Oleh:
Siti Aminah
“Kau lihat peta dunia
itu kawan”. Kataku padanya sambil menunjuk ke arah peta dunia.
Ia sedang membangun
harapan yang pernah Ia kuburkan dalam-dalam sejak bulan April lalu. Setelah
lulus sarjana Ia tak ingin kembali ke tanah kelahiranya. Semua orang
diperantauan ingin menjadi pahlawan, bukan pahlawan kampungan. Pikirannya masih
meraba-raba materi tak sampai ditangannya, bukan kolot, ini masalah harga diri.
Meraih gelar S1 sama sulitnya dengan mencari jarum dalam jerami.
“Andai Aku sepertimu.
Ada uang banyak kemudian Aku bisa membeli apa yang ku mau, bisa melanjutkan
kuliah di Luar Negeri tanpa harus banting pikiran memenuhi scor toefl itu, Tentu
dunia ini seperti dalam gemgamanku.” Guman Cut Keu Mala.
Aku menarik nafas
panjang. Cut memang memasung impiannya untuk kuliah ke Luar Negeri. Tapi, untuk
memperoleh beasiswa tentu harus siap bersaing dan bersanding diantara
orang-orang yang cerdas. Ia harus mengorbankan siang dan malam demi mewujudkan
impiannya. Ia tak ingin impiannya akan terhapus bak hamparan debu yang pasrah
ditiup angin begitu saja.
“Andai itu adalah
ungkapan seorang Atheis yang tak ingin mengenal Tuhannya. Kau faham soal islam
yang mengajarkan tentang perjuangan dan larangan berputus asa. Kalau Kau terus
berandai, maka Kau tak bisa mengemgam mimpimu. Orang lain itu hanya cerminan
bagimu, Aku tak lebih baik darimu kalau Kau bisa memaknai arti dari sebuah
perjuangan” Tangkasku.
Wajah Cut seketika
berubah. Awalnya Ia masih bisa menatapku dengan damai, kini resah seolah ingin
menyerang tanggapanku. Ia terlihat bengis ketika Aku menyamakannya dengan
seorang Atheis. Tanpa balasan, Cut meninggalkanku sendiri. Aku hanya berpikir
ulang, apakah kata-kataku membuat hatinya terluka atau mengusik pikirannya.
Biarkanlah
“Orang yang sedang
membangun mimpi dan sulit untuk mewujudkannya, Ia seperti bangun dari tidurnya
dan tidak menerima takdir dalam mimpinya” Pikirku.
***
CUT
kembali
menyapaku. Aku yakin, karena Cuma Aku yang bisa membuatnya merasa tak tenang.
Hanya Aku yang bisa membuat pikirannya gelisah, Aku memang tak merasa baik
darinya. Tapi, Aku ingin memberikan yang terbaik selagi Ia meminta saran untuk
masalah yang Ia dihadapi. Baginya, saranku memang konyol tapi Ia sering juga
menagih. Teman memang seperti itu. Memang harus datang tepat waktu dikala orang
lain membutuhkannya.
Hari ini memang berbeda
dengan sebelumnya. Aku melihat wajah Cut secerah mentari, seredup rembulan,
secantik Cleopatra, dan semangatnya melebihi Antoni Robbin sang motivator kelas
dunia.
“ Kamu memang cocok
jadi ratu ngombal” Kata Cut Sambil tertawa. Biasanya, kami menikmati coffee
Morning di salah satu tempat yang sering kami tongkrongi. Hingga saat ini kami
menyebutnya “Warkop sejuta harapan”. Di sanalah, tempat kami saling berbagi dan
bercerita.
“Aku sudah memutuskan
untuk berangkat ke LN dalam bulan ini”.Kata Cut. Aku terperangah ada rasa ini
hanya candaan Cut.
“ Memangnya, Kau sudah
lulus beasiswa? Terus bagaimana dengan Toefl, apakah sudah mencapai scor 500?”
Tanyaku penasaran.
Cut mengeluarkan
selembar kertas putih dari dalam tasnya. Ia menyuruhku untuk membacanya
keras-keras.
“Selamat, Anda di
Terima di Universitas Malayasia”. Kata-kata itu sangat jelas, tak ada
tanda-tanda pemalsuan di sana, karena stempel dan korp surat tersebut langsung
di print lewat PDF dari pemerintah negeri tetangga tersebut.
“ Apa ini beasiswa?
“tanyaku kembali.
“
Tidak. Ini biaya sendiri. Akomodasi, tempat tinggal, bayar uang semester sampai
selesai Aku yang tanggung sendiri” Jawab Cut dengan penuh semangat.
“ Aku terkagum-kagum.
Rasa khwatir bercampur bahagia terus merasuki relung hatiku paling dalam.
Bagaimana mungkin, Ia bisa mengambil kepetusan sekonyol itu. Ia hanya seorang
perempuan bertubuh kecil bermimpi besar, Ia hanya seorang Cut biasa. Tapi,
semangat dan perjuangannya seperti Cut Nyak Dien, Cut Mutia, dan Cut-Cut
pejuang lainnya.”
“Apakah Kau sudah
mempunyai tabungan awal, sebelum keberangkatanmu kesana?” Aku benar-benar
menyakan hal ini sampai detil. Jangan sampai Cut kena penyaki moral no satu.
Gara-gara ambisi ingin S2 apa saja bisa dilakukan asal masih punya tekad dan
nekad.
“ Aku sudah mempunyai
uang Rp 8 juta. Untuk Spp per semester Rp 12 Juta, belum lagi ngurus pasport,
Visa, dan cek kesehatan di sana. Semua memang serba kekurangan. Namun, dalam
beberapa hari ini Aku akan meminjamkan beberapa juta lagi, agar bisa menutupi
uang yang kurang” Ujar Cut sambil memegang erat kertas itu.
Kini Aku hanya bisa
mendukung impian Cut. Ia memang bisa diandalkan dalam hal perjuangan. Aku
mengenal prinsipnya. “ Nothing Not
Impossible, if U beleave Allah” Katanya.
Cut banyak mendengar
dari kisah perjalan orang-orang sukses yang kuliah sambil bekerja di negeri
orang. Katanya yang harus dipersiapkan sebagai bekal keberangkatan adalah tekad
bukan nekad. Tekad tentu kesungguhan seseorang untuk mecapai cita-citanya
sehingga Ia terus memperjuangkannya. Sedangkan Nekad belum tentu ada tekad.
Nekad biasanya sama dengan bunuh diri,
karena tanpa memikirkan resiko yang terjadi ke depannya.
“Sekarang Aku hanya
punya tekad. Tekad dan impian akan membawaku menerjang batu granit kesulitan.
Aku takkan berhenti untuk memikirkannya sebelum benar-benar tercapai” Tegas
Cut.
Cut akhirnya berangkat
bersama mimpinya. Hanya Cover besar hasil sumbangan dari seorang Ibu yang baru
dikenalnya itu menemani kepergiannya. Ia harus meninggalkan kota Jihad yang
pernah Ia sebut sebagai kota para pejuang.
Hanya modah tekad Cut
akan menghabiskan sisa perjalannya. Sebelum Ia berangkat, Ia berpesan kepadaku.
“ Kau tau tidak, peta
dunia yang Kau sampaikan awal Juli lalu menjadi pemandangan yang indah. Aku tak
ingin hanya melihat dan menatapnya dalam-dalam, kemudian membawa imajinasiku
pergi ke kota yang kutuju. Tapi, Aku ingin mengiring langkahku ke sana.
Bukankah Kau yang sudah mengajarkanku tentang perjalanan lewat peta?. Aku akan
memasung harapanku ke Negeri Asing. Biarkan aku terdampar, asal pikiran dan
akalku tak lapar karna ilmu. Aku haus dengan itu semua. Tapi, Aku bukan Atheis
yang biasa berandai-andai seperti yang Kau tuduh tempo lalu. Aku hanya muslim
yang taat, yang percaya bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang
berilmu. Nah, Aku perempuan kecil yang ingin menjemput takdirku lewat Ridhanya.
Kalau Tuhan tak restu, mungkin keberangkatanku akan terhalang” Cut menitikkan
air matanya. Akupun tak sanggup menahan tangis karena rasa haru terhadap
perjuangannya.
Berulang kali Ia mengucapkan terima kasih
kepadaku. “Akan kukabari keadaanku jika
sampai di sana.” Ujarnya.
Rejeki memang sudah di
atur oleh yang Kuasa. Manusia hanya berusaha dan terus berdo,a. Cut adalah
sosok perempuan tangguh dari negeri jihad. Kini Ia sudah bisa kuliah sambil
bekerja sebagai tukang jahit di sana. Meskipun sulit, Ia merasa bahagia. Karena
separuh harapannya untuk kuliah di Malaysia kini cerah sudah. Ia mengajarkan
tentang garis tangan perempuan. Perempuan seharusnya seperti itu. Membuktikan
dengan kenyataan yang pahit yang akan berbuah manis. Siapa yang menanam
merekalah yang akan menuai hasil, bukankah begitu kata pepatah?. Semoga kita
bisa menyusul, meski tidak di negeri yang sama, tetap tak meredakan impian yang
ada.
P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar