Oleh: Siti Aminah
Upaya
memperbaiki kualitas pembangunan fisik di Aceh tak mudah. Tak bisa menunjuk
satu instansi saja. Semua komponen pembangunan baik eksekutor di lapangan,
pembuat kebijakan, penyedia barang dan jasa, serta kondisi geografis Aceh
saling terkait. Satu sektor lalai, semua terbengkalai.
Tapi
apa yang terjadi di Aceh cukup keblablasan. Dosen Teknik Sipil Unsyiah, Maimun
Rizahaldi melihat penempatan tenaga kerja tidak sesuai dengan spesialisasinya. Harusnya
pelaksanaan sebuah proyek kontruksi mengikuti SOP teknisnya. Dimana para
pekerja ahli didasari oleh bidang dan keterampilannya masing-masing.
Sebut
saja semisal juru ukur kuantitas gedung di bidang arsitektur. Di Aceh, tupoksi
ini hanya didasari formalitas semata. Pihak pelaksana proyek (kontraktor) tidak
sepenuhnya memiliki juru ukur dengan kualitas yang baik. (Lihat Tabel, Daftar Sub Bidang dan Keterampilan Dalam Dunia Kontruksi)
Bilamana
kesalahan penempatan tenaga ahli ini terjadi, maka jangan heran hasil
pelaksanaan proyek kontruksi juga bobrok. “Selama ini banyak bangunan di Aceh
ditangani oleh yang bukan profesionalisme di bidangnya,” katanya.
Di
sisi lain, Maimun juga tak menutup mata dengan praktik mafia kontruksi yang
dijalankan oleh oknum tertentu. Akibatnya, pun tenaga ahli kontruksi ini
memadai, perilaku culas untuk mendapatkan keuntungan tak dapat dihelakkan. Tak
peduli meski hasil kontruksinya tidak sesuai dengan spesifikasi tertulis di
antara pemilik proyek (pemerintah) dengan kontraktor.
Cara
ini memang sangat gampang digeluti meskipun beresiko dijebloskan ke jeruji
besi. Pengurangan material, penurunan kualitas material, hingga upaya ‘main
mata’ dengan pihak pengawas juga dilakukan untuk mengelabui pelaporan dan
verifikasi publik. Tidak hanya itu. Sejumlah pengusaha bahkan berani berjudi
dengan hasil kontruksi yang dihasilkannya.
“Sering
kali mereka berjudi dengan bangunan yang telah dibangun. Bila bangunan tersebut
bertahan sampai masa pemeliharan, maka beruntunglah kontraktor tersebut,” jelas
Maimun
Di tatanan
ini, pihak kontraktor tidak serta-merta bisa disalahkan. Ulah pelaksana tender
juga jadi alasan. Ada tekanan bila tanpa setoran, takkan jadi tender
dimenangkan. Kontraktor diajarkan menjadi pencuri oleh pemerintah sendiri.
Lumrah pula, para kontraktor balas dendam. Cari keuntungan di dengan segala
konsekuensi hukum.
Sayangnya
fenomena yang bukan barang baru lagi di Aceh ini sudah menjadi tradisi. Bahkan
sering diibaratkan bak air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga. Budaya
potong-memotong anggaran kontruksi dilakukan turun-temurun dari satu pengusaha
ke pengusaha lainnya. Dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang baru.
Abdullah, Ketua
Laboratorium Struktur Teknik Sipil di Kampus yang sama ikut
membenarkan praktik tersebut. Fakta adanya kontraktor nakal tak bisa dibiarkan
begitu saja. Meskipun sudah menjadi akut, namun bukan berarti tak bisa
disembuhkan. Butuh waktu dan regulasi yang ketat serta edukatif untuk
menciptakan nuansa proyek kontruksi yang sehat.
Memang
secara nasional, semua pelaksanaan jasa kontruksi harus mempedomani
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999. Turunan dari undang-undang ini lahirlah
petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) setiap tahapan
realisasi jasa kontruksi. Hanya saja undang-undang tersebut masih dangkal. Masih
banyak celah-celah aman yang bisa dipelintir oleh pelaksana proyek untuk
mencari keuntungan pribadi.
Sementara
itu sebagai daerah otonom, harusnya Aceh menyesuaikan Undang-undang yang ada
tersebut sehingga celah-celah aman yang bisa dipelintir oleh pelaksana
kontruksi bisa diminimalir, bahkan ditutupi. Beberapa poin yang dianggapnya
paling penting perihal upaya pengawasan yang transparan dan akuntabel serta mekanisme
penghukuman yang edukatif dan konstruktif.
Bukan
tanpa alasan dirinya menyebutkan dua hal tersebut sebagai urgensi Pemerintah
Aceh yang baru. Sudah menjadi rahasia umum, pihak Inspektorat, Dinas Bina Marga
dan Cipta Karya, serta pihak konsultan pun bermain mata dengan kontraktor, bila
ditengarai adanya kecolongan-kecolongan teknis dan non-teknis. Selanjutnya tata
cara dan mekanisme penghukuman terhadap kontraktor nakal juga perlu diatur
dengan baik sehingga mata rantai kontraktor nakal dapat diputuskan. “Itulah perlu
ada regulasi yang jelas untuk mengatur setiap langkah pembangunan yang
berkualitas. Sehingga tidak terjadi kembali berbagai macam penyimpangan di
kemudian hari,” jelasnya.
“Mestinya
bisa dimasukkan dalam Rancangan Program Jangka Menengah Daerah (RPJM) dan RPJP
sebagai wujud bahwa pemerintah Aceh mendukung proses pembangunan yang sehat,”
sambungnya
Soal
kualitas dan profesionalitas kontraktor lokal Aceh, hubungannya juga erat
mengenai kesempatan yang mestinya diberikan oleh Pemerintah Aceh. Sebuah
perusahaan kontruksi lokal takkan mampu melakukan reformasi teknis dan
managemen tanpa pengalaman pelaksanaan kontruksi di lapangan.
Perlu
mekanisme pembagian proyek, namun bukan dilandasi semangat mendapatkan fee. Akan tetapi lebih kepada pemberian
kesempatan agar mereka bisa belajar berlaku professional. Jika hal itu
dilakukan dengan terstruktur dan professional, dirinya meyakini 2030 para
pengusaha kontruksi asal Aceh dapat berkompetisi untuk mendapatkan proyek-proyek
nasional yang nilainya tak kecil.
Di tempat
terpisah Anggota Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) Ismandi Imran menyebutkan,
secara administratif tolok ukur profesionalitas pelaksana kontruksi baik
sebagai perusahaan, maupun sebagai personal dilihat dari sertifikasi yang
dilaluinya. Sertifikat itu diperoleh melalui uji kompetensi secara langsung
yang dilakukan oleh lembaga terkait.
Kualifikasi
badan usaha terdiri dari enam jenis. Diantaranya yakni badan usaha dengan
kualifikasi gred 2. Badan usaha ini hanya dibolehkan ikut serta dalam proyek
paling besar dengan nilai RP 300 juta. Badan usaha ini bisa berbentuk
perusahaan comanditer (CV), Firma, bahkan Koperasi. Syarat lainnya minimal
memiliki tenaga ahli bersertifikat keterampilan (SKT) untuk diangkat menjadi
penanggung jawab teknik (PJT).
Selain
itu badan usaha kontruksi terdiri dari gred 3 dengan batasan nilai kontrak yang
bisa ditangani senilai dibawah Rp 600 juta, kualifikasi gred 4 untuk proyek di
bawah Rp 1 Milyar, kualifikasi gred 5 untuk proyek antara Rp 1 M - Rp 10 M, dan
kualifikasi gred 6 dengan batasan nilai proyek antara Rp 1 M hingga Rp 25 M.
Sementara
itu badan usaha tertinggi memiliki kualifikasi dengan gred 7. Perusahaan ini
bisa melakukan transaksi kontruksi dengan nilai di atas Rp 1 Milyar hingga tak
terbatas. Selain harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau PT-PMA,
perusahaan ini juga harus memiliki tenaga ahli bersertifikat keahlian (SKA)
minimal Ahli Madya untuk diangkat sebagai penanggung jawab tekni (PJT) dan
penanggung jawab bidang (PJB).
“Yang
memberikan sertifikasi itu Unit Sertifikasi Badan Usaha (USBU) dan Unit
Sertifikasi tenaga kerja (USTK). Dari itu, sangat aneh bila ada kecurangangan
dalam dunia kontruksi” pungkas Ismandi yang juga Dosen di Institut Teknik
Bandung (ITB).
Meski
tak menampik sertifikasi bukanlah jaminan untuk menumpas praktis kontraktor
nakal, namun mekanisme yang terstruktur dan terlihat ketat ini cukup menjadi
tolok ukur seberap berkualitas para pelaksana kontruksi. Tinggal lagi katanya,
butuh peran Lembaga Pengembangan Jasa Kontruksi (LPJK) untuk membina semua
stakeholder pelaku bisnis kontruksi.
Masalah Sosial?
Saleh
Sjafei terlihat santai dengan stelan kemeja biru. Wajahnya tajam membolak-balik
beberapa buku yang ada di mejanya. Matanya dihiasi dengan kacamata berlensa
negatif yang terlihat apik. Lalu sebuah senyum mengawali percakapan panjang
mengenai dunia kontruksi. Dia merupakan Sosiolog Unsyiah yang menyelesaikan
program Doktoral di Universitas Indonesia. Selama ini dia intens memberikan
berbagai pernyataan terkait dinamika sosial masyarakat Aceh pasca damai dan
musibah gempa serta tsunami.
“Kolusi,
Korupsi, dan Nepostisme terjadi dalam dunia kontruksi. Ini masalah sosial,”
ujar penyuka Film Aksi ini.
Kritisnya
nilai-nilai kejujuran dalam diri pelaku kontruksi dan pemilik kontruksi
(pemerintah) merupakan masalah dasar yang harusnya menjadi urgensi setiap
individu terkait. Namun hal itu sudahlah diabaikan. Perilaku ketidakjujuran ini
bahkan dilakukan secara kolektif untuk menutup kran konflik kepentingan di
lintas stakeholder terkait.
Melihat
Aceh sebagai Negeri Syariat, harusnya krisis moral dalam dunia kontruksi tidak
terjadi. Nilai-nilai Islam selalu mengajarkan setiap masyarakat untuk berlaku
jujur. Perilaku jujur itu lumrahnya berujung pada realisasi nilai-nilai
profesionalisme dalam setiap transaksi proyek kontruksi. Namun hanyalah harapan
yang tinggal. Para mafia kontruksi terus hidup dan berkembang bak jamur di
musim hujan.
Melihat
kenyataan itu dalam konteks praktis, Saleh terlihat kesulitan memberikan
masukan. Apalagi fungsi lembaga adat di Aceh dinilai belum mampu mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Lain lagi bicara kebijakan di sektor kontruksi yang jelas
selalu dibungkam dengan segepok rupiah. Namun bukan mustahal jika kemudian para
petinggi adat juga membicarakan masalah ini dengan jalan-jalan intelektual.
“Memang
perlu adanya semacam shock teraphy sosial sehingga jika kontraktor tertentu
melakukan pemotongan uang kontruksi, maka dia akan digunjing di tengah-tengah
masyarakat,” tutup Saleh. [YR]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar