Oleh : Siti Aminah
Mengagetkan,
ketika orang yang mengenakan pakaian dinas parkir berwarna orange itu menoleh ke arahku, ternyata ia adalah
seorang perempuan. Wajah pribumi terlihat kental dari raut wajahnya. Dia adalah
Sari. Ibu dari seorang anak berusia tiga
belas tahun.
Wanita
yang berumur setengah abad dan berkulit sawo matang ini sudah bekerja sebagai
tukang parkir selama tiga bulan di sekitar Pajak Ikan lama tersebut. Sebelumnya dia menggeluti pekerjaan serupa selama satu
setengah tahun di Jalan Sutomo. Dari pekerjaan ini, perempuan berambut sebahu
ini mendapat penghasilan sekitar 15 sampai 30 ribu per hari setelah setoran.
Penghasilan keluarganya hanya dari pekerjaannya menjadi
tukang parkir. Walaupun harus bekerja 12 jam setiap hari dengan hasil
pas-pasan, ia masih mampu menyekolahkan anaknya yang saat ini berada di bangku
SMP. “Suami saya jadi TKI (tenaga kerja Indonesia –red) di Malaysia,”
ujarnya lirih. Dia enggan menjawab ketika ditanya apakah suaminya mengirim uang
tiap bulannya. Dia hanya berkata, “Tegarlah dalam berumah tangga”.
Dengan keringat yang bercucuran menetes kedagungnya,
dengan mengenakan jaket tebal berwarna hijau, ia tampak gerah. Di tengah
bisingnya kota medan, padatnya alat transportasi yang mengantri panjang di
setiap persimpang lampu merah, wanita yang bernama sari itu, rela menjadi salah
seorang penjaga tukang parkir tepatnya di depan pajak ikan lama tersebut.
Tak ada sedikitpun bermuka masam ia tampakkan kepada
anaknya yang masih dini.Senyum tipis, salalu menepis dari wanita itu. “ dengan
menjalankan hidup seperti ini, saya akan lebih kecewa, jika tak dapat
menyekolahkan anak-anakku” ujarnya sambil menerima uang recehan dari pengendara
sepeda motor yang diparkirkan di kawasan pajak ikan lama tersebut.
Menjadi
tukang parkir adalah bagian dari pekerjaan laki-laki. Tapi, di kota medan
uniknya ada perempuan yang sudah tua menjadi juru parkir. Tak ia hiraukan panas
terik matahari membakar kulitnya yang mulai gersang. Demi menghidupkan anak-anaknya, ia rela
melakukan apa saja termasuk jadi tukang parkir di pajak yang tersohor itu.
Awalnya aku tak menghiraukan kalimat itu, tetapi setelah
kami mengakhiri perjalanan barulah kami menyadari, di tengah pesatnya kemajuan
Kota Medan, masih bertahan seorang “Ibu Parkir” yang menggantungkan sendi
kehidupannya di sebuah pasar, di pusat kota ini.
Beda halnya di kotaku. Di banda Aceh, disini tak ada
perempuan yang mengantunggakan kehidupannya menjadi juru parkir. Yang ada hanya
menjadi pengisi bahan bakar minyak di SPBU di beberapa daerah yang ada di aceh.
Salah satunya terlihat perempuan yag berseragam.
serba merah
denggan mengikatkan tas mini di pingganya, ia dengan gesit mengisi bahan
subsidi dari pelanggan yang mengisi minyak.
Beranjak dari
situ, terlihat Bangunan tua peninggalan belanda,
yang bernama Titi Gantung itu berdiri kokoh dengan cat putih menyapa setiap
kendaraan yang memasuki wilayah Pasar Ikan Lama atau yang dikenal warga Medan
dengan sebutan Pajak Ikan Lama.
Dalam
hitungan menit, kami telah memasuki wilayah pasar tekstil yang cukup
tersohor ini. Tampak seorang turis
mancanegara tengah menapaki ruas jalan. Sesekali terlihat beberapa toko yang didominasi oleh
pedagang berkebangsaan Cina, Arab, dan Pakistan.
Seorang pedagang asli Pakistan, Muhammad
Yaqub, yang mengaku telah 25 tahun menggantungkan kehidupannya menjadi pedagang
di Pajak Ikan ini, mengiyakan bahwa beberapa abad yang lalu pajak ikan ini
adalah tempat penjualan Ikan terbesar di Sumatera utara.
Tapi
sekarang hal itu hanya tinggal nama saja karena tak ada seorang pun yang
berjualan ikan tempat itu. “Itu jaman kakek-kakeknya saya dulu,” ujar Yaqub.
Melihat dagangan yang ditawarkan seputar pajak ikan, tidak ditemui satu pun
penjualan ikan. Yang ada malah penjualan tekstil, makanan ringan, dan souvenir.
Pajak
ikan di titi Gantung kota Medan itu, hanya di jadikan sebagai lambang belaka.
Faktanya, tak sedikitpun tercium bau hanyir ketika aku memasuki kawasan pajak
ikan lama tersebut. yang ada hanya pedagang jenis dagangan lainnya tampak meramaikan pajak itu.
Sebagai
pendatang baru di kota terbesar ketiga di Indonesia ini, saya sempat
mendengarkan kebenaran cerita pajak ikan
lama tersebut. Efendi, salah seorang
pedagang Ulos, tenunan khas suku Batak, ia mengungkapkan bahwa cerita tentang pasar
ikan itu hanya sebatas mitos. Sebab sejak 1972 ia bekerja di sana, sudah banyak
orang yang menjual tekstil.
Kesangsian
ini terbukti setelah saya benar-benar menyusuri tiap lorong Pajak Ikan. “Pajak
Ikan sebagai pusat grosir tekstil terbesar di Medan didominasi pedagang dari
luar daerah. Mereka mengambil dan memasok barang ke daerah mereka dari sini,”
tambah Yaqub.
Layaknya
pasar ikan di peunayong Banda Aceh, berbagai jenis ikan dapat di jual disana,
ada juga yang menjual jenis rempah-rempah,dan sayur-mayur. Sampai dengan
dagangan jenis peralatan dapur. Sehingga saat pengunjung memasuki kawasan pasar
ikan di peunayong itu, 15 Meter dari jalan besar, sudan tercium bau hanyir ikan
di pasar ini. Menunjjukan bahwa pasar di daerah Istimewa Aceh itu terlihat masih
hidup sampai sekarang.
Beranjak dari situ, tampak
bangunan-bangunan kuno dengan Arsitektur Belanda yang masih berdiri tegak di
daerah ini. Kendaraan berlalu-lalang. Suara klakson memekakkan telinga,
mengejutkan kami. Seorang tukang parkir menghampirinya. Dengan sigap
mengarahkan sopir untuk parkir sesuai dengan posisi yang telah ditentukan, agar
tak mengganggu pengendara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar