualan ikan tempat itu. “Itu jaman kakek-kakeknya saya dulu,” ujar Yaqub. Melihat dagangan yang ditawarkan seputar pajak ikan, tidak ditemui satu pun penjualan ikan. Yang ada malah penjualan tekstil, makanan ringan, dan souvenir.
Pajak ikan di titi Gantung kota Medan itu, hanya di jadikan sebagai lambang belaka. Faktanya, tak sedikitpun tercium bau hanyir ketika aku memasuki kawasan pajak ikan lama tersebut. yang ada hanya pedagang jenis dagangan  lainnya tampak meramaikan pajak itu.
Sebagai pendatang baru di kota terbesar ketiga di Indonesia ini, saya sempat mendengarkan  kebenaran cerita pajak ikan lama tersebut.  Efendi, salah seorang pedagang Ulos, tenunan khas suku Batak, ia mengungkapkan bahwa cerita tentang pasar ikan itu hanya sebatas mitos. Sebab sejak 1972 ia bekerja di sana, sudah banyak orang yang menjual tekstil.
Kesangsian ini terbukti setelah saya benar-benar menyusuri tiap lorong Pajak Ikan. “Pajak Ikan sebagai pusat grosir tekstil terbesar di Medan didominasi pedagang dari luar daerah. Mereka mengambil dan memasok barang ke daerah mereka dari sini,” tambah Yaqub.
Layaknya pasar ikan di peunayong Banda Aceh, berbagai jenis ikan dapat di jual disana, ada juga yang menjual jenis rempah-rempah,dan sayur-mayur. Sampai dengan dagangan jenis peralatan dapur. Sehingga saat pengunjung memasuki kawasan pasar ikan di peunayong itu, 15 Meter dari jalan besar, sudan tercium bau hanyir ikan di pasar ini. Menunjjukan bahwa pasar di daerah Istimewa Aceh itu terlihat masih hidup sampai sekarang.
            Beranjak dari situ, tampak bangunan-bangunan kuno dengan Arsitektur Belanda yang masih berdiri tegak di daerah ini. Kendaraan berlalu-lalang. Suara klakson memekakkan telinga, mengejutkan kami. Seorang tukang parkir menghampirinya. Dengan sigap mengarahkan sopir untuk parkir sesuai dengan posisi yang telah ditentukan, agar tak mengganggu pengendara lain.

Mengagetkan, ketika orang yang mengenakan pakaian dinas parkir berwarna orange itu menoleh, ternyata ia adalah seorang perempuan. Wajah pribumi terlihat kental dari raut wajahnya. Dia adalah Sari.  Ibu dari seorang anak berusia tiga belas tahun.
Wanita yang berumur setengah abad dan berkulit sawo matang ini sudah bekerja sebagai tukang parkir selama tiga bulan di sekitar Pajak Ikan lama tersebut. Sebelumnya dia menggeluti pekerjaan serupa selama satu setengah tahun di Jalan Sutomo. Dari pekerjaan ini, perempuan berambut sebahu ini mendapat penghasilan sekitar 15 sampai 30 ribu per hari setelah setoran.

Penghasilan keluarganya hanya dari pekerjaannya menjadi tukang parkir. Walaupun harus bekerja 12 jam setiap hari dengan hasil pas-pasan, ia masih mampu menyekolahkan anaknya yang saat ini berada di bangku SMP. “Suami saya jadi TKI (tenaga kerja Indonesia –red) di Malaysia,” ujarnya lirih. Dia enggan menjawab ketika ditanya apakah suaminya mengirim uang tiap bulannya. Dia hanya berkata, “Tegarlah dalam berumah tangga”.
 
Dengan keringat yang bercucuran menetes kedagungnya, dengan mengenakan jaket tebal berwarna hijau, ia tampak gerah. Di tengah bisingnya kota medan, padatnya alat transportasi yang mengantri panjang di setiap persimpang lampu merah, wanita yang bernama sari itu, rela menjadi salah seorang penjaga tukang parkir tepatnya di depan pajak ikan lama tersebut.

Tak ada sedikitpun bermuka masam ia tampakkan kepada anaknya yang masih dini.
Senyum tipis, salalu menepis dari wanita itu.
“ dengan menjalankan hidup seperti ini, saya akan lebih kecewa, jika tak dapat menyekolahkan anak-anakku” ujarnya sambil menerima uang recehan dari pengendara sepeda motor yang diparkirkan di kawasan pajak ikan lama tersebut.

Awalnya aku tak menghiraukan kalimat itu, tetapi setelah kami mengakhiri perjalanan barulah kami menyadari, di tengah pesatnya kemajuan Kota Medan, masih bertahan seorang “Ibu Parkir” yang menggantungkan sendi kehidupannya di sebuah pasar, di pusat kota ini.





Tugas Fiature

Salam Terakhir Untukmu



Oleh : Siti Aminah
Lelaki itu masih seperti dulu. Fostur tubuhnya kurus, senyumnya masih membekas dalam benakku. Aku mengenalnya beberapa tahun silam. Diantara cerita yang kurangkai, Ia pernah menjadi sejarah dalam hidupku. Namun, terkadang goresan hati dan tangan takkan pernah bisa menyatu. Entah ini namanya peristiwa “kebetulan”. Tapi, Aku percaya bahwa setiap rangkaian kisah dalam hidup adalah skenario Tuhan untuk hamba-hamba pilihannya.
Hari itu  peristiwa terpenting dalam hidupku. Pertemuan tanpa ada perencanaan. Tapi, beberapa tahun lalu, Aku masih mengingat kata-kata terakhir darinya.
“ Bagaimana, jika suatu saat nanti, Aku melihatmu bersama lelaki lain. sedangkan Aku sendiri hanya bisa menatapmu dengan kekosongan?”.  Katanya dengan penuh keyakinan.
Kata-kata itu sangat membekas dibenakku. Kata yang menguatkan bahwa pertemuan pertama tidak akan terjadi perpisahan terakhir. Tapi, itu rencana manusia. Kalau memang dia bukan untukku, tentu Allah akan memisahkan kami dengan cara-Nya.
“Aku yakin, semua akan terjadi sebaliknya”. Balasku. Meskipun dalam hati, Aku tak ingin semua itu terjadi kepada kami.
Aku tak pernah percaya dengan sebuah janji. Janji sebelum menikah hanya sebuah kepalsuan tanpa ada harapan pasti. Semua tentangnya sudah kukubur sedalam mungkin. Sulit memang untuk melupakan yang pertama tapi, yakinlah sesulit apapun akan menjadi mudah jika kita ‘ihklas” melepaskannya. Perpisahan antara kami memang tak ada perlu yang disalahkan. Memang sudah takdir Tuhan bahwa kami tak bisa hidup bersama.
                                                            ***
Waktu itu hari yang sangat melelahkan. Baru saja Aku memberikan materi tentang “gender” untuk mahasiswa Fakultas Dakwah. Sepulang itu, aku pergi ke sebuah warung dimana Aku sering melepaskan rasa penat di sana. Minum segelas bandrek susu dan gorengan akan terasa mengurangi kelelahanku.
Awalnya Aku telah mengajak seseorang untuk bisa duduk bersama. Aku sudah menunggu beberapa menit, Ia tak kunjung tiba. Aku sama sekali tak mempermasalahkannya. Lagian hari itu sudah mulai petang. Sambil menunggu jemariku memang tak bisa diam, kalau tak membaca pasti  memilih untuk menulis apa saja dikertas putih. Apakah itu puisi, cerita hari itu atau sepenggal tulisan hanya untuk membunuh rasa bosanku.
Setegup air putih  dengan sekejab menghilangkan rasa hausku.  Menulis adalah untaian kalimat yang mewakili perasaan hati. Rangakaian puisi itu Aku tulis hanya mengulang memory masa lalu. Intinya, Aku belajar dari hidupku yang telah berlalu. Menggambarkan sosok yang pernah mengisi kekosongan hati, mengukir semangat lewat prestasi. Imajinasiku langsung memasuki kalimat demi kalimat yang terurai sendirinya lewat bait-bait puisiku.
Sosok yang pernah hadir dalam hidupku
Memberiku harapan dengan kekuatan ‘Mahabbah”
Cinta itu terukir bagai salju
Namun,  mengikis rasa dipenghujung iba
Dunia takkan pernah kecil dengan cinta itu
Karena suatu ketika ucapan akan menjadi kenyataan tanpa ada perencanaan.
Percayalah..hanya ihklas yang membuat hati jadi tegar dan damai..

Kubiarkan tulisan itu terbentang di atas meja. “ Ah, siapa yang peduli dengan rangkain tulisan ini. Hanya ada Aku dan Tuhan di sini.” Pikirku.
Aku menatap dengan pandangan kosong ke arah tulisan itu. Benar-benar menakjubkan sebuah keihklasan yang tergambar dalam hatiku. Aku menulis tanpa ada rasa benci. Dulu, Aku memang membencinya. Karena cintaku kulabuhkan alakadarnya, hatiku menghapus rasa benci itu.

“Ini puisi kebetulan, tak ada niat untuk mengulang” Hatiku mulai berbicara. Tiba-tiba,
Lamunanku dikejutkan oleh kehadiran dua sosok yang tak asing dimataku. Dua orang yang sangat Aku kenal, mereka juga mengenalku. Baru saja, Aku merangkainya lewat tulisan. Tuhan  langsung menjawab pertanyaanku beberapa Tahun yang lalu bahkan hari itu juga.

“ Aku yang akan melihatmu, sedang Aku sedang sendiri dalam kekosongan”.
“ Subhallah” Pikirku.
Apa yang kurasakan? Aku hanya memberi salam pada keduanya.
Memang terasa sangat aneh dan asing. Terkadang sikap  menjadi salah tingkah. Aku seperti mimpi disiang hari. Aku hanya melihatnya, yah melihatnya bersama orang baru dalam hidupnya.
Sebelumnya Aku pernah lari dari kenyataan. Aku tak bisa bertemu dengannya lagi, apalagi jika Aku melihatnya dengan perempuan lain. itu tentu sangat menyesakkan dadaku.
Tapi hari ini, kedua bola mataku menatap dua sosok yang pernah terbesit dalam pikiranku. Dulu Aku menatapnya dengan cinta. Saat ini, Aku melihatnya seperti  teman biasa. Seperti Ia tak pernah hadir dalam hidupku. Padahal, Ia adalah yang pertama dulu untukku.

“Oh, Tuhan. Kemana rasaku. Apa Aku sudah mati rasa. Bukankah Aku pernah menulis bahwa, dia yang terbaik. Tapi sekarang bukan dia yang membaikkannku. Dulu Aku mengatakan bahwa dia segalanya. Hari ini, dia bukan apa-apanya di hadapanku.”.

Aku menormalkan sikapku. Aku hanya memberi senyum dan salam pada mereka. Bahkan, kami masih sempat bercanda. Bukankah Aku akan merasa sakit hati?
Hatiku benar-benar hilang. Aku tak menemukan diriku yang dulu dihadapannya. Hari ini Aku menemukan pelajaran hidup yang takkan pernah kulupakan seumur hidup.

“Disaat Aku belajar arti sebuah keihklasan. Tuhan, memberiku kekuatan. Bahkan Ia menghilangkan rasaku saat Aku berpikir Aku takkan bisa melihatnya lagi. Tuhan mendengar doa,aku yang lalu, Ia mengabulkannya saat Aku menulis lagi tentangnya. Saat itu juga, keyakinanku bertambah. Tak ada sedetikpun dalam hidup ini tanpa ada Pengawasan dari-Nya, Ia memberiku cinta, jika Aku mencintai seseorang melebihi dari cintaku kepada-Nya, maka Ia mengambilnya dariku. Itu semua agar Aku bisa memilih mencintai-Nya dari pada Aku memilih orang yang belum tentu milikku.”

Aku memutuskan meninggalkan mereka lebih awal. Bukan karena ketidakberdayaanku. Tetapi, karena Aku tak ingin mengusik ketenangan mereka. Aku bahagia melihatnya bahagia, bukankah begitu cinta sesungguhnya?
Sepulang dari tempat itu, Aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidur. sambil menunggu Azan Magarib Aku membuka sebuah buku. Sebuah kisah perjalanan cinta yang mebangun spritualitas. 
ku pernah ………..
Aku pernah tersenyum meski kuterluka !
karena kuyakin Tuhan tak menjadikannya untukku,
Aku pernah menangis kala bahagia,
karena kutakut kebahagiaan cinta ini akan sirna begitu saja,
Aku pernah bersedih kala bersamanya,
karena kutakut aku kan kehilangan dia suatu saat nanti, dan
Aku juga pernah tertawa saat berpisah dengannya,
karena sekali lagi, cinta tak harus memiliki, dan
Tuhan pasti telah menyiapkan cinta yang lain untukku.

penggalan puisi itu sudah cukup menghiburku. Bahwa sejatinya cinta memang tak harus memiliki. Kalau memang pertemuan itu hanya sebatas ujian untukku, Aku menerimanya dengan keimananku. Karena iman dalam hati, takkan pernah bisa mengusik  lubuk hati paling dalam sekalipun. Aku bisa belajar dari banyak kisah takdir cinta hidup orang. Kisah yang menyentuh hati agar tidak menyalahkan qadar cinta itu sendiri. Ceritaku memang tidak apa-apanya. Tapi, bagiku kehidupan ini adalah catatan yang harus dilukiskan lewat tulisan. Tulisan takkan pernah  memudarkan  sejarah masa lalu. Lewat ini, Aku bisa belajar lebih banyak.  Karena sejatinya hidup  tanpa cinta memang sirna, tapi lebih sirna jika kita menegakkan cinta bukan mengharap Ridha dari-Nya.