Oleh : Siti Aminah
Berbicara soal Budaya merupakan sebuah
kekuatan dasar yang di tanamkan dalam diri seseorang maupun dalam sebuah
Adat-Istiadat. Mempertahankan sebuah budaya bukanlah perkara yang mudah bagi
suatu Daerah. Begitu juga dengan budaya Gayo atau suku-suku minoritas lainnya
yang ada di Aceh. Dalam Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe (QLWN) yang akan
segera di sahkan, menuai banyak protes dari kalangan suku-suku minoritas
terutama masyarakat Gayo.
Ada
rasa haru dan kekuatan emosional tinggi dalam benak saya, ketika melihat
puluhan mahasiswa Gayo menggelar Aksi protes tentang pembuatan QLWN di depan
gedung DPRA Banda Aceh Saptu Kemarin.
Tuntutan yang di bacakan oleh beberapa mahasiswa tersebut yaitu menolak secara
tegas QLWN, jika klausal Bahasa Aceh yang fasih dan baik serta keturunan Aceh
menjadi salah satu syarat menjadi Wali Nanggroe.
Menurut
para Aksi, pembuatan QLWN masih terkesan mendiskriminasikan suku-suku minoritas
yang ada di Aceh. Selain suku Gayo ada juga suku minoritas lainnya. Seperti
Aceh Tamiang, Alas, Singkil, Jamee, Kluet, Semeulue, dan suku lainnya yang
termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Aceh.
Dalam
Wikipedia, Suku Gayo adalah
sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo. Suku Gayo secara
mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah
(25%), Bener Meriah (25%), Gayo Lues
(25%) Aceh Tenggara (15%), Aceh Timur
(5%), Aceh Tamiang (3%), di Luar Aceh
(2%). Suku Gayo beragama Islam
dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut
bahasa Gayo.
Kalau
ternyata Qanun Wali Nanggroe yang di rancang oleh DPRA dan Pemerintah Aceh,
mendiskriminasi kelompok minoritas, lantas untuk siapa Qanun itu di Buat?
Benarkah masyarakat Gayo tidak menyatakan wilayahnya sebagai orang Aceh.
Pada
dasarnya dalam pasal 3 huruf a di rancangnya QLWN bertujuan untuk mempersatukan
rakyat Aceh. Namun. Saat mempermasalahkan soal Bahasa, wujud persatuan Rakyat
Aceh jelas sebatas angan dan mimpi belaka. Karena hakitnya, masih banyak orang
Gayo dan suku minoritas lainnya tidak mengerti Bahasa Aceh. Sehinnga QLWN terkesan
mengimajirnalkan suku mioritas yang ada di Aceh.
Memperhatikan budaya Gayo
Pernahkah
kita melihat bagaimana kekuatan Adat Istiadat Gayo di Luar Derah itu sendiri?
Biasanya, masyarakat Gayo seluruhnya adalah menganggap satu dan lainnya (sesama
Gayo) saudara, satu darah, satu tanah kelahiran. Kekuatan persaudaraan itu
tumbuh dan berkembang dari generasi ke generasi. Gayo juga memproduksi banyak
Budaya seni,dan bahasa yang di gunakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu bahasa
Gayo. Wajar saja Gayo melakukan penolakan terhadap QLWN dari beberapa pasal
yang di anggap tidak akomodatif.
Orang
Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku
untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin
(mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut
bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga
diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan,
seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber
dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut
oleh seluruh masyarakat Gayo ( Wikipedia).
Mengakarnya
kebudayaan tersebut sudah menjadi cerminan khusus bagi masyarakat Gayo.
Mempertahankan budaya dan menghargai sebuah Bahasa adalah sebuah keharusan yang
di lakukan oleh masyarakat Gayo. Apa bila persoalan kewajiban berbahasa Aceh
menjadi persyaratan menjadi Wali Nanggroe di masa akan datang, wajar saja suku-suku minoritas mempertanyakan
QLWN itu untuk siapa?
Menghindari konflik Sesama Aceh
Dalam
persoalan ini, harus ada sebuah pencerdasan dan penjelasan lebih dalam mengenai
pembuatan QLWN kepada seluruh Rakyat Aceh. Pada Dasarnya bahwa semua suku yang ada di
wilayah Aceh adalah sama. Apapun bahasa
yang di pakai tetap dalam satu buah Naungan yaitu di dalam Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD). Budaya tentang sebuah kedaerah adalah sebagai tanda bahwa
Orang Aceh kaya akan bahasa dan budaya yang terdapat di dalam Aceh itu sendiri.
Untuk
menghindari konflik sesama orang yang tinggal dalam satu rumah yaitu Aceh, maka
pemerintah Aceh harus memperhatikan, mempertimbangkan, dan mengahargai
suku-suku yang ada di di Aceh. Agar
tidak terjadi konflik antar sesama dalam suatu Wilayah.
Apabila
QLWN tersebut langsung di sahkan, tampa mempertimbangkan suku minoritas
lainnya, khawatir akan banyak daerah yang memilih untuk membentuk sebuah
Provinsi baru dan memisahkan diri dari Aceh. Karena persolan Bahasa merupakan
bahasan Sensitif bagi sebuah Daerah. Kebudayaan yang mengakar tersebut
seharusnya Pemerintah Aceh menghargai dengan
mempertimbangkan beberapa pasal yang ada dalam QLWN. Sehingga konsep
keberagaman juga dapat di lihat, bukan hanya memaksakan konsep keseragaman yang
justru menghancurkan Rakyat Aceh.
Kita
sebagai Rakyat Aceh, harus bisa memberikan contoh bagi Daerah lain yang ada di
luar Aceh. Ketoladan itu harus berawal dari menghargai Budaya sendiri dan juga
budaya Derah lain. Persatuan dan kesatuan sebuah Daerah bukan hanya terbentuk
apabila terjadi konflik berkepanjangan. Sehingga muncul istilah “Kalau ada
Perang Aceh bersatu, kalau masih damai mencari lawan,sesama Aceh adalah lawan
sendiri. Apabila Perang Aceh kembali bersatu” Semoga saja tradisi jelek itu tidak
membudaya dalam diri kita dan juga generasi di masa akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar