Minggu, 19 Januari 2014

Lukisan Tangan sang Nenek Tua



Oleh: Siti Aminah
Pagi masih berkabut setelah diguyur hujan semalaman, jalan-jalan di pinggir sawah yang membentang luas di Simpang Mamplam Kabupaten Bireun terlihat becek, tapi tidak membuat langkah saya terhenti untuk menelusuri rumah Nafsah. Nenek berusia tujuh puluh empat tahun itu adalah sosok pelukis kaligrafi terkenal di kota santri tersebut.
Hanya lampu terang dan gerakan sapu yang teratur yang memecahkan kesunyian malam, pada saat wanita tua itu menjalankan tugasnya sebagai seorang pelukis. Rumahnya tak terlalu besar, namun hanya bisa  ditempati untuk dua orang saja. Memasuki rumah Nafsah, terlihat beberapa lukisan kaligrafi terpajang didinding rumahnya. Kaligrafi yang dilukis oleh tangan Nafsah itu ada bentuk Khat Kaligrafi Lapadz Basmalah dari berbagai khat (tulisan) macam khat kufi, tsulust dan farisi.
Dia tampak tua dan keriput,  ada sebongkah luka yang berada di dekat telinga nenek tua tersebut. Nenek berambut putih itu berjuang sendiri untuk menghidupi keluarganya semenjak suami yang menjadi tumpuan hidup telah ia pasakh beberapa tahun silam. Dia mengaku, meninggalkan suaminya karena ia lebih tua sepuluh tahun dibandingkan dengan suami Rudi (60).
“Saya merasa tak pantas lagi untuk suami saya, niat saya meninggalkannya karena itu adalah yang terbaik bagi kami berdua. Dia bisa menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda daripada saya” Ujar Nafsah sambil menggoreng telur untuk cucunya. Ia rela meninggalkan suaminya hanya batas ukuran fisik. Semenjak itu, Nafsah harus bisa menghasilkan uang sendiri untuk menghidupi cucunya Reza yang masih berusia empat tahun di rumahnya tersebut. Reza harus hidup dengannya karena Ibunya Rusni anak Nafsah telah meninggal sejak ia berusia dua tahun akibat kekerasan dalam rumah tangga.
Wajah Nafsah terlihat tegar, meskipun ujian bertubi-tubi menghampirinya, ia tak pernah putus asa dan menampakkan kesedihannya kepada semua orang. Ia selalu tersenyum saat ia menceritakan kisah suramnya beberapa tahun silam. Namun, tampak diwajahnya ia tak ingin menceritakannya lebih dalam lagi.
Tak semua orang  tua bisa seperti Nafsah. Apalagi saat usianya terus berlanjut, ia masih tampak kuat. Biasanya, seusianya hampir satu abad itu banyak yang tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, Tuhan masih mengaruniai kedua mata yang masih bisa melihat dengan tajam. Nafsah adalah penerima anugrah itu. Ia sangat bersyukur, karena dengan melukis kaligrafi ia bisa menerima orderan dari anak-anak yang mendapatkan tugas dari sekolahnya dalam bidang melukis.
“Saya tak pernah mematokan berapa harga lukisan ini. Saya menerima seihklasnya saja dari konsumen. Kalau mereka memberi  sepuluh ribu hingga dua puluh ribu perlukisan, ya berarti itu adalah rejeki saya. Saya menganggap ini adalah pekerjaan sekaligus menjaga bakat saya sepanjang usia yang kumiliki” Ungkap Nafsah.
Nafsah hanya bisa menjalankan tugasnya dimalam hari. Kadang ia harus bergadang hingga tengah malam demi untuk melukis orderan anak-anak yang telah ia terima. Dalam satu malam Nafsah hanya bisa menyelesaikan lukisan tiga sampai empat lukisan. Lukisan tersebut tergantung jenis permintaan.
“Kalau melukis bismillah, atau Allah dan Muhammad, itu sangat mudah saya bisa menyelesaikannya dalam beberapa menit. Tapi kalau jenis lain mungkin sedikit lebih fokus dan teliti, karena ini berbicara soal seni yah harus hati-hati” Katanya.
Bukan hanya seni lukis yang ia geluti. Cerdas dalam melukis dan mengambil hati pelanggan, Nafsah juga sosok nenek yang kreatif dan inovatif. Faktanya, selain melukis ia juga bisa membuat rangkaian aneka ragam bunga kertas. Bunga tersebut juga dipesan oleh masyarakat tersebut.  Bunga yang telah ia rangkai kemudian dijajakan ke rumah-rumah. Harga setiap bunga juga bervariasi ada yang lima ribu hingga sepuluh ribu rupiah per bunga. Dari sinilah Nafsah mengantungkan kehidupan bersama cucunya.
“Meskipun saya sudah tua, saya masih suka dengan kegiatan-kegiatan seperti merangkai bunga, melukis, semua itu sudah saya lakukan sejak usia saya masih remaja.” Tua bukan menjadi alasan bagi Nafsah untuk menghidupkan keluarganya. Proses yang ia lakukan untuk mencari uang bukanlah perkara mudah. Iapun mendapatkan ilmu tersebut dari orang lain, hingga ia bisa belajar  mengasah kemampuannya dibidang seni lukis dan merangkai bunga.
Hidup Nafsah memang serba sulit. Ditengah kesulitannya, ia selalu tampak sabar dan tegar dalam menjalani hidup. Nenek yang terkenal ramah dan periang ini, senang mengajarkan ilmunya kepada orang lain. baginya mengajarkan satu kebaikan kepada orang lain merupakan amalan yang tak bisa ia tinggalkan. Termasuk melatih anak-anak sekolah, remaja desa agar bisa melukis dan merangkai bunga.
“Saya berharap, ketika saya sudah tiada lagi. Ilmu yang saya miliki bisa dikembangkan oleh orang banyak. Apalagi melukis keindahan nama Allah, adalah sebuah kebaikan yang mendatangkan pahala bagi kita semua.” Haraf Nafsah sembari memberikan beberapa contoh lukisan kepada kami.
Diusianya yang terus berlanjut, Nafsah tak ingin menyia-nyiakan sisa kehidupannya dengan hal yang tak bermanfaat. Bagi Nafsah cucunya adalah pengobat luka dalam kesendiriannya. Ia berharap agar Tuhan bisa memberinya kesempatan agar bisa melihat Reza hingga dewasa.
“Kalau umur saya panjang, saya ingin menyekolahkan cucu saya hingga selesai dengan usaha saya sekarang ini.” Kata Nafsah sambil memeluk Reza yang tengah duduk dipangkuannya. Dari itu, Nafsah tak pernah berhenti melukis kaligrafi untuk orang yang ia cintai dalam hidupnya.






Menantikan Ulur Tangan Pemerintah Aceh



Oleh: Siti Aminah
Pagi itu tepat pada hari selasa (31/12). Seorang perempuan duduk di ruang tunggu kantor DPR-Aceh. wajahnya tampak gelisah. Sesekali Ia berdiri menjenguk ruang Pak Hasby Abdullah. Di tangan kanannya ada selembar kalender para Caleg perempuan. Ia menggulungnya dengan rapi dan meletakkan ke dalam tas jinjing yang Ia bawa. Aku duduk berhadapan dengannya, dengan tujuan yang sama untuk menjumpai ketua DPR-Aceh.
“Tunggu siapa Nek?” Tanyaku. Wajahnya, memang tampak tua dan keriput. Sehingga Aku memanggilnya dengan sebutan Nek. Sambil kupersilahkan duduk di sampingku, perempuan itu teryata ingin berjumpa dengan salah satu pengurus proposal bantuan hibah dan bansos yang pernah dijanjikan oleh Pemerintah Zikir beberapa hari yang lalu.
Namanya Tisanun. Ia adalah salah satu warga Klieng Cot Arun, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. Perempuan kelahiran 1965 ini mengaku sedang menunggu pengesahan proposal bantuan dana dari petugas DPR-Aceh.
“Tujuan Saya kemari adalah ingin berjumpa dengan pengurus Proposal bantuan dana yang di janjikan pemerintah Aceh beberapa bulan yang lalu. Tapi saya tidak tahu keruang mana Saya harus pergi” Ujar Tisanun. Ia lupa dengan nama orang yang ingin dituju. Sehingga, Tisanun harus rela menunggu dari pagi hingga siang untuk mendapatkan kepastian dana bantuan tersebut.
Beberapa bulan yang lalu, Aceh dihangatkan dengan berita panas. Rencana Pemerintah Aceh menerima ribuan proposal dari masyarakat untuk meminta dana bantuan usaha, rumah dan lain sebagainya ternyata hanya mitos belaka. Sehingga pada tanggal (27/12) mengundang kemarahanan masyarakat terhadap Pemerintah Aceh hingga melakukan aksi di depan kantor Gubernur Aceh. Hal itu dikarenakan anggaran proposal bantuan Hibah dan Bansos masyarakat senilai Rp 500 Ribu tidak kunjung dicairkan, hingga membuat massa marah.
Namun, berbeda dengan Tisanun yang memandang positif bahwa anggaran tersebut akan berujung cair. Ia mengatakan bahwa proposal yang Ia ajukan beberapa bulan lalu diproses dengan baik, meskipun sedikit lamban.  “Nyatanya, proposal saya sudah ditanda tangani sampai tingkat DPR-Aceh. Meskipun Saya tak tahu apakah cair atau tidak, yang penting saya sudah berusaha” Tegas Tisanun.
Dalam hal ini, Tisanun menguatkan bahwa perjalanan proposal itu benar-benar dari kantor Gubernur sampai ke DPR-Aceh. Namun, saat itu hanya ada Tisanun berada diruang tunggu DPR-Aceh untuk mengecek terkait proposal yang dianggap tipuan belaka oleh masyarakat. Lalu, bantuan seperti apakah yang akan didapatkan Tisanun dari pihak DPR-Aceh ini?
Tisanun adalah perempuan korban konflik Aceh Tahun 2001 lalu. Dulu, Ia tinggal di Lhokseumawe bersama suami dan satu anak tunggalnya bernama Muhammad Nasir yangmasih berusia 17 tahun. Namun saat itu, kesedihan menimpa keluarga Tisanun. Ia harus merelakan kepergian anak satu-satunya dari dalam hidupnya. Pasalnya, pada saat itu Muhammad Nasir anak Tisanun dan Abdullah ini harus pergi dengan cara sadis. Iapun korban penculikan oleh orang tak dikenal hingga anaknya tak pernah  kembali lagi dalam dekapannya.
Bukannya hanya kehilangan anak, Tisanun juga kehilangan tempat tinggalnya. Rumahnya juga hangus terbakar. “Saya tidak tahu apa salah keluarga saya. Sehingga pada saat itu, kami pasrah dan tak tau berbuat apa-apa” Tutur Tisanun gugup. Ia sebenarnya tak ingin mengulang sejarah dalam hidupnya.
Pada tahun 2005, Tisanun pergi meninggalkan kota Lhokseumawe. Ia harus berhijrah ke kota Banda Aceh. Saat itu, Ia tinggal dirumah Tsunami di Kling Cot Arun. Karena Ia hanya sendiri, rumah itupun dicabut karena permasalahan sengketa tanah dengan pemilik rumah tersebut.
“Saya berpikir, itu adalah rumah saya yang diberikan untuk korban konflik. Ternyata hanya singgahan belaka. Sampai hari ini, saya tidak bisa mempertahankan rumah dan tanah itu. Karena surat rumah dan tanah tersebut tidak ada pada saya.” Kata Tisanun.
“Sekarang ini sementara  saya tinggal di rumah gubuk, kebetulan dulu gubuk tersebut digunakan sebagai kandang lembu. Tapi, saya bersihkan sehingga saya bisa tinggal ditempat ini. Kalau memang Ibu tak percaya, boleh datang ke tempat tinggal saya yang sekarang” Tegas Tisanun menyakinkan kisahnya.
Kehidupan Tisanun seorang diri memang sangat berat. Untuk menjumpai DPR-Aceh saja Ia mengatakan harus meminjam uang untuk ongkos pulang-pergi pada tetangganya. Namun, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, Tisanun harus membuat bata di seputaran tempat tinggalnya.
“Kalau sehari saya tidak pernah mendapatkan uang 15 ribu ke atas. Karena satu bata yang saya buat hanya dihargai Rp 500 rupiah. Meskipun sudah bekerja keras, belum mencapai hasil yang maksimal. Demi mencari uang untuk sesuap nasi, saya harus juga melakukan pekerjaan yang berat tersebut.” Ujar Tisanun.
Tisanun tak pernah berharap lebih. Meskpin Ia tak mendapatkan bantuan rumah, tapi setidaknya bisa mendapatkan bantuan seberapapun untuk menunjang kehidupannya di kota ini. Tisanun mengatakan, Harapan itu akan Ia curahkan kepada Pak Hasbi Abdullah sebagai ketua DPR-Aceh yang telah menandatangi proposal yang diajukan beberapa bulan lalu.
“Saat ini, saya hanya menantikan ulur tangan  pemerintah Aceh. harapan saya ada tempat tinggal saja sudah cukup. Karena, yang paling saya butuhkan adalah rumah sebagai tempat teduh di sini, tak perlu mewah seperti rumah bantuan BRR untuk korban Tsunami, cukup seperti jambo kop saja sudah sangat berterimakasih” Harap Tisanun.