Selasa, 22 Oktober 2013

Memasung Harapan Ke Negeri Asing



Oleh: Siti Aminah

“Kau lihat peta dunia itu kawan”. Kataku padanya sambil menunjuk ke arah peta dunia.
Ia sedang membangun harapan yang pernah Ia kuburkan dalam-dalam sejak bulan April lalu. Setelah lulus sarjana Ia tak ingin kembali ke tanah kelahiranya. Semua orang diperantauan ingin menjadi pahlawan, bukan pahlawan kampungan. Pikirannya masih meraba-raba materi tak sampai ditangannya, bukan kolot, ini masalah harga diri. Meraih gelar S1 sama sulitnya dengan mencari jarum dalam jerami.
“Andai Aku sepertimu. Ada uang banyak kemudian Aku bisa membeli apa yang ku mau, bisa melanjutkan kuliah di Luar Negeri tanpa harus banting pikiran memenuhi scor toefl itu, Tentu dunia ini seperti dalam gemgamanku.” Guman Cut Keu Mala.

Aku menarik nafas panjang. Cut memang memasung impiannya untuk kuliah ke Luar Negeri. Tapi, untuk memperoleh beasiswa tentu harus siap bersaing dan bersanding diantara orang-orang yang cerdas. Ia harus mengorbankan siang dan malam demi mewujudkan impiannya. Ia tak ingin impiannya akan terhapus bak hamparan debu yang pasrah ditiup angin begitu saja.
“Andai itu adalah ungkapan seorang Atheis yang tak ingin mengenal Tuhannya. Kau faham soal islam yang mengajarkan tentang perjuangan dan larangan berputus asa. Kalau Kau terus berandai, maka Kau tak bisa mengemgam mimpimu. Orang lain itu hanya cerminan bagimu, Aku tak lebih baik darimu kalau Kau bisa memaknai arti dari sebuah perjuangan” Tangkasku.
Wajah Cut seketika berubah. Awalnya Ia masih bisa menatapku dengan damai, kini resah seolah ingin menyerang tanggapanku. Ia terlihat bengis ketika Aku menyamakannya dengan seorang Atheis. Tanpa balasan, Cut meninggalkanku sendiri. Aku hanya berpikir ulang, apakah kata-kataku membuat hatinya terluka atau mengusik pikirannya. Biarkanlah
“Orang yang sedang membangun mimpi dan sulit untuk mewujudkannya, Ia seperti bangun dari tidurnya dan tidak menerima takdir dalam mimpinya” Pikirku.
***
CUT kembali menyapaku. Aku yakin, karena Cuma Aku yang bisa membuatnya merasa tak tenang. Hanya Aku yang bisa membuat pikirannya gelisah, Aku memang tak merasa baik darinya. Tapi, Aku ingin memberikan yang terbaik selagi Ia meminta saran untuk masalah yang Ia dihadapi. Baginya, saranku memang konyol tapi Ia sering juga menagih. Teman memang seperti itu. Memang harus datang tepat waktu dikala orang lain membutuhkannya.
Hari ini memang berbeda dengan sebelumnya. Aku melihat wajah Cut secerah mentari, seredup rembulan, secantik Cleopatra, dan semangatnya melebihi Antoni Robbin sang motivator kelas dunia.
“ Kamu memang cocok jadi ratu ngombal” Kata Cut Sambil tertawa. Biasanya, kami menikmati coffee Morning di salah satu tempat yang sering kami tongkrongi. Hingga saat ini kami menyebutnya “Warkop sejuta harapan”. Di sanalah, tempat kami saling berbagi dan bercerita.
“Aku sudah memutuskan untuk berangkat ke LN dalam bulan ini”.Kata Cut. Aku terperangah ada rasa ini hanya candaan Cut.
“ Memangnya, Kau sudah lulus beasiswa? Terus bagaimana dengan Toefl, apakah sudah mencapai scor 500?” Tanyaku penasaran.
Cut mengeluarkan selembar kertas putih dari dalam tasnya. Ia menyuruhku untuk membacanya keras-keras.
“Selamat, Anda di Terima di Universitas Malayasia”. Kata-kata itu sangat jelas, tak ada tanda-tanda pemalsuan di sana, karena stempel dan korp surat tersebut langsung di print lewat PDF dari pemerintah negeri tetangga tersebut.
“ Apa ini beasiswa? “tanyaku kembali.

“ Tidak. Ini biaya sendiri. Akomodasi, tempat tinggal, bayar uang semester sampai selesai Aku yang tanggung sendiri” Jawab Cut dengan penuh semangat.
“ Aku terkagum-kagum. Rasa khwatir bercampur bahagia terus merasuki relung hatiku paling dalam. Bagaimana mungkin, Ia bisa mengambil kepetusan sekonyol itu. Ia hanya seorang perempuan bertubuh kecil bermimpi besar, Ia hanya seorang Cut biasa. Tapi, semangat dan perjuangannya seperti Cut Nyak Dien, Cut Mutia, dan Cut-Cut pejuang lainnya.”
“Apakah Kau sudah mempunyai tabungan awal, sebelum keberangkatanmu kesana?” Aku benar-benar menyakan hal ini sampai detil. Jangan sampai Cut kena penyaki moral no satu. Gara-gara ambisi ingin S2 apa saja bisa dilakukan asal masih punya tekad dan nekad.

“ Aku sudah mempunyai uang Rp 8 juta. Untuk Spp per semester Rp 12 Juta, belum lagi ngurus pasport, Visa, dan cek kesehatan di sana. Semua memang serba kekurangan. Namun, dalam beberapa hari ini Aku akan meminjamkan beberapa juta lagi, agar bisa menutupi uang yang kurang” Ujar Cut sambil memegang erat kertas itu.

Kini Aku hanya bisa mendukung impian Cut. Ia memang bisa diandalkan dalam hal perjuangan. Aku mengenal prinsipnya. “ Nothing Not Impossible, if U beleave Allah” Katanya.
Cut banyak mendengar dari kisah perjalan orang-orang sukses yang kuliah sambil bekerja di negeri orang. Katanya yang harus dipersiapkan sebagai bekal keberangkatan adalah tekad bukan nekad. Tekad tentu kesungguhan seseorang untuk mecapai cita-citanya sehingga Ia terus memperjuangkannya. Sedangkan Nekad belum tentu ada tekad. Nekad biasanya  sama dengan bunuh diri, karena tanpa memikirkan resiko yang terjadi ke depannya.
“Sekarang Aku hanya punya tekad. Tekad dan impian akan membawaku menerjang batu granit kesulitan. Aku takkan berhenti untuk memikirkannya sebelum benar-benar tercapai” Tegas Cut.
Cut akhirnya berangkat bersama mimpinya. Hanya Cover besar hasil sumbangan dari seorang Ibu yang baru dikenalnya itu menemani kepergiannya. Ia harus meninggalkan kota Jihad yang pernah Ia sebut sebagai kota para pejuang.

Hanya modah tekad Cut akan menghabiskan sisa perjalannya. Sebelum Ia berangkat, Ia berpesan kepadaku.

“ Kau tau tidak, peta dunia yang Kau sampaikan awal Juli lalu menjadi pemandangan yang indah. Aku tak ingin hanya melihat dan menatapnya dalam-dalam, kemudian membawa imajinasiku pergi ke kota yang kutuju. Tapi, Aku ingin mengiring langkahku ke sana. Bukankah Kau yang sudah mengajarkanku tentang perjalanan lewat peta?. Aku akan memasung harapanku ke Negeri Asing. Biarkan aku terdampar, asal pikiran dan akalku tak lapar karna ilmu. Aku haus dengan itu semua. Tapi, Aku bukan Atheis yang biasa berandai-andai seperti yang Kau tuduh tempo lalu. Aku hanya muslim yang taat, yang percaya bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Nah, Aku perempuan kecil yang ingin menjemput takdirku lewat Ridhanya. Kalau Tuhan tak restu, mungkin keberangkatanku akan terhalang” Cut menitikkan air matanya. Akupun tak sanggup menahan tangis karena rasa haru terhadap perjuangannya.
 Berulang kali Ia mengucapkan terima kasih kepadaku.  “Akan kukabari keadaanku jika sampai di sana.” Ujarnya.

Rejeki memang sudah di atur oleh yang Kuasa. Manusia hanya berusaha dan terus berdo,a. Cut adalah sosok perempuan tangguh dari negeri jihad. Kini Ia sudah bisa kuliah sambil bekerja sebagai tukang jahit di sana. Meskipun sulit, Ia merasa bahagia. Karena separuh harapannya untuk kuliah di Malaysia kini cerah sudah. Ia mengajarkan tentang garis tangan perempuan. Perempuan seharusnya seperti itu. Membuktikan dengan kenyataan yang pahit yang akan berbuah manis. Siapa yang menanam merekalah yang akan menuai hasil, bukankah begitu kata pepatah?. Semoga kita bisa menyusul, meski tidak di negeri yang sama, tetap tak meredakan impian yang ada.
P












Tidak ada komentar: