Senin, 02 Desember 2013

Menyadarkan Penerbit Melalui Undang-Undang Deposit


Oleh: Siti Aminah
Pada dasarnya, Aceh kaya dengan karya cipta karsa manusia. Salah satunya adalah melalui budaya menulis. Budaya menulis tersebut tercipta bukan hanya di kalangan masyarakat Aceh saja, melainkan di luar Aceh juga banyak menuliskan buku tentang Aceh. Menurut Hermansyah “Naskah kuno Aceh” Mengatakan Koleksi Aceh tersedia di beberapa tempat seperti koleksi Zawiyah Tanoh Abee, koleksi Yayasan Museum Ali Hasjmy Banda Aceh, koleksi Museum Negeri Aceh , koleksi naskah Tgk Syik Awe Geutah di Kabupaten Bireuen, koleksi Perpustakaan Harun Geusyik Leumik, koleksi pribadi Tarmizi A Hamid Banda Aceh, serta beberapa koleksi pribadi masyarakat di  Banda Aceh dan Aceh Besar. Karya-karya tersebut tidak hanya dalam bentuk naskah sejarah Aceh, melainkan seluruh koleksi menyangkut tentang ke- Aceh-an. Beberapa orang menganggap bahwa semua karya ke-Aceh-an tersebut tentu banyak terdapat di perpustakaan daerah Aceh. Tetapi, sampai saat ini koleksi-koleksi mengenai Aceh, masih dipertanyakan oleh  pihak perpustakaan wilayah Aceh terutama  bidang deposit yang bertugas untuk menghimpun koleksi tentang ke-Aceh-an.

 Kondisi perpustakaan suatu daerah merupakan cerminan atau refleksi tingkat kebudayaan serta tingkat peradaban yang harus dicapai, yaitu perpustakaan diharapkan mampu memperkenalkan dan meningkatkan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat. Oleh karena itu, tidak mudah mengumpulkan dan menghimpun hasil karya karsa, cipta dan rasa sebagai wujud hasil karya budaya bangsa dalam bentuk karya cetak, karya rekam, naskah dan sejenisnya. Di samping itu, sangat diperlukan strategi pelacakan untuk mengetahui di mana saja koleksi-koleksi Aceh itu berada. Strategi tersebut tentu dapat dilakukan oleh bidang deposit perpustakaan Wilayah Aceh. Strategi pelacakan merupakan suatu pendekatan dalam proses pencarian informasi yang lebih dalam sesuai dengan informasi yang dibutuhkan demi tercapainya suatu tujuan. Strategi pelacakan tersebut tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi, perlu adanya langkah-langkah khusus yang harus dilakukan untuk melacak koleksi Aceh tersebut oleh pihak yang berwenang dalam melakukan pelacakan secara mendalam.

Meskipun seluruh kegiatan serah simpan karya cetak dan karya rekam telah diatur dalam Undang-Undang No.4 tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (SSKCKR) dan peraturan pemerintah No. 70 tahun 1990, sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang No.4 tahun 1990. Undang-Undang tersebut tidak sepenuhnya menyadarkan para penerbit untuk menyerahkan satu eksemplar jenis koleksi Aceh kepada perpustakaan. Hal ini berkaitan dengan implementasi dari Undang-Undang tersebut tidak direalisasikan semaksimal mungkin.  Meskipun Undang-Undang  No.4 tahun 1990 memiliki kekuatan hukum yang mengikat, tetapi tidak semua penerbit atau pengusaha rekaman menyerahkan setiap enam bulan sekali sesuai ketentuan dalam Undang-Undang tersebut. Sanksi dari pelanggaran tersebut juga belum direalisasikan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang  No.4 Tahun 1990.

Membentuk Tim Hunting

Belum optimalnya sanksi yang diberikan, sehingga para penerbit tidak melaksanakan mekanisme Undang-Undang serah simpan karya cetak karya rekam (KCKR). Menurut Lucya dalam artikelnya Implementasi Undang-Undang Deposit No.4 tahun 1990, dikarenakan sosialisasinya yang masih belum maksimal membuat para penerbit pun belum merasakan manfaat yang diperoleh dari Undang-Undang tersebut. Kelonggaran-kelonggaran ini tidak boleh didiamkan terus menerus demi kesinambungan koleksi daerah. Payung hukum Undang-Undang No. 4 tahun 1990 yang sudah berusia lebih dari 20 tahun juga patut dicermati apakah masih layak diterapkan mengingat perkembangan teknologi dan informasi yang kian deras.

Dari permasalahan di atas, muncul pula perbedaan persepsi (sudut pandang) pelaku industri penerbitan dan rekaman dalam memaknai Undang-Undang serah simpan karya cetak karya rekam. Dalam Undang-Undang tersebut, para penerbit wajib menyerahkan hasil terbitan dan rekaman satu eksemplar ke perpustakaan daerah/ provinsi. Faktanya, sampai saat ini, masih banyak penerbit yang belum menyerahkan karyanya keperpustakan Wilayah Banda Aceh. Kondisi tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi perpustakaan daerah Aceh khususnya bidang deposit dalam melakukan tindakan preventif untuk mendapatkan kembali informasi yang berkaitan dengan Aceh. Salah satunya dengan membentuk Tim Hunting untuk melacak koleksi Aceh dari berbagai daerah. yang menjadi pertanyaan adalah Stategi dan tantangan seperti apa yang akan dilakukan Tim Hunting bidang deposit untuk menyadarkan para penerbit.

Tujuan Deposit untuk membentuk Tim Hunting ini yaitu agar bisa menyadarkan kembali penerbit KCKR di Aceh agar dapat menyerahkan koleksi tentang Aceh ke Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh. Kegiatan tersebut bisa dilakukan dengan cara: Pertama Melakukan sosialisasi di 23 kabupaten dan kota yang ada di Aceh, seputar tentang akan dilakukannnya kegiatan melacak koleksi mengenai Aceh yang di terbitkan dari beberapa daerah yang ada di kabupaten dan kota. Kedua Membuat surat penindaklanjutan sebagai peringatan kepada para penerbit, intansi, yang ada di Aceh, agar seluruh penerbit sadar akan sosialisasi Undang-Undang No. 4 tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Ketiga Melakukan tindakan dengan cara malakukan promosi atau pemberitaan di media massa. Keempat, Mensosialisasikan permasalah tentang kurangnya kesadaran para instansi penerbitan dalam menyerahkan KCKR kepada perpusnas. Kemudian pihak perpusnas menindaklanjuti kebagian penegakan hukum terkait dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1990.
Dengan demikian, penyadaran penerbit untuk menyerahkan hasil karyanya kepada perpustakaan daerah merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi. Selain sudah amanah dari Undang-Undang No.4 Tahun 1990, juga sebagai cerminan kepedulian terhadap pentingnya informasi tentang Aceh tersebut disebarluaskan kepada masyarakat luas.


Tidak ada komentar: