Oleh
: Siti Aminah
Lelaki
itu masih seperti dulu. Fostur tubuhnya kurus, senyumnya masih membekas dalam
benakku. Aku mengenalnya beberapa tahun silam. Diantara cerita yang kurangkai,
Ia pernah menjadi sejarah dalam hidupku. Namun, terkadang goresan hati dan
tangan takkan pernah bisa menyatu. Entah ini namanya peristiwa “kebetulan”.
Tapi, Aku percaya bahwa setiap rangkaian kisah dalam hidup adalah skenario
Tuhan untuk hamba-hamba pilihannya.
Hari
itu peristiwa terpenting dalam hidupku.
Pertemuan tanpa ada perencanaan. Tapi, beberapa tahun lalu, Aku masih mengingat
kata-kata terakhir darinya.
“
Bagaimana, jika suatu saat nanti, Aku melihatmu bersama lelaki lain. sedangkan
Aku sendiri hanya bisa menatapmu dengan kekosongan?”. Katanya dengan penuh keyakinan.
Kata-kata
itu sangat membekas dibenakku. Kata yang menguatkan bahwa pertemuan pertama
tidak akan terjadi perpisahan terakhir. Tapi, itu rencana manusia. Kalau memang
dia bukan untukku, tentu Allah akan memisahkan kami dengan cara-Nya.
“Aku
yakin, semua akan terjadi sebaliknya”. Balasku. Meskipun dalam hati, Aku tak
ingin semua itu terjadi kepada kami.
Aku
tak pernah percaya dengan sebuah janji. Janji sebelum menikah hanya sebuah
kepalsuan tanpa ada harapan pasti. Semua tentangnya sudah kukubur sedalam
mungkin. Sulit memang untuk melupakan yang pertama tapi, yakinlah sesulit
apapun akan menjadi mudah jika kita ‘ihklas” melepaskannya. Perpisahan antara
kami memang tak ada perlu yang disalahkan. Memang sudah takdir Tuhan bahwa kami
tak bisa hidup bersama.
***
Waktu
itu hari yang sangat melelahkan. Baru saja Aku memberikan materi tentang
“gender” untuk mahasiswa Fakultas Dakwah. Sepulang itu, aku pergi ke sebuah
warung dimana Aku sering melepaskan rasa penat di sana. Minum segelas bandrek
susu dan gorengan akan terasa mengurangi kelelahanku.
Awalnya
Aku telah mengajak seseorang untuk bisa duduk bersama. Aku sudah menunggu
beberapa menit, Ia tak kunjung tiba. Aku sama sekali tak mempermasalahkannya.
Lagian hari itu sudah mulai petang. Sambil menunggu jemariku memang tak bisa
diam, kalau tak membaca pasti memilih
untuk menulis apa saja dikertas putih. Apakah itu puisi, cerita hari itu atau
sepenggal tulisan hanya untuk membunuh rasa bosanku.
Setegup
air putih dengan sekejab menghilangkan
rasa hausku. Menulis adalah untaian
kalimat yang mewakili perasaan hati. Rangakaian puisi itu Aku tulis hanya
mengulang memory masa lalu. Intinya, Aku belajar dari hidupku yang telah
berlalu. Menggambarkan sosok yang pernah mengisi kekosongan hati, mengukir
semangat lewat prestasi. Imajinasiku langsung memasuki kalimat demi kalimat
yang terurai sendirinya lewat bait-bait puisiku.
Sosok
yang pernah hadir dalam hidupku
Memberiku
harapan dengan kekuatan ‘Mahabbah”
Cinta
itu terukir bagai salju
Namun, mengikis rasa dipenghujung iba
Dunia
takkan pernah kecil dengan cinta itu
Karena
suatu ketika ucapan akan menjadi kenyataan tanpa ada perencanaan.
Percayalah..hanya
ihklas yang membuat hati jadi tegar dan damai..
Kubiarkan tulisan itu terbentang di atas
meja. “ Ah, siapa yang peduli dengan rangkain tulisan ini. Hanya ada Aku dan
Tuhan di sini.” Pikirku.
Aku menatap dengan pandangan kosong ke
arah tulisan itu. Benar-benar menakjubkan sebuah keihklasan yang tergambar
dalam hatiku. Aku menulis tanpa ada rasa benci. Dulu, Aku memang membencinya.
Karena cintaku kulabuhkan alakadarnya, hatiku menghapus rasa benci itu.
“Ini puisi kebetulan, tak ada niat untuk
mengulang” Hatiku mulai berbicara. Tiba-tiba,
Lamunanku dikejutkan oleh kehadiran dua
sosok yang tak asing dimataku. Dua orang yang sangat Aku kenal, mereka juga
mengenalku. Baru saja, Aku merangkainya lewat tulisan. Tuhan langsung menjawab pertanyaanku beberapa Tahun
yang lalu bahkan hari itu juga.
“ Aku yang akan melihatmu, sedang Aku
sedang sendiri dalam kekosongan”.
“ Subhallah” Pikirku.
Apa yang kurasakan? Aku hanya memberi
salam pada keduanya.
Memang terasa sangat aneh dan asing.
Terkadang sikap menjadi salah tingkah.
Aku seperti mimpi disiang hari. Aku hanya melihatnya, yah melihatnya bersama orang
baru dalam hidupnya.
Sebelumnya Aku pernah lari dari
kenyataan. Aku tak bisa bertemu dengannya lagi, apalagi jika Aku melihatnya
dengan perempuan lain. itu tentu sangat menyesakkan dadaku.
Tapi hari ini, kedua bola mataku menatap
dua sosok yang pernah terbesit dalam pikiranku. Dulu Aku menatapnya dengan
cinta. Saat ini, Aku melihatnya seperti
teman biasa. Seperti Ia tak pernah hadir dalam hidupku. Padahal, Ia
adalah yang pertama dulu untukku.
“Oh, Tuhan. Kemana rasaku. Apa Aku sudah
mati rasa. Bukankah Aku pernah menulis bahwa, dia yang terbaik. Tapi sekarang
bukan dia yang membaikkannku. Dulu Aku mengatakan bahwa dia segalanya. Hari
ini, dia bukan apa-apanya di hadapanku.”.
Aku menormalkan sikapku. Aku hanya
memberi senyum dan salam pada mereka. Bahkan, kami masih sempat bercanda.
Bukankah Aku akan merasa sakit hati?
Hatiku benar-benar hilang. Aku tak
menemukan diriku yang dulu dihadapannya. Hari ini Aku menemukan pelajaran hidup
yang takkan pernah kulupakan seumur hidup.
“Disaat Aku belajar arti sebuah
keihklasan. Tuhan, memberiku kekuatan. Bahkan Ia menghilangkan rasaku saat Aku
berpikir Aku takkan bisa melihatnya lagi. Tuhan mendengar doa,aku yang lalu, Ia
mengabulkannya saat Aku menulis lagi tentangnya. Saat itu juga, keyakinanku
bertambah. Tak ada sedetikpun dalam hidup ini tanpa ada Pengawasan dari-Nya, Ia
memberiku cinta, jika Aku mencintai seseorang melebihi dari cintaku kepada-Nya,
maka Ia mengambilnya dariku. Itu semua agar Aku bisa memilih mencintai-Nya dari
pada Aku memilih orang yang belum tentu milikku.”
Aku memutuskan meninggalkan mereka lebih
awal. Bukan karena ketidakberdayaanku. Tetapi, karena Aku tak ingin mengusik
ketenangan mereka. Aku bahagia melihatnya bahagia, bukankah begitu cinta
sesungguhnya?
Sepulang dari tempat itu, Aku merebahkan
tubuhku diatas tempat tidur. sambil menunggu Azan Magarib Aku membuka sebuah
buku. Sebuah kisah perjalanan cinta yang mebangun spritualitas.
ku pernah ………..
Aku pernah tersenyum meski kuterluka !
karena kuyakin Tuhan tak menjadikannya untukku,
Aku pernah menangis kala bahagia,
karena kutakut kebahagiaan cinta ini akan sirna
begitu saja,
Aku pernah bersedih kala bersamanya,
karena kutakut aku kan kehilangan dia suatu saat
nanti, dan
Aku juga pernah tertawa saat berpisah dengannya,
karena sekali lagi, cinta tak harus memiliki, dan
Tuhan pasti telah menyiapkan cinta yang lain
untukku.
penggalan puisi itu sudah cukup
menghiburku. Bahwa sejatinya cinta memang tak harus memiliki. Kalau memang
pertemuan itu hanya sebatas ujian untukku, Aku menerimanya dengan keimananku.
Karena iman dalam hati, takkan pernah bisa mengusik lubuk hati paling dalam sekalipun. Aku bisa
belajar dari banyak kisah takdir cinta hidup orang. Kisah yang menyentuh hati
agar tidak menyalahkan qadar cinta itu sendiri. Ceritaku memang tidak
apa-apanya. Tapi, bagiku kehidupan ini adalah catatan yang harus dilukiskan
lewat tulisan. Tulisan takkan pernah
memudarkan sejarah masa lalu.
Lewat ini, Aku bisa belajar lebih banyak. Karena sejatinya hidup tanpa cinta memang sirna, tapi lebih sirna
jika kita menegakkan cinta bukan mengharap Ridha dari-Nya.