Oleh: Siti Aminah
Tinggal menghitung
hari, Indonesia kembali mengadakan pesta Demokrasi. Setelah pemilihan calon
Legislatif, DPRK, DPRD, dan DPR RI 09 April lalu. Dari 13 caleg yang sukses terpilih ke DPR RI,
akhirnya Ir. H. Tagore Abubakar perwakilan dari dataran tinggi Gayo, terpanggil
ke Senayan Jakarta. Kepercayaan masyarakat Gayo pun terlihat sangat besar atas
kinerja sosok yang pernah menjabat sebagai Bupati Bener Meriah Priode 2007
tersebut.
Sebagai masyarakat biasa,
saya ingin mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran saya tentang Gayo sekarang.
Tulisan ini juga terbentuk, berdasarkan hasil pengamatan saya melalui media
Lintasgayo dan juga diskusi bersama aktivis gayo yang sering menyuarakan Gayo
ke luar daerah. Meski pun saya tak pernah duduk bersamaan dengan Tagore, namun
saya condong melihat bagaimana ketika Tagore pernah memimpin Bener Meriah tempo
dulu.
Ini memang perkara yang
tak pantas untuk dibicarakan kembali. Sebagai orang yang suka merekam jejak
masa lalu. Saya tak pernah lupa, saat penyambut bulan suci ramadhan. Di desa
saya, kebetulan banyak anak-anak yatim. Namun, hampir setiap bulan Ramadhan
Tagore memberikan santunan kepada seluruh anak yatim yang ada di Kabupaten
Bener Meriah. Kalau boleh saya katakan, santunan itu memang tidak bisa di nilai
dengan materi. Karena, kalau di nilai dengan materi, tentu itu belum cukup
untuk mensejahterakan jumlah anak yatim yang sangat banyak. Apa lagi, banyak
anak-anak yang korban konflik, sehingga mereka kehilangan orang tuanya.
Tetapi, masyarakat
begitu senang dengan kebijakan Tagore tersebut. Saya tidak tahu, apakah
santunan yang diberikan merupakan uang dari pemerintah, atau saku pribadi. Yang
paling penting bagi saya adalah,
mengingat pristiwa bulan Ramadhan tersebut. Mungkin, mengingat itu masyarakat
kembali mengingat sosok pemimpin yang peduli terhadap rakyat-rakyat kecil. Bukan
hanya itu, saya melihat Tagore juga sangat peduli dengan pendidikan, yang ada
di dataran tinggi Gayo. Apapun kegiatan mahasiswa, Ia tak pernah menolak
memberikan bantuan, walaupun hanya sedikit.
Pada 01 Oktober 2014,
semua anggota legislatif DPR dan DPD RI akan di lantik. Seperti pelantikan pada
umumnya, di sana tentu akan ada perjanjian dan sumpah jabatan yang akan di
bacakan kepada semua anggota legeslatif. Namun, sebelum pelantikan itu akan
dilaksanakan, kami mempunyai harapan besar kepada Tagore Abubakar selaku
perwakilan orang Gayo. Kami tak ingin, ada beberapa kalimat yang ke luar dari
banyak orang “ Mau jadi Presiden, mau DPR, apa pun itu, kami rakyat kecil tetap
seperti ini saja. Kami tidak berubah” Pernyataan itu tentu tak ingin terulang
kembali untuk para caleg yang akan mewakili daerah ini.
Harapan kami tidak
terlalu besar. Pertama kami hanya ingin perkara Aceh Lauser Antara (ALA) yang
banyak disuarakan masyarakat gayo hari ini, bisa terselesaikan dengan bijak,
dengan paduan untuk kepentingan masyarakat Gayo, bukan kepentingan kelompok maupun
pribadi. Kedua, kami melihat tidak ada perubahan yang signifikan yang tampak di
daerah Gayo. Seharusnya, tugas pemimpin daerah hari ini adalah menyoal apa yang
di butuhkan masyarakat Gayo bisa teralisasikan, artinya suara mereka juga
merupakan bait-bait dari janji-janji yang pernah ditawarkan oleh pemimpin
sebelumnya kemudian baru benar-benar jadi pemimpin. Saya melihat salah satunya
masih banyak akses jalan antara satu desa ke desa yang lain mengalami rusak
berat. Kalau mengatakan anggaran tidak ada itu bukan alasan, kerena semua sudah
disediakan khusus untuk pemerintah daerah. Yang Kedua, akses pendidikan yang
tidak merata. Baik secara kualitas maupun kuantitas. Program untuk pendidikan seharunya di nomor
satukan, karena tanpa pendidikan bagaimana mungkin daerah kita akan maju, jika
cara berpikir masyarakatnya saja masih terkesan “loyo”. Ini juga akan
berpengaruh kepada pendidikan anak, melihat kenyataan Gayo hari ini masih banyak
anak-anak yang tidak bisa menikmati fasilitas pendidikan secara baik. Tidak
cukup di sini saja, seharusnya pemerintah juga menyediakan beasiswa bagi
anak-anak beprestasi, kurang mampu, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
lebih tinggi. Ini juga menimbang, banyak SDM di Bener Meriah yang masih minim,
terutama dalam mengelola kinerja di pemerintahan.
Ke tiga, terkait dengan
pembangunan dan perekonomian. Jika di tinjau dari aspek Ekonomi, sebenarnya ‘haram’
masyarakat Gayo di kategorikan Kabupaten No 2 Termiskin dari Seumeulu.
Pasalnya, sector ekonomi ada di tanah yang subur ini. Melihat mata pencaharian
masyarakat Gayo pada umumnya adalah bertani, seharusnya harga kopi jangan
turunnya dua tahun, naiknya hanya sebulan. Ini perkara lobi. Seharusnya sebagai
produsen, kita bisa menciptakan sarana yang unggul untuk membawa kopi Gayo ke
luar daerah, bukan hanya sekedar unggulan nama di tingkat Internasional namun
seiring waktu hanya memberikan kekayaan kepada para tengkulak, sedangkan petani
hanya menunggu harga mati yang tak pernah pasti. Wajar saja, kondisi ini sangat
memprihatikan jika di biarkan begitu saja. Harapan saya yang terakhir adalah
hapuskan kolusi dan Nepotisme. Karena itu, tak akan bisa membuat daerah Gayo
menjadi maju. Bukankah Negara yang lemah itu membiarkan generasinya diambil
oleh Negara lain, dan mempertahankan orang-orang yang bodoh di dalamnya? Semoga
apa yang di cita-citakan masyarakat Gayo ke depan bisa tercapai, dan pemimpin
hari ini bisa mengembankan amanah dari rakyatnya.
Penulis
adalah Staf Program Newtwork for Education Wacth (NEW Indonesia) Alumni IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar