Rabu, 23 Oktober 2013

Horas!Selamat datang di Pulau Samosir


Memasuki kawasan daerah pulau Sumatera (Medan), tepatnya di kota perapat, dua Bus Wisata antar Medan di parkir di dataran tinggi kawasan Danau Toba. Dua Bus tersebut adalah grup ALMAMATER (Ajang Pelatihan Pers Mahasiswa Nasional Teropong). Di temani oleh panitia acara, dan juga FORMAT (Forum Alumni Teropong).
Beragam corak kebudayaan di sekeliling Kota perapat tersebut. Rumah adat  Batak yang di depannya tertulis lima hurup “HORAS”  yang menempel di daerah ukiran kayu. Atapnya terbuat dari Ijuk ( seperti sapu ijuk) berwarna hitam. Makna horas berarti salam bagi mereka, untuk menyambut para tamu dari luar,,kata-kata itulah yang mereka sebutkan dengan nada yang sedikit tinggi. Awalnya, Medan banyak di huni oleh orang-orang melayu, namun karena banyaknya pengunjung ke daerah tersebut ditutupi oleh orang Batak, dari marga yang berbeda-beda. Batak Sitinjak, Siregar, Hasibuan, Nasution,  dan juga Batak bermarga Gultom. Tampak  hotel berkelas di sana, akan tetapi, tak ada satu hotelpun yang tak berlambangkan Salib. Mulai dari daerah paling ujung kulon, sampai dengan di pinggir –pinggir danau Toba tersebut.
Jam masih menunjukkan pagi hari, di  sebuah persimpangan lima kota perapat, aku menatap kearah ruas kiri sebelah jalan besar, terlihat beberapa lukisan gadis Berselendang Melayu di ruas tembok semen menuju Danau.” Lukisan itu bermakna bagi warga Batak yang mengenang sejarah orang melayu.” 
Hatipun terasa lebih tenang, ketika aku menatap bangunan Mesjid yang tidak terlalu besar, “disini banyak penduduk non-islam, kalau Mesjid bagi kaum Muslim bisa di hitung,” ujar wandes salah seoran asli batak medan.
Jam menunjukkan pukul 10:00 Wib. Aku brangkat dengan kapal feri mini, yang memuat penumpang 80- 100 orang penumpang, hanya satu jam menempuh pulau samosir, di sepanjang perjalanan, laki laki bertubuh kecil, berkulit saoh matang, dengan gaya rambut jikrak ke atas terlihat berkilau minyak tanco di kepalanya, wajahnya yang masih belia berceria menyanyikan lagu senandung bercorak  Melayu campur batak. Mencoba menghibur para penumpang dengan cara mengamen, banyak yang tidakku mengerti dari arti lagu yang ia bawakan, suara merdunyalah yang menenangkan pikiran para  penumpang untuk mendalami arti sebuah irama lagu tersebut.
Tiba di sebuah Pulau Samosir, penumpang turun memasuki kawasan pasar baju, serta pernak pernik, perhiasan,  dan busana  batik yang bermotif khas batak  tampak jelas budaya pulau somosir. Kain batik terlihat, suasana memang berdesakan, karena banyak pengunjung dari Negara Asing saat memasuki kawasan tersebut. Mulai dari turki, china, inggris, dan juga warga medan itu sendiri, berbusana layaknya di Negeri bebas Syari’at.  Yang bermayoritas non-muslim banyak disana,  hanya sebagian kecil yang muslim, itupun sulit ditemukan.
“baju, murah-murah,celana murah,semua serba murah” ujar penjual menarik pelanggan singgah kepadanya.
“ tujuh puluh ribu saja…gak mahal kok, ini baru harga buka,,bisa di tawar lagi” tambahnya lagi, ngerocos. Aku memalingkan wajah kearah pedagang pernak-pernik. Saat ku singgahi,terlihat beberapa jenis nukilan yang terbuat dari kayu, berbentuk rumah adat, dan beragam jenis lainnya yang bercorak khas pakaian batak tersedia disana. Tapi untuk  para pengunjung  baru datang tak jarang para pedagang menawar spontan dengan harga yang lebih tinggi.
“ disini, kita harus bergaya bahasa batak, agar tidak dianggap pengunjung yang baru datang” kata amol sambil bercerita banyak tentang budaya samosir.
***
 Aku menatap ke arah sebelah kiri, memasuki lorong-lorong pedagang penjual shal  jenis shal yang biasa di ikat di leher. Tak jauh dari pasar samosir, hanya seratus meter perjalanan yang harus ditempuh , bangunan rumah adat tersusun rapi, bagian depannya terlihat gaya arsitektur bermotif kayu, dengan cat berwarna hitam dan putih, warna coklat yang didominasi dengan kuning, tampak jelas corak budaya batak samosir.
Bagian bawah, bangunan kuburan atau di sebut makam para raja-raja( raja bagi orang samosir  terlihat lebih besar, dibandingkan dengan ukuran rumah adat tersebut. Dengan lambang patung di bagian atasnya, dan dikelilingi oleh beberapa kepala manusia, namun telah di jadikan ukiran berbentuk patung, guna mengawali para sang raja tersebut. “Kepala-kepala patung itu, adalah manusia yang tertangkap pada masa peperangan tempo dulu, kemudian raja memotong kepalanya, sebagai tebusan atas kesalahan yang mereka perbuat”  kata andi penjaga kuburan, mengisahkan cerita singkatnya kepada para pengunjung.
“ ceritanya panjang, jika kalian mau mendengarkan lebih lanjut, saya akan berbagi cerita tentang makam sang raja” certusnya , seraya ingin berkisah lebih banyak lagi tentang budaya yang ada di pulau samosir.
“ Terima kasih, tapi kami harus pergi” ujar Daniel salah satu grup kami dalam arena kunjungan ke makam tersebut.
“raja yang paling besar, terletak sejauh lima puluh meter dari sini,” tambahnya lagi. Tak sempat mengisahkan, aku langsung meninggalkan tempat tersebut.
Saat memasuki makam raja paling besar. “ ayo masuk..ayo masuk” kata penjaga,  sambil mengenakan selendang berwarna abu tua berdominasi garis arsiran merah, kepada setiap pengunjung yang ingin memasuki kawasan kuburan itu.
Wajah Indonesia, jawa,  batak,  bercampur asing duduk berdamping di atas kursi-kursi yang telah di sediakan. Menatap penjaga kuburan berkisahkan tentang sang raja kaum mereka.
Matahari tepat berada di atas kepala. Waktuya ibadah shalat dzuhur bagi peserta yang beragama islam. Namun, sulit mendapatkan mesjid, terpaksa harus kembali dulu sampai ke kota perapat. Para peserta Almamater menaiki  kapal feri mini satu persatu dengan membawa barang-barang yang telah di beli di kawasan pasar baju pulau samosir.
“ banyak ya oleh –olehnya” kata amin kelahiran di kota riau.
“Aku hanya tersenyum”.  meskipun isi dari tas ranselku bukan barang-barang dari pulau samosir, melainkan pakaian yang telah ada sebelum berangkat ke pulau tersebut.
Peserta dari Palembang, lampung, Universitas Gajah Mada (UGM) Jogyakarta, solo, dan dari seluruh universitas Indonesia lainnya, bersuka ria saetelah kembali dari pulau samosir itu. Meskipun wajah terlihat pucat karena belum makan siang, mereka tetap menampakkan wajah ceria mereka.
Setelah tiba, tepat di pantai perapat. Empat tikar yang terbuat dari rotan, telah disediakan di atas tanah, pantainya yang tak luas, hanya saja ditutupi dengan atap rumah yang terpampang  seng.  Dari pantai, aku menatap kearah nan jauh,hanya tanda Salib yang terlihat jelas di balik danau toba tersebut.
Perjalanan ajang pelatihan jurnalistik mahasiswa teropong (almamater), terkesan sangat unik.
Beberapa petikan sejarah dan cerita rakyat banyak dikisahkan di danau Toba tepatnya di pulau samosir itu. Seperti kisah, mengapa perapat bisa disebut “perapat” itu bermula dari seorang gadis yang hendak bunuh diri, kemudian menjadi batu. Etnik yang unik, serta budaya yang masih kental dengan batak dan melayu. Perjalanan ini tentu banyak mengandung hikmah bagi peserta almamater.

Tidak ada komentar: