Oleh : Siti Aminah
Kasus korupsi di Indonesia semakin meningkat. Mulai
dari korupsi di partai poitik sampai
dengan kasus korupsi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (SKK Migas), Asal ada peluang yang besar,
di sanalah tempat mencari kesempatan bagi wakil rakyat untuk mengisi kantongnya
sendiri. Anehnya, mulai dari orde baru sampai orde reformasi yang tercatat
jumlah kasus korupsi di negeri ini mayoritasnya
kaum laki-laki. Namun, saat ini wabah penyakit menular materialisme tersebut sudah mengefouria kepada kaum
perempuan.
Sejak ditetapkannya Undang-Undang persetujuan konpensi
hak-hak politik kaum perempuan (UU 68 Tahun 1958) menjadikan perempuan di Indonesia berpikir
esensialistik yakni hal yang penuh
kebaikan pasti melekat pada kaum perempuan. Namun, sisi negatifnya tetap saja
muncul. ketika esensialisme itu telanjur
menancap dalam kesadaran sosial, maka kekecewaan terhadap perempuan pun berubah
menjadi sejenis kepanikan moral yang berkepanjangan
(Hedriansyah).
Ditambah lagi dengan Pasal 53 UU pemilu mengatakan bahwa
daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen
keterwakilan perempuan.
Meskipun sulit untuk dicapai, namun yang sudah tampak didepan mata saja harus
berpikir ulang terhadap keterlibatan kaum perempuan di dunia politik apalagi
sebagai pemegang jabatan strategis di publik ini.
Kalau
melirik siapa saja perempuan yang
terjerat kasus korupsi di Negara ini adalah Harini Wijoso, Arthalita Suryani , Wa Ode Nurhayati, Nunun
Nurbaeti, Miranda Swaray Goeltom, Mindo Rosalina Manulang, dan figur yang
paling menjadi pusat perhatian adalah Angelina Sondak
dalam kasus skandal wisma atlet yang berujung di penjara. Ini merupakan bukti
bahwa perempuan belum bisa sebagai pemegang kekuasaan penuh di publik ini.
Meskipun, peran perempuan dalam dunia politik harus terlibat, namun harus
mempertimbangkan jabatan apa yang akan dipegang agar tidak terjadi
penyelewengan dan menganggap kaum perempuan sebagai uji coba dalam pemegang
kekuasaan.
Bias Gender
Gender seringkali disalah artikan oleh kaum elit
politik. Terutama bagi perempuan yang ingin terlibat secara langsung di parpol.
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia yang ditulis oleh Nasaruddin dijelaskan
bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Perempuan kerap mempunyai peran dalam mengatur reproduksi, produksi
dan kemasyarakatan. Laki-laki lebih terfokus pada produksi dan politik
kemasyarakatan.
Penempatan
perempuan dalam istilah dapur, kasur, dan sumur menjadi kontroversi dikalangan
perempuan itu sendiri. Kaum perempuan
menganggap justifikasi tersebut menjatuhkan intelektual dan merendahkan posisi
kaum perempuan di publik. Tentu menjadi sebuah permasalah apabila perempuan
tidak bisa menjadi pilar yang taat
terhadap aturan Negara. Artinya, kaum perempuan bisa juga menjerumuskan diri
dalam hal pencurian uang negara yang berdampak pada figur kepemimpinan sebagai
ibu rumah tangga untuk mendidik anak-anaknya sebagai generasi bangsa. Apa kata
dunia? Faktanya keterwakilan perempuan seperti tokoh-tokoh yang sudah
disebutkan tidak bisa menjaga esentitas dirinya sebagai perempuan. Bagaimana
mungkin bisa mengurus Negara, kalau masih memposisikan diri sebagai laki-laki
tetapi mecontoh para maling di Negara tercinta ini?
Partisipasi Perempuan
Permasalahan di Indonesia
saat ini semakin kompleks.
Sehingga bisa menjadi pelajaran bagi generasi kepemimpinan di masa akan
datang. Apalagi pesta demokrasi menjelang pemilu 2014 mendatang akan segera memilih calon
presiden dan legeslatif. Pemilihan tersebut
terus menjadi persaingan bagi elit politik terutama kaum perempuan yang
ingin menduduki kursi panas di parlemen.
Ada beberapa kegalauan bagi bangsa ini ketika terjadi
penyelewengan kekuasaan di pemerintahan. pasalnya, hampir semua pejabat Negara
tidak terkecuali dari partai-partai besar pernah terlibat skandal kasus
korupsi. Tidak terlepas apakah itu kaum perempuan dan juga laki-laki. ini
membuktikan bahwa cerminan kepemimpinan bangsa indonesia kedepan masih tahap
kegalauan dalam memilih siapakah pemimpin bersih dari kasus-kasus korupsi
tersebut?
Bukan pada persoalan
laki-laki saja yang terjaring di penjara, namun perempuan juga berpeluang untuk
mencicipi rumah besi tersebut. Ada beberapa point yang ingin penulis sampaikan
bahwa dalam kondisi Indonesia serba kompleks saat ini memang perlu dibutuhkan
partisipasi kaum perempuan dari segala aspek. Baik keterlibatan dibidang
politik, ekonomi, pendidikan, pembangunan, social, dan budaya. Seluruh aspek
dalam tatanan berbangsa dan bernegara itu tentu tidak mungkin hanya diisi oleh
kaum laki-laki.
Di sini,
partisipasi perempuan dalam aspek pendidikan tentu lebih penting dibandingkan
dengan perpolitikan. Karena pada dasarnya, perempuan adalah pendidik utama bagi
anak-anaknya. Apabila perempuan ditempatkan pada posisi strategis di anggota
dewan , kekhawatiran kita adalah akan bertambah banyak lagi perempuan cerdas
yang akan meninggalkan keluarganya demi kepentingan publik. Padahal, laki-laki
secara fisik lebih kuat dibandingkan kaum perempuan.
Boleh-boleh saja
perempuan itu berpolitik, asal tidak menyeleweng dari kodratinya sebagai
perempuan. Meskipun tidak semua perempuan menyalahkan aturan publik, tapi
kebanyakan saat ini tokoh perempuan itu sendiri yang membuktikan kepada kaum
perempuan bahwa mereka tidak sanggup dalam mengurusi Negara ini.
Hal yang perlu
diperhatikan ketika perempuan menjabat
pada posisi strategis, pertama
perempuan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pertumbuhan anak-anaknya,
kalau diistilahkan ibu rumah itu induk dari sebuah keluarga. Kedua,
meskipun secara prestasi perempuan lebih cerdas, namun dari segi emosi
masih terlihat krisis sehingga bisa menyebabkan stereotif gender. Ketiga, perempuan harus bisa membedakan
antara urusan pribadi, keluarga,dan
publik. Di sinilah perempuan itu dikatakan sebagai wonder women not Wonder Corruption Women
Tidak ada komentar:
Posting Komentar