Rabu, 23 Oktober 2013

Perempuan Itu Si Juru Parkir


Oleh : Siti Aminah

Mengagetkan, ketika orang yang mengenakan pakaian dinas parkir berwarna orange itu menoleh ke arahku, ternyata ia adalah seorang perempuan. Wajah pribumi terlihat kental dari raut wajahnya. Dia adalah Sari.  Ibu dari seorang anak berusia tiga belas tahun.
Wanita yang berumur setengah abad dan berkulit sawo matang ini sudah bekerja sebagai tukang parkir selama tiga bulan di sekitar Pajak Ikan lama tersebut. Sebelumnya dia menggeluti pekerjaan serupa selama satu setengah tahun di Jalan Sutomo. Dari pekerjaan ini, perempuan berambut sebahu ini mendapat penghasilan sekitar 15 sampai 30 ribu per hari setelah setoran.
Penghasilan keluarganya hanya dari pekerjaannya menjadi tukang parkir. Walaupun harus bekerja 12 jam setiap hari dengan hasil pas-pasan, ia masih mampu menyekolahkan anaknya yang saat ini berada di bangku SMP. “Suami saya jadi TKI (tenaga kerja Indonesia –red) di Malaysia,” ujarnya lirih. Dia enggan menjawab ketika ditanya apakah suaminya mengirim uang tiap bulannya. Dia hanya berkata, “Tegarlah dalam berumah tangga”. 
Dengan keringat yang bercucuran menetes kedagungnya, dengan mengenakan jaket tebal berwarna hijau, ia tampak gerah. Di tengah bisingnya kota medan, padatnya alat transportasi yang mengantri panjang di setiap persimpang lampu merah, wanita yang bernama sari itu, rela menjadi salah seorang penjaga tukang parkir tepatnya di depan pajak ikan lama tersebut.
Tak ada sedikitpun bermuka masam ia tampakkan kepada anaknya yang masih dini.Senyum tipis, salalu menepis dari wanita itu. “ dengan menjalankan hidup seperti ini, saya akan lebih kecewa, jika tak dapat menyekolahkan anak-anakku” ujarnya sambil menerima uang recehan dari pengendara sepeda motor yang diparkirkan di kawasan pajak ikan lama tersebut.
Menjadi tukang parkir adalah bagian dari pekerjaan laki-laki. Tapi, di kota medan uniknya ada perempuan yang sudah tua menjadi juru parkir. Tak ia hiraukan panas terik matahari membakar kulitnya yang mulai gersang.  Demi menghidupkan anak-anaknya, ia rela melakukan apa saja termasuk jadi tukang parkir di pajak yang tersohor itu.
Awalnya aku tak menghiraukan kalimat itu, tetapi setelah kami mengakhiri perjalanan barulah kami menyadari, di tengah pesatnya kemajuan Kota Medan, masih bertahan seorang “Ibu Parkir” yang menggantungkan sendi kehidupannya di sebuah pasar, di pusat kota ini.
Beda halnya di kotaku. Di banda Aceh, disini tak ada perempuan yang mengantunggakan kehidupannya menjadi juru parkir. Yang ada hanya menjadi pengisi bahan bakar minyak di SPBU di beberapa daerah yang ada di aceh. Salah satunya terlihat perempuan yag berseragam.
 serba merah denggan mengikatkan tas mini di pingganya, ia dengan gesit mengisi bahan subsidi dari pelanggan yang mengisi minyak.
 Beranjak dari situ, terlihat Bangunan tua peninggalan belanda, yang bernama Titi Gantung itu berdiri kokoh dengan cat putih menyapa setiap kendaraan yang memasuki wilayah Pasar Ikan Lama atau yang dikenal warga Medan dengan sebutan Pajak Ikan Lama.
            Dalam hitungan menit, kami telah memasuki wilayah pasar tekstil yang cukup tersohor  ini. Tampak seorang turis mancanegara tengah menapaki ruas jalan. Sesekali  terlihat beberapa toko yang didominasi oleh pedagang berkebangsaan Cina, Arab, dan Pakistan.
            Seorang pedagang asli Pakistan, Muhammad Yaqub, yang mengaku telah 25 tahun menggantungkan kehidupannya menjadi pedagang di Pajak Ikan ini, mengiyakan bahwa beberapa abad yang lalu pajak ikan ini adalah tempat penjualan Ikan terbesar di Sumatera utara.
Tapi sekarang hal itu hanya tinggal nama saja karena tak ada seorang pun yang berjualan ikan tempat itu. “Itu jaman kakek-kakeknya saya dulu,” ujar Yaqub. Melihat dagangan yang ditawarkan seputar pajak ikan, tidak ditemui satu pun penjualan ikan. Yang ada malah penjualan tekstil, makanan ringan, dan souvenir.
Pajak ikan di titi Gantung kota Medan itu, hanya di jadikan sebagai lambang belaka. Faktanya, tak sedikitpun tercium bau hanyir ketika aku memasuki kawasan pajak ikan lama tersebut. yang ada hanya pedagang jenis dagangan  lainnya tampak meramaikan pajak itu.
Sebagai pendatang baru di kota terbesar ketiga di Indonesia ini, saya sempat mendengarkan  kebenaran cerita pajak ikan lama tersebut.  Efendi, salah seorang pedagang Ulos, tenunan khas suku Batak, ia mengungkapkan bahwa cerita tentang pasar ikan itu hanya sebatas mitos. Sebab sejak 1972 ia bekerja di sana, sudah banyak orang yang menjual tekstil.
Kesangsian ini terbukti setelah saya benar-benar menyusuri tiap lorong Pajak Ikan. “Pajak Ikan sebagai pusat grosir tekstil terbesar di Medan didominasi pedagang dari luar daerah. Mereka mengambil dan memasok barang ke daerah mereka dari sini,” tambah Yaqub.
Layaknya pasar ikan di peunayong Banda Aceh, berbagai jenis ikan dapat di jual disana, ada juga yang menjual jenis rempah-rempah,dan sayur-mayur. Sampai dengan dagangan jenis peralatan dapur. Sehingga saat pengunjung memasuki kawasan pasar ikan di peunayong itu, 15 Meter dari jalan besar, sudan tercium bau hanyir ikan di pasar ini. Menunjjukan bahwa pasar di daerah Istimewa Aceh itu terlihat masih hidup sampai sekarang.
            Beranjak dari situ, tampak bangunan-bangunan kuno dengan Arsitektur Belanda yang masih berdiri tegak di daerah ini. Kendaraan berlalu-lalang. Suara klakson memekakkan telinga, mengejutkan kami. Seorang tukang parkir menghampirinya. Dengan sigap mengarahkan sopir untuk parkir sesuai dengan posisi yang telah ditentukan, agar tak mengganggu pengendara lain.




Tidak ada komentar: