Oleh: Siti Aminah
Ironis. Itulah kalimat pertama
yang ada dalam benak saya. melewati banyak tempat pariwisata yang ada di
berbagai belahan di wilayah Aceh. Tidak bisa dipungkiri, bahwa wisata adalah
salah satu tempat rekreasi manusia untuk menenangkan hati bersama saudara,
keluarga, dan kerabat lainnya. Wisata juga bisa dikatakan tempat pelarian
orang-orang yang penat karena dipenuhi beban pekerjaan di rumah dan di kantor
masing-masing. Tak asing, kalau hari Sabtu dan Minggu, tempat wisata yang
dianggap menarik akan dipenuhi oleh banyak manusia.
Sekilas melirik tempat-tempat
wisata yang ada di Aceh, ada rasa damai dan panas tersirat dalam hati saya.
Kedamaian bisa melihat panorama kawasan Aceh bagian Tengah dengan berbagai keunikan
yang ada di sana. Suasana yang sejuk dan damai memberikan kesan tersendiri bagi
setiap pengunjung yang akan berkunjung ke danau Laut tawar yang ada di Aceh
Tengah tersebut.
Menjajaki kota tengah itu, tidak
cukup dalam sehari saja. Biasanya, sambil menelusuri perjalanan pulang ke Kota
Banda Aceh, terlihat beberapa tempat wisata yang banyak dilirik oleh semua
orang. Tepatnya di kawasan Bener Meriah, yang simbolisnya masih dikatakan
berhawa dingin itu hanya ada beberapa titik tempat pariwisata. Katakan saja
permandian Air Panas yang ada di kota Simpang Balek. Biasanya, tempat pemandian
air panas tersebut akan dipenuhi oleh pengunjung ke daerah Gayo pada malam
hari. Mereka bisa menikmati bersama keluarga, terlepas dari kamar mandi untuk
perempuan dan laki-laki. Artinya, masih ada penutupan secara langsung ketika
menikmati air panas dari gunung berapi Redelong tersebut.
Ketika melewati lintas
Takengon-Bireun, di samping jalan, Beberapa tumbuhan jamur olahan manusia
tumbuh pesat dalam hutan tersebut. Rumah yang mirip jamur tersebut tersusun
rapi dari setiap alur dan dataran tanah yang ada di kampung tersebut. Hanya
saja, banyak orang yang berpasangan pergi ke kawasan tersebut. Selain harga
parkir yang mencapai belasan ribu rupiah, ditambah tiket masuk, namun seseorang
yang berpasangan tak memikirkan rasa rugi kehabisan uang di dompetnya. Kenapa
tidak? mungkin ada faktor lain yang bisa menarik minat pengunjung.
Bila dijajaki secara historis,
tidak dipungkiri juga, banyak wisata lain seperti di bagian Barat-Selatan,
Pantai Timur, Banda Aceh, yang mengalami kejadian yang sama. Meskipun,
Aceh di kenal dengan kota yang bermotto “Welcome to Aceh, pariwisata Islami”
hanya dijadikan sebagai simbol yang mengundang banyak pengunjung untuk
merasakan bagaimana islami yang sesungguhnya.
Meskipun sebelumnya, Aceh sudah
menargetkan menjadikan “Visit Banda Aceh Year” atau “ Visit Aceh Year
2013” belum ada yang mengarahkan, bagaimana sebenarnya wisata islami
tersebut. Sehingga, banyak terjadi penyelewengan di berbagai tempat pariwisata
yang ada di Aceh. “ Bandar Wisata Islami” apakah kalimat tersebut sudah
benar-benar ada atau hanya fiktif belaka.
PR untuk Pemerintah
Aceh
Aceh merupakan kota yang
mempunyai aturan ketat. Sehingga dikenal dengan Nanggroe Seramoe Mekkah. Kota
yang terkenal dengan nama Syari,at Islam, menjadi tawanan bagi negara- negara
lain. “Hidup segan mati tak mau” itulah
yang ada di kota syari,at islam ini. Gelar Syari,at Islam hanya sebatas
penjualan nama ke seluruh Negara yang ada dibelahan dunia, namun, dari segi
praktik culture, masih mencerminkan kebarat-baratan.
Sayang, bila Aset kota yang
berlebel “Bandar Wisata Islami” yang disebutkan oleh Pemko Banda Aceh menjadi
embel-embel penjualan nama saja. Contohnya saja, masih banyak tempat
tongrkrongan yang tidak mencerminkan kota ini sebagai kota yang
“syari,at”.
Menurut Misri A. Muchsin
(Hadi, 2008), konsep kepariwisataan yang Islami di Aceh dipandang khas, karena
menuntut adanya penyesuaian dengan konteks pelaksanaan syariat Islam. Konsep
ini terkait dengan harapan agar daerah wisata di Aceh terbebas dari alkohol,
judi, diskotik, zina, makanan dijamin halal, busana Islami, pemisahan laki-laki
dan perempuan pada area sort dan fitness, tersedia mushalla di setiap lokasi
wisata, pengelolaan wisata yang dibiayai dengan sistem syariat, atraksi Islami,
membentuk masyarakat pariwisata Islami, pusat makanan dan restoran yang
memiliki kepastian halal, kerajinan cendera mata yang Islami, dan sebagainya.
Dari itu, akan menjadi PR bagi
pemerintah Aceh untuk bisa membenahi tatanan pariwisata yang ada di Aceh. Bukan
hanya mengumbar-umbar nama saja, melainkan ada tindak lajut bagi
wisata-wisata yang terlihat Asing, agar bisa diskalakan dengan Prioritas
syari,at Islam. Seingga, kekhawatiran akan penyelewengan segera dihapus dalam
benak masyarakat terutama bagi “visit Aceh Year 2013” nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar