Oleh: Siti Aminah
Ada
saja berita yang aneh di negeri syari’at
islam ini. Istilahnya “Kalau tak
buat sensasi, tak bisa hidup. Atau sensasi merupakan simbolistis Aceh yang ingin terus dikenal oleh dunia?.”
Begitukah caranya? Banyangkan saja, di tengah rakyat Aceh banyak yang masih butuh ulur tangan pemerintah, malah
dianggap seperti “pengemis jalananan”. Kalau dibilang sejahtera, Aceh belum
sejahtera. Toh, masih banyak rakyat yang “melarat” karena masih banyak
pendidikan yang tertinggal, dan
pembangunan yang belum merata. Padahal Aceh
sekarang menduduki posisi termiskin keenam di Indonesia dan daerah ini berada
diurutan ketujuh terkaya di Indonesia.
Kenapa
saya katakan sensasi? Belum usai masalah urusan simbolis “bendera Aceh”, yang
banyak pro-kontra dari semua kalangan, kini masalah baru muncul lagi. Apa tidak malu banyak tokoh yang mengkiritik
Aceh, bahkan menteri dalam negeri Gamawan Fauzi pernah mengatakan pada (kompas)
“Aceh hanya sibuk ngurusin simbolis, padahal masih banyak rakyat yang belum
sejahtera”. Katanya.
Saat
ini, Aceh kembali hadir dengan berita “hot” yang bisa menuai kritik tajam dari
semua kalangan. Melalui media serambi Indonesia
(01/10/2013), Anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh (F-PA), Adnan Beuransyah
mengusulkan kepada Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran Rp 50 miliar dalam
RAPBA-P 2013 untuk kepentingan pengukuhan Wali Nanggroe IX yang dijadwalkan Desember mendatang.
Benarkah harus 50 M?
Mengalahkan Petinggi Publik
Sekarang
kita coba menganalisis dan berpikir secara logika. Pelantikan Presiden dan
wakil presiden pada tahun 2009 lalu saja hanya menghabiskan dana sebesar Rp.1,2
Milyar. Gubernur DKI Jakarta Rp 500 juta, bahkan pengukuhan termurah dalam
catatan sejarah Indonesia yaitu pelantikan mantan Wali kota Solo Jokowi hanya
Rp 13 juta. Apakah Wali Nanggroe ingin bersanding dengan Obama sebagai Presiden Amerika? Ini
jelas Aceh mulai terang-terangan dalam
praktik politik uang.
“
Jangan pernah berpikir Aceh ini menjadi
besar dimata dunia, kalau pembesarnya tak ingin berjiwa besar.”. kalau
memang ada niat untuk mengalahkan dan dianggap lebih hebat dari petinggi publik
di tanah air ini, cara ini tentu sangat terlihat “konyol dan sombong”.
Kenyataannya Aceh memang daerah kaya, tapi harus sadar juga bahwa Aceh masih
miskin dibandingkan daerah lainnya. Ibaratkan “kalau sudah miskin harus bisa
menghemat, karena boros nantinya sudah pasti akan miskin” bukankah begitu?
Selain
mengalahkan pengukuhan petinggi negara ini, Aceh yang dibanggakan dengan
syari’at islam ini akan di cap sebagai daerah yang tidak syar’i dalam
menggunakan anggaran daerah. Bukan berarti ada “Justification” dalam penggunaan anggaran sebanyak 50 M tersebut,
melainkan sifat boros dan berfoya-foya selama tujuh harilah membuatnya tidak
bisa menjadi contoh yang baik bagi provinsi lain yang ada di Indonesia. Dalam
hal ini, pemerintah sebaiknya memikirkan ulang untuk memutuskan anggaran
tersebut. Jangan sampai Aceh kebablas untuk merealisasikan “uang panas” proyek
50 itu hingga rakyat yang menjadi korban.
Benar-benar mabok
Sebaiknya
Pemerintah Aceh perlu berpikir cerdas,
cermat untuk mengesahkan anggaran
sebanyak 50 M untuk pengukuhan WN tersebut. Pasalnya, anggaran tersebut bukan
hanya dua kali lipat dari pelantikan para petinggi lainnya. Melainkan sudah
benar-benar di luar akal manusia. Meskipun acara akan diadakan bersifat megah
mengundang beberapa petinggi di Indonesia, maupun Luar negeri tapi tetap saja,anggaran
sebanyak itu tidak realistis dimata masyarakat.
Lagi-lagi
katanya, WN adalah hanya pemangku adat. Meskipun banyak polemik yang
menjelaskan bahwa WN adalah wakil negara, namun sampai saat ini status itu
masih diperdebatkan. Anehnya, pengukuhan yang tidak setara dengan pelantikan
presiden, Gubernur, Walikota saja memerlukan anggaran seedemikian banyak. Apa
hanya untuk kepentingan elit politik?
Kalau
memang 50 Milyar bisa dihabiskan dalam waktu tujuh hari tujuh malam, apa bedanya WN dengan
pemabuk? Bukanlah sifatnya pemabuk itu berfoya-foya atas kesenangan sementara?
kemudian menjadi mudarat bagi dirinya sendiri dan juga orang disekitarnya. 50 M
itu lebih mulia apabila dipakai untuk kepentingan rakyat, pendidikan desa
terpencil, dan juga korban gempa gayo yang masih mengharapkan kepedulian
pemerintah Aceh. Saya rasa, penggunaan sebanyak itu tak bisa habis dalam tujuh malam,
lebih baik buat pengukuhan WN selama setahun bisa diterima oleh akal. Atau
memang pemerintah sudah benar-benar mabok hingga perlu disadarkan kembali,
bahwa masih banyak urusan rakyat yang lebih penting dari pada ngurusin WN yang hanya bersifat kepenting
suatu golongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar