Minggu, 19 Januari 2014

Menantikan Ulur Tangan Pemerintah Aceh



Oleh: Siti Aminah
Pagi itu tepat pada hari selasa (31/12). Seorang perempuan duduk di ruang tunggu kantor DPR-Aceh. wajahnya tampak gelisah. Sesekali Ia berdiri menjenguk ruang Pak Hasby Abdullah. Di tangan kanannya ada selembar kalender para Caleg perempuan. Ia menggulungnya dengan rapi dan meletakkan ke dalam tas jinjing yang Ia bawa. Aku duduk berhadapan dengannya, dengan tujuan yang sama untuk menjumpai ketua DPR-Aceh.
“Tunggu siapa Nek?” Tanyaku. Wajahnya, memang tampak tua dan keriput. Sehingga Aku memanggilnya dengan sebutan Nek. Sambil kupersilahkan duduk di sampingku, perempuan itu teryata ingin berjumpa dengan salah satu pengurus proposal bantuan hibah dan bansos yang pernah dijanjikan oleh Pemerintah Zikir beberapa hari yang lalu.
Namanya Tisanun. Ia adalah salah satu warga Klieng Cot Arun, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. Perempuan kelahiran 1965 ini mengaku sedang menunggu pengesahan proposal bantuan dana dari petugas DPR-Aceh.
“Tujuan Saya kemari adalah ingin berjumpa dengan pengurus Proposal bantuan dana yang di janjikan pemerintah Aceh beberapa bulan yang lalu. Tapi saya tidak tahu keruang mana Saya harus pergi” Ujar Tisanun. Ia lupa dengan nama orang yang ingin dituju. Sehingga, Tisanun harus rela menunggu dari pagi hingga siang untuk mendapatkan kepastian dana bantuan tersebut.
Beberapa bulan yang lalu, Aceh dihangatkan dengan berita panas. Rencana Pemerintah Aceh menerima ribuan proposal dari masyarakat untuk meminta dana bantuan usaha, rumah dan lain sebagainya ternyata hanya mitos belaka. Sehingga pada tanggal (27/12) mengundang kemarahanan masyarakat terhadap Pemerintah Aceh hingga melakukan aksi di depan kantor Gubernur Aceh. Hal itu dikarenakan anggaran proposal bantuan Hibah dan Bansos masyarakat senilai Rp 500 Ribu tidak kunjung dicairkan, hingga membuat massa marah.
Namun, berbeda dengan Tisanun yang memandang positif bahwa anggaran tersebut akan berujung cair. Ia mengatakan bahwa proposal yang Ia ajukan beberapa bulan lalu diproses dengan baik, meskipun sedikit lamban.  “Nyatanya, proposal saya sudah ditanda tangani sampai tingkat DPR-Aceh. Meskipun Saya tak tahu apakah cair atau tidak, yang penting saya sudah berusaha” Tegas Tisanun.
Dalam hal ini, Tisanun menguatkan bahwa perjalanan proposal itu benar-benar dari kantor Gubernur sampai ke DPR-Aceh. Namun, saat itu hanya ada Tisanun berada diruang tunggu DPR-Aceh untuk mengecek terkait proposal yang dianggap tipuan belaka oleh masyarakat. Lalu, bantuan seperti apakah yang akan didapatkan Tisanun dari pihak DPR-Aceh ini?
Tisanun adalah perempuan korban konflik Aceh Tahun 2001 lalu. Dulu, Ia tinggal di Lhokseumawe bersama suami dan satu anak tunggalnya bernama Muhammad Nasir yangmasih berusia 17 tahun. Namun saat itu, kesedihan menimpa keluarga Tisanun. Ia harus merelakan kepergian anak satu-satunya dari dalam hidupnya. Pasalnya, pada saat itu Muhammad Nasir anak Tisanun dan Abdullah ini harus pergi dengan cara sadis. Iapun korban penculikan oleh orang tak dikenal hingga anaknya tak pernah  kembali lagi dalam dekapannya.
Bukannya hanya kehilangan anak, Tisanun juga kehilangan tempat tinggalnya. Rumahnya juga hangus terbakar. “Saya tidak tahu apa salah keluarga saya. Sehingga pada saat itu, kami pasrah dan tak tau berbuat apa-apa” Tutur Tisanun gugup. Ia sebenarnya tak ingin mengulang sejarah dalam hidupnya.
Pada tahun 2005, Tisanun pergi meninggalkan kota Lhokseumawe. Ia harus berhijrah ke kota Banda Aceh. Saat itu, Ia tinggal dirumah Tsunami di Kling Cot Arun. Karena Ia hanya sendiri, rumah itupun dicabut karena permasalahan sengketa tanah dengan pemilik rumah tersebut.
“Saya berpikir, itu adalah rumah saya yang diberikan untuk korban konflik. Ternyata hanya singgahan belaka. Sampai hari ini, saya tidak bisa mempertahankan rumah dan tanah itu. Karena surat rumah dan tanah tersebut tidak ada pada saya.” Kata Tisanun.
“Sekarang ini sementara  saya tinggal di rumah gubuk, kebetulan dulu gubuk tersebut digunakan sebagai kandang lembu. Tapi, saya bersihkan sehingga saya bisa tinggal ditempat ini. Kalau memang Ibu tak percaya, boleh datang ke tempat tinggal saya yang sekarang” Tegas Tisanun menyakinkan kisahnya.
Kehidupan Tisanun seorang diri memang sangat berat. Untuk menjumpai DPR-Aceh saja Ia mengatakan harus meminjam uang untuk ongkos pulang-pergi pada tetangganya. Namun, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, Tisanun harus membuat bata di seputaran tempat tinggalnya.
“Kalau sehari saya tidak pernah mendapatkan uang 15 ribu ke atas. Karena satu bata yang saya buat hanya dihargai Rp 500 rupiah. Meskipun sudah bekerja keras, belum mencapai hasil yang maksimal. Demi mencari uang untuk sesuap nasi, saya harus juga melakukan pekerjaan yang berat tersebut.” Ujar Tisanun.
Tisanun tak pernah berharap lebih. Meskpin Ia tak mendapatkan bantuan rumah, tapi setidaknya bisa mendapatkan bantuan seberapapun untuk menunjang kehidupannya di kota ini. Tisanun mengatakan, Harapan itu akan Ia curahkan kepada Pak Hasbi Abdullah sebagai ketua DPR-Aceh yang telah menandatangi proposal yang diajukan beberapa bulan lalu.
“Saat ini, saya hanya menantikan ulur tangan  pemerintah Aceh. harapan saya ada tempat tinggal saja sudah cukup. Karena, yang paling saya butuhkan adalah rumah sebagai tempat teduh di sini, tak perlu mewah seperti rumah bantuan BRR untuk korban Tsunami, cukup seperti jambo kop saja sudah sangat berterimakasih” Harap Tisanun.










Tidak ada komentar: