Sudah lama Ibu menanti
sosok bertahun-tahun Ia rindukan. Sesekali mulutnya bertasbih tak henti
menyebut Asma Allah. Do’a pagi dan petang pesan dari Hasan Al-Banna kerab Ia
amalkan. Ia berharap semua mantra Ilahi bisa mendatangkan orang yang
dirindukannya. Meskipun belum ada bayangan kehadiran putra sulungnya itu, Rusmi
tak henti meminta di seperdua malam agar separuh hatinya yang telah pergi bisa
utuh kembali.
Ibu selalu menyapa
Tuhan lewat do’anya. Ia tak tau do’a mana yang akan termustajab. Karena Ia yakin
do’anya di dengar, maka setiap nafasnya kini adalah rangkaian dari do’a. Dulu,
sebelum Ayah meninggal dunia, Ia sering memarahi Ibu karena Ibu sosok perempuan yang mudah menangis. Air
matanya adalah senjata untuk meluluhkan hati Ayah. Tapi, kini Ia menangis bukan
karena kepergian separuh jiwanya. Melainkan, putra sulungnya Ilham yang pergi meninggalkan rumah
beberapa tahun yang silam.
Sebelum Ayah pergi,
Ilham adalah sosok yang sangat dirindukan. Setiap kali tidur, Ayah menyebut dan
memeluk foto lelaki berkulit saoh matang bertubuh kekar itu. Setiap kali Ia
menatap foto itu, detik itu juga kerinduannya mengebu. Ibu tak tega melihat
tubuh Ayah yang berbaring terus dirudung kesedihan. Ibu memutuskan untuk
menyuruh Ilham pulang untuk menjenguk Ayah sedang sakit di kampung halaman.
“Ma’af Bu, Ilham belum
bisa pulang. Dalam minggu ini harus mengikuti ujian di pondok pasantren. Kalau
sudah selesai, pasti akan kembali” Itulah jawaban Ilham saat Ibu
menghubunginya. Meskipun hati Ilham sesak mendengar kabar Ayahnya sedang sakit,
namun Ia juga berniat pulang tapi setelah mengikuti ujian. Rencana Ilham pulang
dengan membawa oleh-oleh untuk Ayahnya.
Itulah niat yang terbesit dalam hati Ilham.
Ilham dalam keluarga
tersebut sangat mengesankan. Selain akhlaknya mulia, santun, bersahaja, Ia tak
pernah menyakiti kedua orang tuanya tersebut. Pekerjaan perempuan seperti
mencuci baju, menyetrika, masak, menyapu sering Ia kerjaan tanpa harus disuruh
oleh kedua orang tuanya. Padahal, Ia mempunyai dua adik perempuan. Tapi, Ilham
tak berharap adik-adiknya yang akan mengurusi rumah. Itulah alasan mengapa Ayah
selalu merindukannya. Tapi kali ini Ilham merasa sangat menyesal seumur hidup.
Ketika, Ia pulang nafas Ayah sudah terhenti, wajahnya mulai pucat, tubuhnya
terbaring tak berdaya. Hanya ada kain putih yang menjadi selimutnya. Oleh-oleh
itu sama sekali tak membawa makna, Ia mendekat penuh dosa karena sudah
mengabaikan perintah Ibu untuk pulang lebih awal.
Malam terus larut,
hari-hari membisu ditelan kesunyian. suara gaduh kini telah lenyap, panggilan
menyapa menggema dalam ruangan seolah terlintas suara Ayah memanggil nama
Ilham. Hanya ada foto nan gagah berdiri tegap bersama tokoh nasional H. Amien
Rais. Ayah memang selalu terlihat gagah, apalagi kalau Ia tersenyum. Kerinduan
itu membalik dilubuk hati Ilham. “ Aku tak ingin lagi berlayar Ayah, Aku ingin
menjaga yang tersisa yaitu Ibu” Itu adalah janjinya untuk menjaga Ibunya.
Ilham tak ingin lagi
kembali ke pondok. Setiap kali Ia mendengar kata-kata pasantren, maka Ia selalu
membayangkan hawa kepergian, ujian, dan penyesalan. Ia tak ingin bayangan itu
membunuh pikirannya. Perencanaannya dalam tahun ini adalah pergi merantau untuk
mengubah nasib. Katanya, nasib itu tak akan di dapatkan di kampung halamannya,
Ia tak ingin jadi bujang kampung yang bergelar status penggangguran. Kini, Ia
bertekad untuk pergi meninggalkan kampung halaman demi sebuah harapan dan
impian. Apalagi tiga mantra sudah Ia dapatkan sebagai bekal perjuangan, “Man jadda wajada, man shobaru zhafira, man
yazro’ yahsud. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil, siapa yang
sabar akan beruntung, siapa yang menanam akan menuai yang ditanam” Kalimat
ini sudah Ia tanam dalam jiwanya.
Sekarang tugas Ilham
adalah meminta restu Ibu. Ibu yang telah menyapihnya selama sembilan bulan, Ibu
yang telah menyusuinya. Ibu yang telah membesarkannya hingga dewasa. Tanpa Ibu
mungkin Ilham tak hidup. Ibu yang telah mengajarkannya seribu kebaikan, bahasa
Ibu yang lembut, Ia takut niatnya untuk merantau bisa menyakiti Ibunya. Atau Ia
akan memperoleh nasib yang sama. Ilham terus membayangkan masa depan yang
suram. Masa depan yang mengerikan, padahal belum tentu menjadi sebuah
kenyataan. Wajah Ayahnya masih membekas, sesekali Ia mengantikannya dengan
wajah Ibu. Ait matanya semakin membasahi kedua pipinya. Ia benar-benar tak
sanggup untuk mencabut kembali kata-katanya, bahwa Ia ingin manjaga Ibu yang
tingga seorang diri.
Bagaimana dengan masa
depannya? Apakah Ia terus-terusan menjadi pengemis kepada Ibunya? Yang
seharusnya Ia harus memberi kepada Ibunya. Bukan malah meminta. Bukankah
seharusnya sikap bijaksana seorang lelaki, tidak manja dan harus mandiri?
Ibu memperhatikan gerak
gerik Ilham. Terkadang Ibu bertanya kepada Ilham dengan penuh kasih sayang.
Pertanyaan itu membuat Ilham membisu. Diam adalah tanda masalah, masalah tak
perlu didiamkan. Ibunya selalu berpesan, kalau memang ada masalah jadikan Ibu
tempat cerita. Kini Ilham memberanikan diri untuk meminta izin kepada Ibunya.
Ia tak ingin terlambat untuk membahagiakan Ibunya, kemiskinan adalah alasan
yang kuat Ilham pergi untuk merubah nasib. Dengan uang Ia akan membelikan
segala kepada Ibu.
Niat dan impian Ilham
telah Ia utarakan kepada Ibu. Meskipun tak berniat menyakiti hati Ibu, tetap
saja Ibu merasa sedih. Karena baru saja Ia mengalami kesedihan karena ditinggal
oleh kekasinya, sekarang Ia harus merelakan kepergian anak sulungnya. Meskipun
Ibu berat melepaskan Ilham, tapi ada rasa tegar dalam sosok lembutnya. Ia tak
ingin membatasi cita-cita anaknya. Meskipun suatu saat Ia akan merasakan rindu
sangat berat, atau akan pergi mengikuti jejak Ayah. Ibu tak ingin Ilham tau
betapa Ia tak ingin pergi dari hatinya lagi. Di rumah tanpa jendela di kota
dingin, di tanah Gayo itu Ilham terakhir kali menatap, mendekap, mencium
telapak kaki Ibunya sebagai tanda bakti padanya.
Tanpa terasa lima tahun
sudah Ilham merantau. Mendengar suara Ilham adalah pengobat rindu Ibu. Setiap
malam, Ia menantikan Telphone dari anaknya merantau ke Jakarta. terkahir kali
Ibu mendapatkan informasi, Ilham telah kuliah di Universitas Perkapalan
Jakarta. Cita-citanya ingin berlayar ke negara Asing terwujud sudah. Ibu selalu
mengingatkan Ilham agar tidak lalai beribadah kepada Allah, menjaga diri dan
jangan pernah makan indomie. Sebenarnya Ibu saat ini sakit. Ia ingin sekali
dikunjungi oleh Ilham, tapi Ibu selalu mengatakan baik-baik saja kepadanya. 30
Desember adalah hari ulang tahun Ibu. Ilham tentu mengingatnya, Ia juga tak
pernah memberi kabar tentangnya kepada Ibu. Batapa Ngerinya Ia menghadapi maut
saat kapal tempat Ia kerja tenggelam di selat Malaysia, betapa tersiksanya
Ilham tak makan selama berhari-hari karena menaiki kapal Ilegal dan harus
sidang di meja hijau. Betapa Ia ingin kembali ke pelukan Ibu, tapi tak ada
sedikitpun uang dalam sakunya.
“Nak, kemanapun kau
berlayar jangan mengoleh ke belakang. Lupakan masa lalumu, tapi jangan pernah
melupakan kedua orang tuamu. Nak, negeri orang itu kejam, maka bertahanlah.
Karena do’a Ibu selalu memasuki relung hatimu. Ibu baik-baik saja. Asal kau
bahagia itu saja sudah cukup”. Itulah pesan terakhir Ibu kepada Ilham saat
semua telah menjadi gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar