Selasa, 22 Oktober 2013

Pengukuhan Wali Nanggroe 50 M “Mabok”



Oleh: Siti Aminah

Ada saja berita yang aneh di negeri syari’at  islam ini. Istilahnya “Kalau tak buat sensasi, tak bisa hidup. Atau sensasi merupakan simbolistis Aceh  yang ingin terus dikenal oleh dunia?.” Begitukah caranya? Banyangkan saja, di tengah rakyat Aceh banyak yang  masih butuh ulur tangan pemerintah, malah dianggap seperti “pengemis jalananan”. Kalau dibilang sejahtera, Aceh belum sejahtera. Toh, masih banyak rakyat yang “melarat” karena masih banyak pendidikan yang tertinggal, dan  pembangunan yang belum merata. Padahal Aceh sekarang menduduki posisi termiskin keenam di Indonesia dan daerah ini berada diurutan ketujuh terkaya di Indonesia.

Kenapa saya katakan sensasi? Belum usai masalah urusan simbolis “bendera Aceh”, yang banyak pro-kontra dari semua kalangan, kini masalah baru muncul lagi.  Apa tidak malu banyak tokoh yang mengkiritik Aceh, bahkan menteri dalam negeri Gamawan Fauzi pernah mengatakan pada (kompas) “Aceh hanya sibuk ngurusin simbolis, padahal masih banyak rakyat yang belum sejahtera”. Katanya.

Saat ini, Aceh kembali hadir dengan berita “hot” yang bisa menuai kritik tajam dari semua kalangan. Melalui media serambi Indonesia (01/10/2013), Anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh (F-PA), Adnan Beuransyah mengusulkan kepada Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran Rp 50 miliar dalam RAPBA-P 2013 untuk kepentingan pengukuhan Wali Nanggroe IX yang dijadwalkan Desember mendatang. Benarkah harus 50 M?

Mengalahkan Petinggi Publik

Sekarang kita coba menganalisis dan berpikir secara logika. Pelantikan Presiden dan wakil presiden pada tahun 2009 lalu saja hanya menghabiskan dana sebesar Rp.1,2 Milyar. Gubernur DKI Jakarta Rp 500 juta, bahkan pengukuhan termurah dalam catatan sejarah Indonesia yaitu pelantikan mantan Wali kota Solo Jokowi hanya Rp 13 juta. Apakah Wali Nanggroe ingin bersanding dengan  Obama sebagai Presiden Amerika? Ini jelas  Aceh mulai terang-terangan dalam praktik politik uang.

Jangan pernah berpikir Aceh ini menjadi besar dimata dunia, kalau pembesarnya tak ingin berjiwa besar.”. kalau memang ada niat untuk mengalahkan dan dianggap lebih hebat dari petinggi publik di tanah air ini, cara ini tentu sangat terlihat “konyol dan sombong”. Kenyataannya Aceh memang daerah kaya, tapi harus sadar juga bahwa Aceh masih miskin dibandingkan daerah lainnya. Ibaratkan “kalau sudah miskin harus bisa menghemat, karena boros nantinya sudah pasti akan miskin” bukankah begitu?

Selain mengalahkan pengukuhan petinggi negara ini, Aceh yang dibanggakan dengan syari’at islam ini akan di cap sebagai daerah yang tidak syar’i dalam menggunakan anggaran daerah. Bukan berarti ada “Justification” dalam penggunaan anggaran sebanyak 50 M tersebut, melainkan sifat boros dan berfoya-foya selama tujuh harilah membuatnya tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi provinsi lain yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah sebaiknya memikirkan ulang untuk memutuskan anggaran tersebut. Jangan sampai Aceh kebablas untuk merealisasikan “uang panas” proyek 50 itu hingga rakyat yang menjadi korban.

Benar-benar mabok

Sebaiknya  Pemerintah Aceh perlu berpikir cerdas, cermat untuk  mengesahkan anggaran sebanyak 50 M untuk pengukuhan WN tersebut. Pasalnya, anggaran tersebut bukan hanya dua kali lipat dari pelantikan para petinggi lainnya. Melainkan sudah benar-benar di luar akal manusia. Meskipun acara akan diadakan bersifat megah mengundang beberapa petinggi di Indonesia, maupun Luar negeri tapi tetap saja,anggaran sebanyak  itu tidak realistis  dimata masyarakat.
Lagi-lagi katanya, WN adalah hanya pemangku adat. Meskipun banyak polemik yang menjelaskan bahwa WN adalah wakil negara, namun sampai saat ini status itu masih diperdebatkan. Anehnya, pengukuhan yang tidak setara dengan pelantikan presiden, Gubernur, Walikota saja memerlukan anggaran seedemikian banyak. Apa hanya  untuk kepentingan elit  politik?
Kalau memang 50 Milyar bisa dihabiskan dalam waktu tujuh  hari tujuh malam, apa bedanya WN dengan pemabuk? Bukanlah sifatnya pemabuk itu berfoya-foya atas kesenangan sementara? kemudian menjadi mudarat bagi dirinya sendiri dan juga orang disekitarnya. 50 M itu lebih mulia apabila dipakai untuk kepentingan rakyat, pendidikan desa terpencil, dan juga korban gempa gayo yang masih mengharapkan kepedulian pemerintah Aceh. Saya rasa, penggunaan sebanyak itu tak bisa habis dalam tujuh malam, lebih baik buat pengukuhan WN selama setahun bisa diterima oleh akal. Atau memang pemerintah sudah benar-benar mabok hingga perlu disadarkan kembali, bahwa masih banyak urusan rakyat yang lebih penting dari pada  ngurusin WN yang hanya bersifat kepenting suatu golongan.






Tidak ada komentar: