Oleh: Siti Aminah
Pagi itu tepat pada
hari selasa (31/12). Seorang perempuan duduk di ruang tunggu kantor DPR-Aceh.
wajahnya tampak gelisah. Sesekali Ia berdiri menjenguk ruang Pak Hasby
Abdullah. Di tangan kanannya ada selembar kalender para Caleg perempuan. Ia
menggulungnya dengan rapi dan meletakkan ke dalam tas jinjing yang Ia bawa. Aku
duduk berhadapan dengannya, dengan tujuan yang sama untuk menjumpai ketua
DPR-Aceh.
“Tunggu siapa Nek?”
Tanyaku. Wajahnya, memang tampak tua dan keriput. Sehingga Aku memanggilnya
dengan sebutan Nek. Sambil kupersilahkan duduk di sampingku, perempuan itu
teryata ingin berjumpa dengan salah satu pengurus proposal bantuan hibah dan
bansos yang pernah dijanjikan oleh Pemerintah Zikir beberapa hari yang lalu.
Namanya Tisanun. Ia
adalah salah satu warga Klieng Cot Arun, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh
Besar. Perempuan kelahiran 1965 ini mengaku sedang menunggu pengesahan proposal
bantuan dana dari petugas DPR-Aceh.
“Tujuan Saya kemari
adalah ingin berjumpa dengan pengurus Proposal bantuan dana yang di janjikan
pemerintah Aceh beberapa bulan yang lalu. Tapi saya tidak tahu keruang mana
Saya harus pergi” Ujar Tisanun. Ia lupa dengan nama orang yang ingin dituju.
Sehingga, Tisanun harus rela menunggu dari pagi hingga siang untuk mendapatkan
kepastian dana bantuan tersebut.
Beberapa bulan yang
lalu, Aceh dihangatkan dengan berita panas. Rencana Pemerintah Aceh menerima ribuan
proposal dari masyarakat untuk meminta dana bantuan usaha, rumah dan lain
sebagainya ternyata hanya mitos belaka. Sehingga pada tanggal (27/12)
mengundang kemarahanan masyarakat terhadap Pemerintah Aceh hingga melakukan
aksi di depan kantor Gubernur Aceh. Hal itu
dikarenakan anggaran proposal bantuan Hibah dan Bansos masyarakat senilai Rp
500 Ribu tidak kunjung dicairkan, hingga membuat massa marah.
Namun, berbeda dengan
Tisanun yang memandang positif bahwa anggaran tersebut akan berujung cair. Ia
mengatakan bahwa proposal yang Ia ajukan beberapa bulan lalu diproses dengan
baik, meskipun sedikit lamban.
“Nyatanya, proposal saya sudah ditanda tangani sampai tingkat DPR-Aceh.
Meskipun Saya tak tahu apakah cair atau tidak, yang penting saya sudah
berusaha” Tegas Tisanun.
Dalam hal ini,
Tisanun menguatkan bahwa perjalanan proposal itu benar-benar dari kantor
Gubernur sampai ke DPR-Aceh. Namun, saat itu hanya ada Tisanun berada diruang
tunggu DPR-Aceh untuk mengecek terkait proposal yang dianggap tipuan belaka
oleh masyarakat. Lalu, bantuan seperti apakah yang akan didapatkan Tisanun dari
pihak DPR-Aceh ini?
Tisanun adalah
perempuan korban konflik Aceh Tahun 2001 lalu. Dulu, Ia tinggal di Lhokseumawe
bersama suami dan satu anak tunggalnya bernama Muhammad Nasir yangmasih berusia
17 tahun. Namun saat itu, kesedihan menimpa keluarga Tisanun. Ia harus
merelakan kepergian anak satu-satunya dari dalam hidupnya. Pasalnya, pada saat itu
Muhammad Nasir anak Tisanun dan Abdullah ini harus pergi dengan cara sadis.
Iapun korban penculikan oleh orang tak dikenal hingga anaknya tak pernah kembali lagi dalam dekapannya.
Bukannya hanya
kehilangan anak, Tisanun juga kehilangan tempat tinggalnya. Rumahnya juga
hangus terbakar. “Saya tidak tahu apa salah keluarga saya. Sehingga pada saat
itu, kami pasrah dan tak tau berbuat apa-apa” Tutur Tisanun gugup. Ia
sebenarnya tak ingin mengulang sejarah dalam hidupnya.
Pada tahun 2005,
Tisanun pergi meninggalkan kota Lhokseumawe. Ia harus berhijrah ke kota Banda
Aceh. Saat itu, Ia tinggal dirumah Tsunami di Kling Cot Arun. Karena Ia hanya
sendiri, rumah itupun dicabut karena permasalahan sengketa tanah dengan pemilik
rumah tersebut.
“Saya berpikir, itu
adalah rumah saya yang diberikan untuk korban konflik. Ternyata hanya singgahan
belaka. Sampai hari ini, saya tidak bisa mempertahankan rumah dan tanah itu.
Karena surat rumah dan tanah tersebut tidak ada pada saya.” Kata Tisanun.
“Sekarang ini
sementara saya tinggal di rumah gubuk,
kebetulan dulu gubuk tersebut digunakan sebagai kandang lembu. Tapi, saya
bersihkan sehingga saya bisa tinggal ditempat ini. Kalau memang Ibu tak
percaya, boleh datang ke tempat tinggal saya yang sekarang” Tegas Tisanun menyakinkan
kisahnya.
Kehidupan Tisanun
seorang diri memang sangat berat. Untuk menjumpai DPR-Aceh saja Ia mengatakan
harus meminjam uang untuk ongkos pulang-pergi pada tetangganya. Namun, untuk
memenuhi kehidupan sehari-hari, Tisanun harus membuat bata di seputaran tempat
tinggalnya.
“Kalau sehari saya
tidak pernah mendapatkan uang 15 ribu ke atas. Karena satu bata yang saya buat
hanya dihargai Rp 500 rupiah. Meskipun sudah bekerja keras, belum mencapai
hasil yang maksimal. Demi mencari uang untuk sesuap nasi, saya harus juga
melakukan pekerjaan yang berat tersebut.” Ujar Tisanun.
Tisanun tak pernah
berharap lebih. Meskpin Ia tak mendapatkan bantuan rumah, tapi setidaknya bisa
mendapatkan bantuan seberapapun untuk menunjang kehidupannya di kota ini.
Tisanun mengatakan, Harapan itu akan Ia curahkan kepada Pak Hasbi Abdullah
sebagai ketua DPR-Aceh yang telah menandatangi proposal yang diajukan beberapa
bulan lalu.
“Saat ini, saya hanya
menantikan ulur tangan pemerintah Aceh.
harapan saya ada tempat tinggal saja sudah cukup. Karena, yang paling saya
butuhkan adalah rumah sebagai tempat teduh di sini, tak perlu mewah seperti
rumah bantuan BRR untuk korban Tsunami, cukup seperti jambo kop saja sudah
sangat berterimakasih” Harap Tisanun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar