Oleh:
Siti Aminah
Pagi
masih berkabut setelah diguyur hujan semalaman, jalan-jalan di pinggir sawah
yang membentang luas di Simpang Mamplam Kabupaten Bireun terlihat becek, tapi
tidak membuat langkah saya terhenti untuk menelusuri rumah Nafsah. Nenek
berusia tujuh puluh empat tahun itu adalah sosok pelukis kaligrafi terkenal di
kota santri tersebut.
Hanya
lampu terang dan gerakan sapu yang teratur yang memecahkan kesunyian malam,
pada saat wanita tua itu menjalankan tugasnya sebagai seorang pelukis. Rumahnya
tak terlalu besar, namun hanya bisa
ditempati untuk dua orang saja. Memasuki rumah Nafsah, terlihat beberapa
lukisan kaligrafi terpajang didinding rumahnya. Kaligrafi yang dilukis oleh
tangan Nafsah itu ada bentuk Khat Kaligrafi Lapadz Basmalah dari
berbagai khat (tulisan) macam khat kufi, tsulust dan farisi.
Dia tampak
tua dan keriput, ada sebongkah luka yang
berada di dekat telinga nenek tua tersebut. Nenek
berambut putih itu berjuang sendiri untuk menghidupi keluarganya semenjak suami
yang menjadi tumpuan hidup telah ia pasakh beberapa tahun silam. Dia mengaku,
meninggalkan suaminya karena ia lebih tua sepuluh tahun dibandingkan dengan
suami Rudi (60).
“Saya
merasa tak pantas lagi untuk suami saya, niat saya meninggalkannya karena itu
adalah yang terbaik bagi kami berdua. Dia bisa menikah lagi dengan perempuan
yang lebih muda daripada saya” Ujar Nafsah sambil menggoreng telur untuk
cucunya. Ia rela meninggalkan suaminya hanya batas ukuran fisik. Semenjak itu,
Nafsah harus bisa menghasilkan uang sendiri untuk menghidupi cucunya Reza yang
masih berusia empat tahun di rumahnya tersebut. Reza harus hidup dengannya
karena Ibunya Rusni anak Nafsah telah meninggal sejak ia berusia dua tahun
akibat kekerasan dalam rumah tangga.
Wajah
Nafsah terlihat tegar, meskipun ujian bertubi-tubi menghampirinya, ia tak
pernah putus asa dan menampakkan kesedihannya kepada semua orang. Ia selalu
tersenyum saat ia menceritakan kisah suramnya beberapa tahun silam. Namun,
tampak diwajahnya ia tak ingin menceritakannya lebih dalam lagi.
Tak
semua orang tua bisa seperti Nafsah.
Apalagi saat usianya terus berlanjut, ia masih tampak kuat. Biasanya, seusianya
hampir satu abad itu banyak yang tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, Tuhan
masih mengaruniai kedua mata yang masih bisa melihat dengan tajam. Nafsah
adalah penerima anugrah itu. Ia sangat bersyukur, karena dengan melukis
kaligrafi ia bisa menerima orderan dari anak-anak yang mendapatkan tugas dari
sekolahnya dalam bidang melukis.
“Saya
tak pernah mematokan berapa harga lukisan ini. Saya menerima seihklasnya saja
dari konsumen. Kalau mereka memberi
sepuluh ribu hingga dua puluh ribu perlukisan, ya berarti itu adalah
rejeki saya. Saya menganggap ini adalah pekerjaan sekaligus menjaga bakat saya
sepanjang usia yang kumiliki” Ungkap Nafsah.
Nafsah
hanya bisa menjalankan tugasnya dimalam hari. Kadang ia harus bergadang hingga
tengah malam demi untuk melukis orderan anak-anak yang telah ia terima. Dalam
satu malam Nafsah hanya bisa menyelesaikan lukisan tiga sampai empat lukisan.
Lukisan tersebut tergantung jenis permintaan.
“Kalau
melukis bismillah, atau Allah dan Muhammad, itu sangat mudah saya bisa
menyelesaikannya dalam beberapa menit. Tapi kalau jenis lain mungkin sedikit
lebih fokus dan teliti, karena ini berbicara soal seni yah harus hati-hati”
Katanya.
Bukan
hanya seni lukis yang ia geluti. Cerdas dalam melukis dan mengambil hati
pelanggan, Nafsah juga sosok nenek yang kreatif dan inovatif. Faktanya, selain
melukis ia juga bisa membuat rangkaian aneka ragam bunga kertas. Bunga tersebut
juga dipesan oleh masyarakat tersebut.
Bunga yang telah ia rangkai kemudian dijajakan ke rumah-rumah. Harga
setiap bunga juga bervariasi ada yang lima ribu hingga sepuluh ribu rupiah per
bunga. Dari sinilah Nafsah mengantungkan kehidupan bersama cucunya.
“Meskipun
saya sudah tua, saya masih suka dengan kegiatan-kegiatan seperti merangkai
bunga, melukis, semua itu sudah saya lakukan sejak usia saya masih remaja.” Tua
bukan menjadi alasan bagi Nafsah untuk menghidupkan keluarganya. Proses yang ia
lakukan untuk mencari uang bukanlah perkara mudah. Iapun mendapatkan ilmu
tersebut dari orang lain, hingga ia bisa belajar mengasah kemampuannya dibidang seni lukis dan
merangkai bunga.
Hidup
Nafsah memang serba sulit. Ditengah kesulitannya, ia selalu tampak sabar dan
tegar dalam menjalani hidup. Nenek yang terkenal ramah dan periang ini, senang
mengajarkan ilmunya kepada orang lain. baginya mengajarkan satu kebaikan kepada
orang lain merupakan amalan yang tak bisa ia tinggalkan. Termasuk melatih
anak-anak sekolah, remaja desa agar bisa melukis dan merangkai bunga.
“Saya
berharap, ketika saya sudah tiada lagi. Ilmu yang saya miliki bisa dikembangkan
oleh orang banyak. Apalagi melukis keindahan nama Allah, adalah sebuah kebaikan
yang mendatangkan pahala bagi kita semua.” Haraf Nafsah sembari memberikan
beberapa contoh lukisan kepada kami.
Diusianya
yang terus berlanjut, Nafsah tak ingin menyia-nyiakan sisa kehidupannya dengan
hal yang tak bermanfaat. Bagi Nafsah cucunya adalah pengobat luka dalam kesendiriannya.
Ia berharap agar Tuhan bisa memberinya kesempatan agar bisa melihat Reza hingga
dewasa.
“Kalau
umur saya panjang, saya ingin menyekolahkan cucu saya hingga selesai dengan
usaha saya sekarang ini.” Kata Nafsah sambil memeluk Reza yang tengah duduk
dipangkuannya. Dari itu, Nafsah tak pernah berhenti melukis kaligrafi untuk
orang yang ia cintai dalam hidupnya.