Memasuki kawasan daerah pulau Sumatera (Medan),
tepatnya di kota perapat, dua Bus Wisata antar Medan di parkir di dataran
tinggi kawasan Danau Toba. Dua Bus tersebut adalah grup ALMAMATER (Ajang
Pelatihan Pers Mahasiswa Nasional Teropong). Di temani oleh panitia acara, dan
juga FORMAT (Forum Alumni Teropong).
Beragam corak kebudayaan di sekeliling Kota perapat
tersebut. Rumah adat Batak yang di
depannya tertulis lima hurup “HORAS” yang menempel di daerah ukiran kayu. Atapnya terbuat dari Ijuk ( seperti sapu ijuk)
berwarna hitam. Makna horas berarti salam bagi mereka, untuk menyambut para
tamu dari luar,,kata-kata itulah yang mereka sebutkan dengan nada yang sedikit
tinggi. Awalnya, Medan banyak di huni oleh orang-orang melayu, namun karena
banyaknya pengunjung ke daerah tersebut ditutupi oleh orang Batak, dari marga
yang berbeda-beda. Batak Sitinjak, Siregar, Hasibuan, Nasution, dan juga Batak bermarga Gultom. Tampak hotel berkelas di sana, akan tetapi, tak ada
satu hotelpun yang tak berlambangkan Salib. Mulai dari daerah paling ujung
kulon, sampai dengan di pinggir –pinggir danau Toba tersebut.
Jam masih menunjukkan pagi hari, di sebuah persimpangan lima kota perapat, aku
menatap kearah ruas kiri sebelah jalan besar, terlihat beberapa lukisan gadis
Berselendang Melayu di ruas tembok semen menuju Danau.” Lukisan itu bermakna
bagi warga Batak yang mengenang sejarah orang melayu.”
Hatipun terasa lebih tenang, ketika aku menatap
bangunan Mesjid yang tidak terlalu besar, “disini banyak penduduk non-islam,
kalau Mesjid bagi kaum Muslim bisa di hitung,” ujar wandes salah seoran asli
batak medan.
Jam menunjukkan pukul 10:00 Wib. Aku brangkat dengan
kapal feri mini, yang memuat penumpang 80- 100 orang penumpang, hanya satu jam
menempuh pulau samosir, di sepanjang perjalanan, laki laki bertubuh kecil,
berkulit saoh matang, dengan gaya rambut jikrak ke atas terlihat berkilau
minyak tanco di kepalanya, wajahnya yang masih belia berceria menyanyikan lagu
senandung bercorak Melayu campur batak.
Mencoba menghibur para penumpang dengan cara mengamen, banyak yang tidakku
mengerti dari arti lagu yang ia bawakan, suara merdunyalah yang menenangkan
pikiran para penumpang untuk mendalami
arti sebuah irama lagu tersebut.
Tiba di sebuah Pulau Samosir, penumpang turun memasuki
kawasan pasar baju, serta pernak pernik, perhiasan, dan busana
batik yang bermotif khas batak
tampak jelas budaya pulau somosir. Kain batik terlihat, suasana memang
berdesakan, karena banyak pengunjung dari Negara Asing saat memasuki kawasan
tersebut. Mulai dari turki, china, inggris, dan juga warga medan itu sendiri,
berbusana layaknya di Negeri bebas Syari’at.
Yang bermayoritas non-muslim banyak disana, hanya sebagian kecil yang muslim, itupun
sulit ditemukan.
“baju, murah-murah,celana murah,semua serba murah”
ujar penjual menarik pelanggan singgah kepadanya.
“ tujuh puluh ribu saja…gak mahal kok, ini baru harga
buka,,bisa di tawar lagi” tambahnya lagi, ngerocos.
Aku memalingkan wajah kearah pedagang pernak-pernik. Saat ku singgahi,terlihat
beberapa jenis nukilan
yang terbuat dari kayu, berbentuk rumah adat, dan beragam jenis lainnya yang
bercorak khas pakaian batak tersedia disana. Tapi untuk para pengunjung baru datang tak jarang para pedagang menawar
spontan dengan harga yang lebih tinggi.
“ disini, kita harus bergaya bahasa batak, agar tidak
dianggap pengunjung yang baru datang” kata amol sambil bercerita banyak tentang
budaya samosir.
***
Aku menatap ke arah sebelah kiri, memasuki lorong-lorong
pedagang penjual shal jenis shal yang biasa di ikat di leher. Tak jauh dari pasar
samosir, hanya seratus meter perjalanan yang harus ditempuh , bangunan rumah
adat tersusun rapi, bagian depannya terlihat gaya arsitektur bermotif kayu, dengan cat berwarna hitam dan putih, warna
coklat yang didominasi dengan kuning, tampak jelas corak budaya batak samosir.
Bagian bawah, bangunan kuburan atau di sebut makam
para raja-raja( raja bagi orang samosir
terlihat lebih besar, dibandingkan dengan ukuran rumah adat tersebut.
Dengan lambang patung di bagian atasnya, dan dikelilingi oleh beberapa kepala
manusia, namun telah di jadikan ukiran berbentuk patung, guna mengawali para
sang raja tersebut. “Kepala-kepala patung itu, adalah manusia yang
tertangkap pada masa peperangan tempo dulu, kemudian raja memotong kepalanya,
sebagai tebusan atas kesalahan yang mereka perbuat” kata andi penjaga kuburan, mengisahkan cerita singkatnya kepada
para pengunjung.
“ ceritanya panjang, jika kalian mau mendengarkan
lebih lanjut, saya akan berbagi cerita tentang makam sang raja” certusnya ,
seraya ingin berkisah lebih banyak lagi tentang budaya yang ada di pulau
samosir.
“ Terima kasih, tapi kami harus pergi” ujar Daniel
salah satu grup kami dalam arena kunjungan ke makam tersebut.
“raja yang paling besar, terletak sejauh lima puluh
meter dari sini,” tambahnya lagi. Tak sempat mengisahkan, aku langsung
meninggalkan tempat tersebut.
Saat memasuki makam raja paling besar. “ ayo
masuk..ayo masuk” kata penjaga, sambil
mengenakan selendang berwarna abu tua berdominasi garis arsiran merah, kepada
setiap pengunjung yang ingin memasuki kawasan kuburan itu.
Wajah Indonesia, jawa,
batak, bercampur asing duduk
berdamping di atas kursi-kursi yang telah di sediakan. Menatap penjaga kuburan
berkisahkan tentang sang raja kaum mereka.
Matahari tepat berada di atas kepala. Waktuya ibadah
shalat dzuhur bagi peserta yang beragama islam. Namun, sulit mendapatkan
mesjid, terpaksa harus kembali dulu sampai ke kota perapat. Para peserta
Almamater menaiki kapal feri mini satu
persatu dengan membawa barang-barang yang telah di beli di kawasan pasar baju
pulau samosir.
“ banyak ya oleh –olehnya” kata amin kelahiran di kota
riau.
“Aku hanya tersenyum”.
meskipun isi dari tas ranselku bukan barang-barang dari pulau samosir,
melainkan pakaian yang telah ada sebelum berangkat ke pulau tersebut.
Peserta dari Palembang, lampung, Universitas Gajah
Mada (UGM) Jogyakarta, solo, dan dari seluruh universitas Indonesia lainnya,
bersuka ria saetelah kembali dari pulau samosir itu. Meskipun wajah terlihat
pucat karena belum makan siang, mereka tetap menampakkan wajah ceria mereka.
Setelah tiba, tepat di pantai perapat. Empat tikar
yang terbuat dari rotan, telah disediakan di atas tanah, pantainya yang tak
luas, hanya saja ditutupi dengan atap rumah yang terpampang seng.
Dari pantai, aku menatap kearah nan jauh,hanya tanda Salib yang terlihat
jelas di balik danau toba tersebut.
Perjalanan ajang
pelatihan jurnalistik mahasiswa teropong (almamater), terkesan sangat unik.
Beberapa petikan
sejarah dan cerita rakyat banyak dikisahkan di danau Toba tepatnya di pulau
samosir itu. Seperti kisah, mengapa perapat bisa disebut “perapat” itu bermula
dari seorang gadis yang hendak bunuh diri, kemudian menjadi batu. Etnik yang
unik, serta budaya yang masih kental dengan batak dan melayu. Perjalanan ini
tentu banyak mengandung hikmah bagi peserta almamater.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar