Sabtu, 19 Januari 2013

Harusnya Bagaimana?



Oleh: Siti Aminah
Upaya memperbaiki kualitas pembangunan fisik di Aceh tak mudah. Tak bisa menunjuk satu instansi saja. Semua komponen pembangunan baik eksekutor di lapangan, pembuat kebijakan, penyedia barang dan jasa, serta kondisi geografis Aceh saling terkait. Satu sektor lalai, semua terbengkalai.
Tapi apa yang terjadi di Aceh cukup keblablasan. Dosen Teknik Sipil Unsyiah, Maimun Rizahaldi melihat penempatan tenaga kerja tidak sesuai dengan spesialisasinya. Harusnya pelaksanaan sebuah proyek kontruksi mengikuti SOP teknisnya. Dimana para pekerja ahli didasari oleh bidang dan keterampilannya masing-masing.

Sebut saja semisal juru ukur kuantitas gedung di bidang arsitektur. Di Aceh, tupoksi ini hanya didasari formalitas semata. Pihak pelaksana proyek (kontraktor) tidak sepenuhnya memiliki juru ukur dengan kualitas yang baik. (Lihat Tabel, Daftar Sub Bidang dan Keterampilan Dalam Dunia Kontruksi)
Bilamana kesalahan penempatan tenaga ahli ini terjadi, maka jangan heran hasil pelaksanaan proyek kontruksi juga bobrok. “Selama ini banyak bangunan di Aceh ditangani oleh yang bukan profesionalisme di bidangnya,” katanya.
Di sisi lain, Maimun juga tak menutup mata dengan praktik mafia kontruksi yang dijalankan oleh oknum tertentu. Akibatnya, pun tenaga ahli kontruksi ini memadai, perilaku culas untuk mendapatkan keuntungan tak dapat dihelakkan. Tak peduli meski hasil kontruksinya tidak sesuai dengan spesifikasi tertulis di antara pemilik proyek (pemerintah) dengan kontraktor.
Cara ini memang sangat gampang digeluti meskipun beresiko dijebloskan ke jeruji besi. Pengurangan material, penurunan kualitas material, hingga upaya ‘main mata’ dengan pihak pengawas juga dilakukan untuk mengelabui pelaporan dan verifikasi publik. Tidak hanya itu. Sejumlah pengusaha bahkan berani berjudi dengan hasil kontruksi yang dihasilkannya.
“Sering kali mereka berjudi dengan bangunan yang telah dibangun. Bila bangunan tersebut bertahan sampai masa pemeliharan, maka beruntunglah kontraktor tersebut,” jelas Maimun
Di tatanan ini, pihak kontraktor tidak serta-merta bisa disalahkan. Ulah pelaksana tender juga jadi alasan. Ada tekanan bila tanpa setoran, takkan jadi tender dimenangkan. Kontraktor diajarkan menjadi pencuri oleh pemerintah sendiri. Lumrah pula, para kontraktor balas dendam. Cari keuntungan di dengan segala konsekuensi hukum.
Sayangnya fenomena yang bukan barang baru lagi di Aceh ini sudah menjadi tradisi. Bahkan sering diibaratkan bak air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga. Budaya potong-memotong anggaran kontruksi dilakukan turun-temurun dari satu pengusaha ke pengusaha lainnya. Dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang baru.
Abdullah, Ketua Laboratorium Struktur Teknik Sipil di Kampus yang sama ikut membenarkan praktik tersebut. Fakta adanya kontraktor nakal tak bisa dibiarkan begitu saja. Meskipun sudah menjadi akut, namun bukan berarti tak bisa disembuhkan. Butuh waktu dan regulasi yang ketat serta edukatif untuk menciptakan nuansa proyek kontruksi yang sehat.
Memang secara nasional, semua pelaksanaan jasa kontruksi harus mempedomani Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999. Turunan dari undang-undang ini lahirlah petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) setiap tahapan realisasi jasa kontruksi. Hanya saja undang-undang tersebut masih dangkal. Masih banyak celah-celah aman yang bisa dipelintir oleh pelaksana proyek untuk mencari keuntungan pribadi.
Sementara itu sebagai daerah otonom, harusnya Aceh menyesuaikan Undang-undang yang ada tersebut sehingga celah-celah aman yang bisa dipelintir oleh pelaksana kontruksi bisa diminimalir, bahkan ditutupi. Beberapa poin yang dianggapnya paling penting perihal upaya pengawasan yang transparan dan akuntabel serta mekanisme penghukuman yang edukatif dan konstruktif.
Bukan tanpa alasan dirinya menyebutkan dua hal tersebut sebagai urgensi Pemerintah Aceh yang baru. Sudah menjadi rahasia umum, pihak Inspektorat, Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, serta pihak konsultan pun bermain mata dengan kontraktor, bila ditengarai adanya kecolongan-kecolongan teknis dan non-teknis. Selanjutnya tata cara dan mekanisme penghukuman terhadap kontraktor nakal juga perlu diatur dengan baik sehingga mata rantai kontraktor nakal dapat diputuskan. “Itulah perlu ada regulasi yang jelas untuk mengatur setiap langkah pembangunan yang berkualitas. Sehingga tidak terjadi kembali berbagai macam penyimpangan di kemudian hari,” jelasnya.
“Mestinya bisa dimasukkan dalam Rancangan Program Jangka Menengah Daerah (RPJM) dan RPJP sebagai wujud bahwa pemerintah Aceh mendukung proses pembangunan yang sehat,” sambungnya
Soal kualitas dan profesionalitas kontraktor lokal Aceh, hubungannya juga erat mengenai kesempatan yang mestinya diberikan oleh Pemerintah Aceh. Sebuah perusahaan kontruksi lokal takkan mampu melakukan reformasi teknis dan managemen tanpa pengalaman pelaksanaan kontruksi di lapangan.
Perlu mekanisme pembagian proyek, namun bukan dilandasi semangat mendapatkan fee. Akan tetapi lebih kepada pemberian kesempatan agar mereka bisa belajar berlaku professional. Jika hal itu dilakukan dengan terstruktur dan professional, dirinya meyakini 2030 para pengusaha kontruksi asal Aceh dapat berkompetisi untuk mendapatkan proyek-proyek nasional yang nilainya tak kecil.
Di tempat terpisah Anggota Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) Ismandi Imran menyebutkan, secara administratif tolok ukur profesionalitas pelaksana kontruksi baik sebagai perusahaan, maupun sebagai personal dilihat dari sertifikasi yang dilaluinya. Sertifikat itu diperoleh melalui uji kompetensi secara langsung yang dilakukan oleh lembaga terkait.
Kualifikasi badan usaha terdiri dari enam jenis. Diantaranya yakni badan usaha dengan kualifikasi gred 2. Badan usaha ini hanya dibolehkan ikut serta dalam proyek paling besar dengan nilai RP 300 juta. Badan usaha ini bisa berbentuk perusahaan comanditer (CV), Firma, bahkan Koperasi. Syarat lainnya minimal memiliki tenaga ahli bersertifikat keterampilan (SKT) untuk diangkat menjadi penanggung jawab teknik (PJT).
Selain itu badan usaha kontruksi terdiri dari gred 3 dengan batasan nilai kontrak yang bisa ditangani senilai dibawah Rp 600 juta, kualifikasi gred 4 untuk proyek di bawah Rp 1 Milyar, kualifikasi gred 5 untuk proyek antara Rp 1 M - Rp 10 M, dan kualifikasi gred 6 dengan batasan nilai proyek antara Rp 1 M hingga Rp 25 M.
Sementara itu badan usaha tertinggi memiliki kualifikasi dengan gred 7. Perusahaan ini bisa melakukan transaksi kontruksi dengan nilai di atas Rp 1 Milyar hingga tak terbatas. Selain harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau PT-PMA, perusahaan ini juga harus memiliki tenaga ahli bersertifikat keahlian (SKA) minimal Ahli Madya untuk diangkat sebagai penanggung jawab tekni (PJT) dan penanggung jawab bidang (PJB).
“Yang memberikan sertifikasi itu Unit Sertifikasi Badan Usaha (USBU) dan Unit Sertifikasi tenaga kerja (USTK). Dari itu, sangat aneh bila ada kecurangangan dalam dunia kontruksi” pungkas Ismandi yang juga Dosen di Institut Teknik Bandung (ITB).
Meski tak menampik sertifikasi bukanlah jaminan untuk menumpas praktis kontraktor nakal, namun mekanisme yang terstruktur dan terlihat ketat ini cukup menjadi tolok ukur seberap berkualitas para pelaksana kontruksi. Tinggal lagi katanya, butuh peran Lembaga Pengembangan Jasa Kontruksi (LPJK) untuk membina semua stakeholder pelaku bisnis kontruksi.
Masalah Sosial?
Saleh Sjafei terlihat santai dengan stelan kemeja biru. Wajahnya tajam membolak-balik beberapa buku yang ada di mejanya. Matanya dihiasi dengan kacamata berlensa negatif yang terlihat apik. Lalu sebuah senyum mengawali percakapan panjang mengenai dunia kontruksi. Dia merupakan Sosiolog Unsyiah yang menyelesaikan program Doktoral di Universitas Indonesia. Selama ini dia intens memberikan berbagai pernyataan terkait dinamika sosial masyarakat Aceh pasca damai dan musibah gempa serta tsunami.
“Kolusi, Korupsi, dan Nepostisme terjadi dalam dunia kontruksi. Ini masalah sosial,” ujar penyuka Film Aksi ini.
Kritisnya nilai-nilai kejujuran dalam diri pelaku kontruksi dan pemilik kontruksi (pemerintah) merupakan masalah dasar yang harusnya menjadi urgensi setiap individu terkait. Namun hal itu sudahlah diabaikan. Perilaku ketidakjujuran ini bahkan dilakukan secara kolektif untuk menutup kran konflik kepentingan di lintas stakeholder terkait.
Melihat Aceh sebagai Negeri Syariat, harusnya krisis moral dalam dunia kontruksi tidak terjadi. Nilai-nilai Islam selalu mengajarkan setiap masyarakat untuk berlaku jujur. Perilaku jujur itu lumrahnya berujung pada realisasi nilai-nilai profesionalisme dalam setiap transaksi proyek kontruksi. Namun hanyalah harapan yang tinggal. Para mafia kontruksi terus hidup dan berkembang bak jamur di musim hujan.
Melihat kenyataan itu dalam konteks praktis, Saleh terlihat kesulitan memberikan masukan. Apalagi fungsi lembaga adat di Aceh dinilai belum mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah. Lain lagi bicara kebijakan di sektor kontruksi yang jelas selalu dibungkam dengan segepok rupiah. Namun bukan mustahal jika kemudian para petinggi adat juga membicarakan masalah ini dengan jalan-jalan intelektual.
“Memang perlu adanya semacam shock teraphy sosial sehingga jika kontraktor tertentu melakukan pemotongan uang kontruksi, maka dia akan digunjing di tengah-tengah masyarakat,” tutup Saleh. [YR]

Tidak ada komentar: