Sabtu, 19 Januari 2013

Membumi Hanguskan Suku Minoritas


Oleh : Siti Aminah
Berbicara soal Budaya merupakan sebuah kekuatan dasar yang di tanamkan dalam diri seseorang maupun dalam sebuah Adat-Istiadat. Mempertahankan sebuah budaya bukanlah perkara yang mudah bagi suatu Daerah. Begitu juga dengan budaya Gayo atau suku-suku minoritas lainnya yang ada di Aceh. Dalam Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe (QLWN) yang akan segera di sahkan, menuai banyak protes dari kalangan suku-suku minoritas terutama masyarakat Gayo.

Ada rasa haru dan kekuatan emosional tinggi dalam benak saya, ketika melihat puluhan mahasiswa Gayo menggelar Aksi protes tentang pembuatan QLWN di depan gedung DPRA Banda Aceh Saptu  Kemarin. Tuntutan yang di bacakan oleh beberapa mahasiswa tersebut yaitu menolak secara tegas QLWN, jika klausal Bahasa Aceh yang fasih dan baik serta keturunan Aceh menjadi salah satu syarat menjadi Wali Nanggroe.
Menurut para Aksi, pembuatan QLWN masih terkesan mendiskriminasikan suku-suku minoritas yang ada di Aceh. Selain suku Gayo ada juga suku minoritas lainnya. Seperti Aceh Tamiang, Alas, Singkil, Jamee, Kluet, Semeulue, dan suku lainnya yang termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Aceh.
Dalam Wikipedia, Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah (25%), Bener Meriah (25%), Gayo Lues (25%) Aceh Tenggara (15%), Aceh Timur (5%), Aceh Tamiang (3%), di Luar Aceh (2%). Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.
Kalau ternyata Qanun Wali Nanggroe yang di rancang oleh DPRA dan Pemerintah Aceh, mendiskriminasi kelompok minoritas, lantas untuk siapa Qanun itu di Buat? Benarkah masyarakat Gayo tidak menyatakan wilayahnya sebagai orang Aceh.
Pada dasarnya dalam pasal 3 huruf a di rancangnya QLWN bertujuan untuk mempersatukan rakyat Aceh. Namun. Saat mempermasalahkan soal Bahasa, wujud persatuan Rakyat Aceh jelas sebatas angan dan mimpi belaka. Karena hakitnya, masih banyak orang Gayo dan suku minoritas lainnya tidak mengerti Bahasa Aceh. Sehinnga QLWN terkesan mengimajirnalkan suku mioritas yang ada di Aceh.
Memperhatikan budaya Gayo
Pernahkah kita melihat bagaimana kekuatan Adat Istiadat Gayo di Luar Derah itu sendiri? Biasanya, masyarakat Gayo seluruhnya adalah menganggap satu dan lainnya (sesama Gayo) saudara, satu darah, satu tanah kelahiran. Kekuatan persaudaraan itu tumbuh dan berkembang dari generasi ke generasi. Gayo juga memproduksi banyak Budaya seni,dan bahasa yang di gunakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu bahasa Gayo. Wajar saja Gayo melakukan penolakan terhadap QLWN dari beberapa pasal yang di anggap tidak akomodatif.
Orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo ( Wikipedia).
Mengakarnya kebudayaan tersebut sudah menjadi cerminan khusus bagi masyarakat Gayo. Mempertahankan budaya dan menghargai sebuah Bahasa adalah sebuah keharusan yang di lakukan oleh masyarakat Gayo. Apa bila persoalan kewajiban berbahasa Aceh menjadi persyaratan menjadi Wali Nanggroe di masa akan datang,  wajar saja suku-suku minoritas mempertanyakan QLWN itu untuk siapa?
Menghindari konflik Sesama Aceh
Dalam persoalan ini, harus ada sebuah pencerdasan dan penjelasan lebih dalam mengenai pembuatan QLWN kepada seluruh Rakyat Aceh.  Pada Dasarnya bahwa semua suku yang ada di wilayah Aceh adalah sama.  Apapun bahasa yang di pakai tetap dalam satu buah Naungan yaitu di dalam Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Budaya tentang sebuah kedaerah adalah sebagai tanda bahwa Orang Aceh kaya akan bahasa dan budaya yang terdapat di dalam Aceh itu sendiri.
Untuk menghindari konflik sesama orang yang tinggal dalam satu rumah yaitu Aceh, maka pemerintah Aceh harus memperhatikan, mempertimbangkan, dan mengahargai suku-suku yang ada di di Aceh.  Agar tidak terjadi konflik antar sesama dalam suatu Wilayah.
Apabila QLWN tersebut langsung di sahkan, tampa mempertimbangkan suku minoritas lainnya, khawatir akan banyak daerah yang memilih untuk membentuk sebuah Provinsi baru dan memisahkan diri dari Aceh. Karena persolan Bahasa merupakan bahasan Sensitif bagi sebuah Daerah. Kebudayaan yang mengakar tersebut seharusnya Pemerintah Aceh menghargai dengan  mempertimbangkan beberapa pasal yang ada dalam QLWN. Sehingga konsep keberagaman juga dapat di lihat, bukan hanya memaksakan konsep keseragaman yang justru menghancurkan Rakyat Aceh.
Kita sebagai Rakyat Aceh, harus bisa memberikan contoh bagi Daerah lain yang ada di luar Aceh. Ketoladan itu harus berawal dari menghargai Budaya sendiri dan juga budaya Derah lain. Persatuan dan kesatuan sebuah Daerah bukan hanya terbentuk apabila terjadi konflik berkepanjangan. Sehingga muncul istilah “Kalau ada Perang Aceh bersatu, kalau masih damai mencari lawan,sesama Aceh adalah lawan sendiri. Apabila Perang Aceh kembali bersatu” Semoga saja tradisi jelek itu tidak membudaya dalam diri kita dan juga generasi di masa akan datang.

Tidak ada komentar: