Senin, 18 November 2013

AIWA,Tuhan Itu Ada


By : Teuku Muhammad Syahrizal, C.SH.i

Ku tutup mata sejenak, mencoba membayangkan padang keramaian kota yang makin menjadi. Keramaian yang tak terhingga. Ketidakhinggaan ini yang membuat kiraan tak tentu akan jumlah.

Ratusankah?? Ribuankah?? Ratusan ribukah?? Atau brapa?? Apakah jumlahnya terbatas?? Mungkin juga sesuatu yang tak terbatas??

Hmhm,.
Bisa jadi, karena ku manusia hina yang bingung akan jumlah padatan kota. Keberadaan keterbatasan hina manusia dalam menentukan jumlah.

Apakah hal ini juga melibatkan TUHAN?
Jika Dia ada, jumlah itu pasti terbatas. Dia mengetahui jumlah akan padatan kota.
Jika Dia tak ada, jumlah itu pasti tak terbatas. Karena tak da sesuatu yang tahu akan jumlah padatan kota.

Dan dalam bayangan ku,..
Ah,. biar ku katakan dengan yakin, bahwa Ribuan manusia berada di kota. Sedangkan kata Ribuan bukan sesuatu yang pasti. Karena ku sebutkan Ribuan, bukan seribu dua ratus lima puluh dua, atau mungkin lebih bahkan kurang, yang kepastian tersebut tersusun dari bilangan cacah. Lagi-lagi hina manusia menentukan jumlah yang tak pasti.

Tapi Dia, pasti. Begitu juga keberadaanNya.
Walau hanya bayangan sejenak.
Tapi tetap melibatkan keberadaan TUHAN.

Aiwa, TUHAN itu ada, . 

*Mahasiswa SPH Fak. Syari’ah IAIN Ar-Raniry. Bekerja sebagai Koordinator Talks and News di Radio Seulaweut 91FM.

Minggu, 17 November 2013

Pajak Ikan Lama Pusat Grosir Kota Medan



Bangunan tua peninggalan belanda, yang bernama Titi Gantung itu berdiri kokoh dengan cat putih menyapa setiap kendaraan yang memasuki wilayah Pasar Ikan Lama atau yang dikenal warga Medan dengan sebutan Pajak Ikan Lama.
            Dalam hitungan menit, kami telah memasuki wilayah pasar tekstil yang cukup tersohor  ini. Tampak seorang turis mancanegara tengah menapaki ruas jalan. Sesekali  terlihat beberapa toko yang didominasi oleh pedagang berkebangsaan Cina, Arab, dan Pakistan.
            Seorang pedagang asli Pakistan, Muhammad Yaqub, yang mengaku telah 25 tahun menggantungkan kehidupannya menjadi pedagang di Pajak Ikan ini, mengiyakan bahwa beberapa abad yang lalu pajak ikan ini adalah tempat penjualan Ikan terbesar di Sumatera utara.
Tapi sekarang hal itu hanya tinggal nama saja karena tak ada seorang pun yang berjualan ikan tempat itu. “Itu jaman kakek-kakeknya saya dulu,” ujar Yaqub. Melihat dagangan yang ditawarkan seputar pajak ikan, tidak ditemui satu pun penjualan ikan. Yang ada malah penjualan tekstil, makanan ringan, dan souvenir.
Pajak ikan di titi Gantung kota Medan itu, hanya di jadikan sebagai lambang belaka. Faktanya, tak sedikitpun tercium bau hanyir ketika aku memasuki kawasan pajak ikan lama tersebut. yang ada hanya pedagang jenis dagangan  lainnya tampak meramaikan pajak itu.
Sebagai pendatang baru di kota terbesar ketiga di Indonesia ini, saya sempat mendengarkan  kebenaran cerita pajak ikan lama tersebut.  Efendi, salah seorang pedagang Ulos, tenunan khas suku Batak, ia mengungkapkan bahwa cerita tentang pasar ikan itu hanya sebatas mitos. Sebab sejak 1972 ia bekerja di sana, sudah banyak orang yang menjual tekstil.
Kesangsian ini terbukti setelah saya benar-benar menyusuri tiap lorong Pajak Ikan. “Pajak Ikan sebagai pusat grosir tekstil terbesar di Medan didominasi pedagang dari luar daerah. Mereka mengambil dan memasok barang ke daerah mereka dari sini,” tambah Yaqub.
Layaknya pasar ikan di peunayong Banda Aceh, berbagai jenis ikan dapat di jual disana, ada juga yang menjual jenis rempah-rempah,dan sayur-mayur. Sampai dengan dagangan jenis peralatan dapur. Sehingga saat pengunjung memasuki kawasan pasar ikan di peunayong itu, 15 Meter dari jalan besar, sudan tercium bau hanyir ikan di pasar ini. Menunjjukan bahwa pasar di daerah Istimewa Aceh itu terlihat masih hidup sampai sekarang.
            Beranjak dari situ, tampak bangunan-bangunan kuno dengan Arsitektur Belanda yang masih berdiri tegak di daerah ini. Kendaraan berlalu-lalang. Suara klakson memekakkan telinga, mengejutkan kami. Seorang tukang parkir menghampirinya. Dengan sigap mengarahkan sopir untuk parkir sesuai dengan posisi yang telah ditentukan, agar tak mengganggu pengendara lain.

Mengagetkan, ketika orang yang mengenakan pakaian dinas parkir berwarna orange itu menoleh, ternyata ia adalah seorang perempuan. Wajah pribumi terlihat kental dari raut wajahnya. Dia adalah Sari.  Ibu dari seorang anak berusia tiga belas tahun.
Wanita yang berumur setengah abad dan berkulit sawo matang ini sudah bekerja sebagai tukang parkir selama tiga bulan di sekitar Pajak Ikan lama tersebut. Sebelumnya dia menggeluti pekerjaan serupa selama satu setengah tahun di Jalan Sutomo. Dari pekerjaan ini, perempuan berambut sebahu ini mendapat penghasilan sekitar 15 sampai 30 ribu per hari setelah setoran.

Penghasilan keluarganya hanya dari pekerjaannya menjadi tukang parkir. Walaupun harus bekerja 12 jam setiap hari dengan hasil pas-pasan, ia masih mampu menyekolahkan anaknya yang saat ini berada di bangku SMP. “Suami saya jadi TKI (tenaga kerja Indonesia –red) di Malaysia,” ujarnya lirih. Dia enggan menjawab ketika ditanya apakah suaminya mengirim uang tiap bulannya. Dia hanya berkata, “Tegarlah dalam berumah tangga”.
 
Dengan keringat yang bercucuran menetes kedagungnya, dengan mengenakan jaket tebal berwarna hijau, ia tampak gerah. Di tengah bisingnya kota medan, padatnya alat transportasi yang mengantri panjang di setiap persimpang lampu merah, wanita yang bernama sari itu, rela menjadi salah seorang penjaga tukang parkir tepatnya di depan pajak ikan lama tersebut.

Tak ada sedikitpun bermuka masam ia tampakkan kepada anaknya yang masih dini.
Senyum tipis, salalu menepis dari wanita itu.
“ dengan menjalankan hidup seperti ini, saya akan lebih kecewa, jika tak dapat menyekolahkan anak-anakku” ujarnya sambil menerima uang recehan dari pengendara sepeda motor yang diparkirkan di kawasan pajak ikan lama tersebut.

Awalnya aku tak menghiraukan kalimat itu, tetapi setelah kami mengakhiri perjalanan barulah kami menyadari, di tengah pesatnya kemajuan Kota Medan, masih bertahan seorang “Ibu Parkir” yang menggantungkan sendi kehidupannya di sebuah pasar, di pusat kota ini.





Tugas Fiature

Salam Terakhir Untukmu



Oleh : Siti Aminah
Lelaki itu masih seperti dulu. Fostur tubuhnya kurus, senyumnya masih membekas dalam benakku. Aku mengenalnya beberapa tahun silam. Diantara cerita yang kurangkai, Ia pernah menjadi sejarah dalam hidupku. Namun, terkadang goresan hati dan tangan takkan pernah bisa menyatu. Entah ini namanya peristiwa “kebetulan”. Tapi, Aku percaya bahwa setiap rangkaian kisah dalam hidup adalah skenario Tuhan untuk hamba-hamba pilihannya.
Hari itu  peristiwa terpenting dalam hidupku. Pertemuan tanpa ada perencanaan. Tapi, beberapa tahun lalu, Aku masih mengingat kata-kata terakhir darinya.
“ Bagaimana, jika suatu saat nanti, Aku melihatmu bersama lelaki lain. sedangkan Aku sendiri hanya bisa menatapmu dengan kekosongan?”.  Katanya dengan penuh keyakinan.
Kata-kata itu sangat membekas dibenakku. Kata yang menguatkan bahwa pertemuan pertama tidak akan terjadi perpisahan terakhir. Tapi, itu rencana manusia. Kalau memang dia bukan untukku, tentu Allah akan memisahkan kami dengan cara-Nya.
“Aku yakin, semua akan terjadi sebaliknya”. Balasku. Meskipun dalam hati, Aku tak ingin semua itu terjadi kepada kami.
Aku tak pernah percaya dengan sebuah janji. Janji sebelum menikah hanya sebuah kepalsuan tanpa ada harapan pasti. Semua tentangnya sudah kukubur sedalam mungkin. Sulit memang untuk melupakan yang pertama tapi, yakinlah sesulit apapun akan menjadi mudah jika kita ‘ihklas” melepaskannya. Perpisahan antara kami memang tak ada perlu yang disalahkan. Memang sudah takdir Tuhan bahwa kami tak bisa hidup bersama.
                                                            ***
Waktu itu hari yang sangat melelahkan. Baru saja Aku memberikan materi tentang “gender” untuk mahasiswa Fakultas Dakwah. Sepulang itu, aku pergi ke sebuah warung dimana Aku sering melepaskan rasa penat di sana. Minum segelas bandrek susu dan gorengan akan terasa mengurangi kelelahanku.
Awalnya Aku telah mengajak seseorang untuk bisa duduk bersama. Aku sudah menunggu beberapa menit, Ia tak kunjung tiba. Aku sama sekali tak mempermasalahkannya. Lagian hari itu sudah mulai petang. Sambil menunggu jemariku memang tak bisa diam, kalau tak membaca pasti  memilih untuk menulis apa saja dikertas putih. Apakah itu puisi, cerita hari itu atau sepenggal tulisan hanya untuk membunuh rasa bosanku.
Setegup air putih  dengan sekejab menghilangkan rasa hausku.  Menulis adalah untaian kalimat yang mewakili perasaan hati. Rangakaian puisi itu Aku tulis hanya mengulang memory masa lalu. Intinya, Aku belajar dari hidupku yang telah berlalu. Menggambarkan sosok yang pernah mengisi kekosongan hati, mengukir semangat lewat prestasi. Imajinasiku langsung memasuki kalimat demi kalimat yang terurai sendirinya lewat bait-bait puisiku.
Sosok yang pernah hadir dalam hidupku
Memberiku harapan dengan kekuatan ‘Mahabbah”
Cinta itu terukir bagai salju
Namun,  mengikis rasa dipenghujung iba
Dunia takkan pernah kecil dengan cinta itu
Karena suatu ketika ucapan akan menjadi kenyataan tanpa ada perencanaan.
Percayalah..hanya ihklas yang membuat hati jadi tegar dan damai..

Kubiarkan tulisan itu terbentang di atas meja. “ Ah, siapa yang peduli dengan rangkain tulisan ini. Hanya ada Aku dan Tuhan di sini.” Pikirku.
Aku menatap dengan pandangan kosong ke arah tulisan itu. Benar-benar menakjubkan sebuah keihklasan yang tergambar dalam hatiku. Aku menulis tanpa ada rasa benci. Dulu, Aku memang membencinya. Karena cintaku kulabuhkan alakadarnya, hatiku menghapus rasa benci itu.

“Ini puisi kebetulan, tak ada niat untuk mengulang” Hatiku mulai berbicara. Tiba-tiba,
Lamunanku dikejutkan oleh kehadiran dua sosok yang tak asing dimataku. Dua orang yang sangat Aku kenal, mereka juga mengenalku. Baru saja, Aku merangkainya lewat tulisan. Tuhan  langsung menjawab pertanyaanku beberapa Tahun yang lalu bahkan hari itu juga.

“ Aku yang akan melihatmu, sedang Aku sedang sendiri dalam kekosongan”.
“ Subhallah” Pikirku.
Apa yang kurasakan? Aku hanya memberi salam pada keduanya.
Memang terasa sangat aneh dan asing. Terkadang sikap  menjadi salah tingkah. Aku seperti mimpi disiang hari. Aku hanya melihatnya, yah melihatnya bersama orang baru dalam hidupnya.
Sebelumnya Aku pernah lari dari kenyataan. Aku tak bisa bertemu dengannya lagi, apalagi jika Aku melihatnya dengan perempuan lain. itu tentu sangat menyesakkan dadaku.
Tapi hari ini, kedua bola mataku menatap dua sosok yang pernah terbesit dalam pikiranku. Dulu Aku menatapnya dengan cinta. Saat ini, Aku melihatnya seperti  teman biasa. Seperti Ia tak pernah hadir dalam hidupku. Padahal, Ia adalah yang pertama dulu untukku.

“Oh, Tuhan. Kemana rasaku. Apa Aku sudah mati rasa. Bukankah Aku pernah menulis bahwa, dia yang terbaik. Tapi sekarang bukan dia yang membaikkannku. Dulu Aku mengatakan bahwa dia segalanya. Hari ini, dia bukan apa-apanya di hadapanku.”.

Aku menormalkan sikapku. Aku hanya memberi senyum dan salam pada mereka. Bahkan, kami masih sempat bercanda. Bukankah Aku akan merasa sakit hati?
Hatiku benar-benar hilang. Aku tak menemukan diriku yang dulu dihadapannya. Hari ini Aku menemukan pelajaran hidup yang takkan pernah kulupakan seumur hidup.

“Disaat Aku belajar arti sebuah keihklasan. Tuhan, memberiku kekuatan. Bahkan Ia menghilangkan rasaku saat Aku berpikir Aku takkan bisa melihatnya lagi. Tuhan mendengar doa,aku yang lalu, Ia mengabulkannya saat Aku menulis lagi tentangnya. Saat itu juga, keyakinanku bertambah. Tak ada sedetikpun dalam hidup ini tanpa ada Pengawasan dari-Nya, Ia memberiku cinta, jika Aku mencintai seseorang melebihi dari cintaku kepada-Nya, maka Ia mengambilnya dariku. Itu semua agar Aku bisa memilih mencintai-Nya dari pada Aku memilih orang yang belum tentu milikku.”

Aku memutuskan meninggalkan mereka lebih awal. Bukan karena ketidakberdayaanku. Tetapi, karena Aku tak ingin mengusik ketenangan mereka. Aku bahagia melihatnya bahagia, bukankah begitu cinta sesungguhnya?
Sepulang dari tempat itu, Aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidur. sambil menunggu Azan Magarib Aku membuka sebuah buku. Sebuah kisah perjalanan cinta yang mebangun spritualitas. 
ku pernah ………..
Aku pernah tersenyum meski kuterluka !
karena kuyakin Tuhan tak menjadikannya untukku,
Aku pernah menangis kala bahagia,
karena kutakut kebahagiaan cinta ini akan sirna begitu saja,
Aku pernah bersedih kala bersamanya,
karena kutakut aku kan kehilangan dia suatu saat nanti, dan
Aku juga pernah tertawa saat berpisah dengannya,
karena sekali lagi, cinta tak harus memiliki, dan
Tuhan pasti telah menyiapkan cinta yang lain untukku.

penggalan puisi itu sudah cukup menghiburku. Bahwa sejatinya cinta memang tak harus memiliki. Kalau memang pertemuan itu hanya sebatas ujian untukku, Aku menerimanya dengan keimananku. Karena iman dalam hati, takkan pernah bisa mengusik  lubuk hati paling dalam sekalipun. Aku bisa belajar dari banyak kisah takdir cinta hidup orang. Kisah yang menyentuh hati agar tidak menyalahkan qadar cinta itu sendiri. Ceritaku memang tidak apa-apanya. Tapi, bagiku kehidupan ini adalah catatan yang harus dilukiskan lewat tulisan. Tulisan takkan pernah  memudarkan  sejarah masa lalu. Lewat ini, Aku bisa belajar lebih banyak.  Karena sejatinya hidup  tanpa cinta memang sirna, tapi lebih sirna jika kita menegakkan cinta bukan mengharap Ridha dari-Nya.






Jumat, 08 November 2013

GAYOHIGHLAN Serpihan Tanah Surga



Oleh:Siti Aminah
Pernahkah  Anda menjejaki  langkah  ke Tanoh  Gayo? Saat  melintasi  kota Takengon, tentu pandangang  kita akan  terarah  pada  sebuah  bukit  yang  menjulang  tinggi disebelah  selatan.  Siapa sangka, ternyata bukit dengan ketinggian  rata-tata 80 kaki dari darat  tersebut sering  dijadikan  tepat  wisata yang paling menantang  dan  indah  untuk  menghilangkan rasa penat dan sesak.
Dataran tinggi Gayo adalah salah satu kota wilayah Aceh Tengah yang banyak menyimpan ratusan wisata terindah. Bukan hanya ada Laut Tawar, bukit tinggi dengan beragam ketinggian juga tersedia di sini. Jika Anda selama ini hanya mengenal tempat wisata berupa lawatan sejarah daerah seperti mengunjungi Putri Pukes, Loyang Koro, Atu Belah, Radio Rimba Raya, dan Bur ni Telong itu sudah menjadi wahana wisatawan dari jaman dahulu.
Tempat tersebut tentu tidak asing lagi dimata masyarakat Aceh, apalagi baru pertama menginjak kota dingin ini, tentu ingin menggali lebih banyak lagi. Kali ini, Aku mencoba menaiki puncak yang dinamakan Gayohighlan tersebut.  Selain tempatnya tak terlalu jauh, jalan untuk menempuh ke tempat itu juga gampang-gampang sulit.
Jika Anda ingin melepaskan penat karena kerja seharian, atau memikirkan hal tersulit dalam hidup Anda, maka saya menyarankan Anda untuk menaiki puncak Gayohighlan. Saya jamin, tak ada penyesalan jika kaki Anda sudah berada di bukit tersebut. Meskipun melelahkan, keindahan alam memberi salam kepada Anda, bahwa tempat inilah seprihan surga Tanoh Gayo. Surga yang menjadi kenangan terindah selama di kota Takengon.
Aku menyebutnya dengan kitab terbentang. Alam luas karena sang pencipta maha besar. Allah melukiskan keindahan tersebut agar kita sebagai manusia bersyukur atas apa yang diciptakan-Nya. Udaranya begitu dingin, tak heran kalau pendaki sering menggunakan jaket lebih tebal dari biasanya. Kesejukannya menawarkan kedamaian hati, menenangkan pikiran, melambungkan khayalan tentang indahnya ciptaan Tuhan.
Panorama Gayohighlan menyapa bagi siapa yang mengunjunginya. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua berdiri di sana. Tak kalah, fotografer yang ingin memotret kota dan danau Takengon juga dapat diambil dari selah-selah bukit tersebut. Mereka siap menembak mencari angle terbaik untuk mendapatkan foto terindah dibalik moment yang ada.
Sesampai di bukit itu, Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Segala masalah serasa lenyap ditelan kelelahan  perjalanan. Di sini, Aku bisa menikmati keindahan kota Takengon dan Danau Laut tawar dari bukit tertinggi bagian kota ini. Di bagian kanan, ada hamparan laut yang membentang, dihadapanku ada tumpukan rumah yang padat. Itulah gambaran  kota Takengon.
“ Tempat ini sangat menyenangkan. Ini adalah pertama saya melangkahkan kaki ke Gayohighlan, pemandangannya sangat  indah. Bahkan, diantara bukit-bukit menjulang tinggi di kota ini, hanya di sini saya bisa menikmati keindahan alam yang sangat sempurna. Perjalan ini sangat menantang saya, tiada ketakutan dengan ketinggian demi melihat keindahan pegunungan” Kata Eka Saputri salah seorang pendaki puncak Gayohighlan.
“ Tak ku sangka, ternyata selogan kota dingin sebagai serpihan tanah surga bukan hanya bayangan. Serpihannya bisa dilihat dari Gayohighlan. Tergambar jelas sudut-sudut kota takengon bak lukisan alam, sejuknnya menembus tulang sendi. Puas rasanya bisa mendaki pucak ini, di sinilah kita mengenal serpihan tanah surga itu” Tambah Bensu  Elianita sambil menikmati suasana ketinggian Gayohighlan.
Mengenal serpihan tanah surga memang tidak hanya dilihat dari puncak gayohighlan saja, tapi bisa juga dari bukit berni telong, namun terasa sangat jauh untuk bisa menatap laut tawar  dan kota takengon, semua tergantung kepada penikmat wisata. Di mana kaki berpijak, di sanalah kita bisa merasakan keindahan alam sekitarnya.
Misalnya, saat moment yang tepat Anda melangkahkah kaki ke tanoh gayo pada akhir tahun. Biasanya, pada bulan November atau Desember akan  ada jenis perayaan di kota ini. Misalnya perlombaan pacuan kuda, renang, dan Kayuh perahu dari berbagai wilayah yang ada di sana. Pacuan kuda menjadi tradisi setiap tahunnya. Perlombaan tersebut diselenggarakan di blang bebangka di  Toa. Di Aceh sendiri, kuda hanya ada diwilayah Aceh Tengah . Kuda menjadi hiburan dan tontonan  bagi masyarakat gayo pada umumnya.
Nah, sudah tidak asing lagikan untuk menelusuri wisata apa saja yang paling indah di tanoh gayo ini? Meskipun tak semua wisatawan suka dengan ketinggian, pilihan lain juga ada. Bila bosan dengan lautan, maka saya saranakan Anda bisa mengujungi air terjun mengaya dipinggiran laut tawar. Tempatnya tidak jauh dari lautan tepatnya di didesa mengaya kecamatan Bintang. di sana, Anda bisa merasakan sejuknya air pegunungan. Bila Anda pernah menyentuh es batu baru mencair, seperti itulah gambaran air yang bisa menusuk tulang Anda.
Jadi, para wisatawan yang hendak berkunjung ke kota dingin, jangan lupa melihat serpihan tanah surga dari perbukitan yang ada di wilayah sana. Sebelum melakukan perjalanan jauh, hendaklah mempersiapkan diri dan kendaraan Anda sebaik mungkin. Di tengah perjalanan yang terjal, Anda sebaiknya berhati-hati untuk mendaki puncak Gayohighlan.tak jarang, banyak wisatawan menjadi korban luka-luka karena jatuh di atas pasir. Jalan menuju lokasi tersebut memang belum usai, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya Anda harus waspada. Jangan sampai tak sempat melihat serpihan tanah surga, malah kita sudah cidera.