Minggu, 17 November 2013

Salam Terakhir Untukmu



Oleh : Siti Aminah
Lelaki itu masih seperti dulu. Fostur tubuhnya kurus, senyumnya masih membekas dalam benakku. Aku mengenalnya beberapa tahun silam. Diantara cerita yang kurangkai, Ia pernah menjadi sejarah dalam hidupku. Namun, terkadang goresan hati dan tangan takkan pernah bisa menyatu. Entah ini namanya peristiwa “kebetulan”. Tapi, Aku percaya bahwa setiap rangkaian kisah dalam hidup adalah skenario Tuhan untuk hamba-hamba pilihannya.
Hari itu  peristiwa terpenting dalam hidupku. Pertemuan tanpa ada perencanaan. Tapi, beberapa tahun lalu, Aku masih mengingat kata-kata terakhir darinya.
“ Bagaimana, jika suatu saat nanti, Aku melihatmu bersama lelaki lain. sedangkan Aku sendiri hanya bisa menatapmu dengan kekosongan?”.  Katanya dengan penuh keyakinan.
Kata-kata itu sangat membekas dibenakku. Kata yang menguatkan bahwa pertemuan pertama tidak akan terjadi perpisahan terakhir. Tapi, itu rencana manusia. Kalau memang dia bukan untukku, tentu Allah akan memisahkan kami dengan cara-Nya.
“Aku yakin, semua akan terjadi sebaliknya”. Balasku. Meskipun dalam hati, Aku tak ingin semua itu terjadi kepada kami.
Aku tak pernah percaya dengan sebuah janji. Janji sebelum menikah hanya sebuah kepalsuan tanpa ada harapan pasti. Semua tentangnya sudah kukubur sedalam mungkin. Sulit memang untuk melupakan yang pertama tapi, yakinlah sesulit apapun akan menjadi mudah jika kita ‘ihklas” melepaskannya. Perpisahan antara kami memang tak ada perlu yang disalahkan. Memang sudah takdir Tuhan bahwa kami tak bisa hidup bersama.
                                                            ***
Waktu itu hari yang sangat melelahkan. Baru saja Aku memberikan materi tentang “gender” untuk mahasiswa Fakultas Dakwah. Sepulang itu, aku pergi ke sebuah warung dimana Aku sering melepaskan rasa penat di sana. Minum segelas bandrek susu dan gorengan akan terasa mengurangi kelelahanku.
Awalnya Aku telah mengajak seseorang untuk bisa duduk bersama. Aku sudah menunggu beberapa menit, Ia tak kunjung tiba. Aku sama sekali tak mempermasalahkannya. Lagian hari itu sudah mulai petang. Sambil menunggu jemariku memang tak bisa diam, kalau tak membaca pasti  memilih untuk menulis apa saja dikertas putih. Apakah itu puisi, cerita hari itu atau sepenggal tulisan hanya untuk membunuh rasa bosanku.
Setegup air putih  dengan sekejab menghilangkan rasa hausku.  Menulis adalah untaian kalimat yang mewakili perasaan hati. Rangakaian puisi itu Aku tulis hanya mengulang memory masa lalu. Intinya, Aku belajar dari hidupku yang telah berlalu. Menggambarkan sosok yang pernah mengisi kekosongan hati, mengukir semangat lewat prestasi. Imajinasiku langsung memasuki kalimat demi kalimat yang terurai sendirinya lewat bait-bait puisiku.
Sosok yang pernah hadir dalam hidupku
Memberiku harapan dengan kekuatan ‘Mahabbah”
Cinta itu terukir bagai salju
Namun,  mengikis rasa dipenghujung iba
Dunia takkan pernah kecil dengan cinta itu
Karena suatu ketika ucapan akan menjadi kenyataan tanpa ada perencanaan.
Percayalah..hanya ihklas yang membuat hati jadi tegar dan damai..

Kubiarkan tulisan itu terbentang di atas meja. “ Ah, siapa yang peduli dengan rangkain tulisan ini. Hanya ada Aku dan Tuhan di sini.” Pikirku.
Aku menatap dengan pandangan kosong ke arah tulisan itu. Benar-benar menakjubkan sebuah keihklasan yang tergambar dalam hatiku. Aku menulis tanpa ada rasa benci. Dulu, Aku memang membencinya. Karena cintaku kulabuhkan alakadarnya, hatiku menghapus rasa benci itu.

“Ini puisi kebetulan, tak ada niat untuk mengulang” Hatiku mulai berbicara. Tiba-tiba,
Lamunanku dikejutkan oleh kehadiran dua sosok yang tak asing dimataku. Dua orang yang sangat Aku kenal, mereka juga mengenalku. Baru saja, Aku merangkainya lewat tulisan. Tuhan  langsung menjawab pertanyaanku beberapa Tahun yang lalu bahkan hari itu juga.

“ Aku yang akan melihatmu, sedang Aku sedang sendiri dalam kekosongan”.
“ Subhallah” Pikirku.
Apa yang kurasakan? Aku hanya memberi salam pada keduanya.
Memang terasa sangat aneh dan asing. Terkadang sikap  menjadi salah tingkah. Aku seperti mimpi disiang hari. Aku hanya melihatnya, yah melihatnya bersama orang baru dalam hidupnya.
Sebelumnya Aku pernah lari dari kenyataan. Aku tak bisa bertemu dengannya lagi, apalagi jika Aku melihatnya dengan perempuan lain. itu tentu sangat menyesakkan dadaku.
Tapi hari ini, kedua bola mataku menatap dua sosok yang pernah terbesit dalam pikiranku. Dulu Aku menatapnya dengan cinta. Saat ini, Aku melihatnya seperti  teman biasa. Seperti Ia tak pernah hadir dalam hidupku. Padahal, Ia adalah yang pertama dulu untukku.

“Oh, Tuhan. Kemana rasaku. Apa Aku sudah mati rasa. Bukankah Aku pernah menulis bahwa, dia yang terbaik. Tapi sekarang bukan dia yang membaikkannku. Dulu Aku mengatakan bahwa dia segalanya. Hari ini, dia bukan apa-apanya di hadapanku.”.

Aku menormalkan sikapku. Aku hanya memberi senyum dan salam pada mereka. Bahkan, kami masih sempat bercanda. Bukankah Aku akan merasa sakit hati?
Hatiku benar-benar hilang. Aku tak menemukan diriku yang dulu dihadapannya. Hari ini Aku menemukan pelajaran hidup yang takkan pernah kulupakan seumur hidup.

“Disaat Aku belajar arti sebuah keihklasan. Tuhan, memberiku kekuatan. Bahkan Ia menghilangkan rasaku saat Aku berpikir Aku takkan bisa melihatnya lagi. Tuhan mendengar doa,aku yang lalu, Ia mengabulkannya saat Aku menulis lagi tentangnya. Saat itu juga, keyakinanku bertambah. Tak ada sedetikpun dalam hidup ini tanpa ada Pengawasan dari-Nya, Ia memberiku cinta, jika Aku mencintai seseorang melebihi dari cintaku kepada-Nya, maka Ia mengambilnya dariku. Itu semua agar Aku bisa memilih mencintai-Nya dari pada Aku memilih orang yang belum tentu milikku.”

Aku memutuskan meninggalkan mereka lebih awal. Bukan karena ketidakberdayaanku. Tetapi, karena Aku tak ingin mengusik ketenangan mereka. Aku bahagia melihatnya bahagia, bukankah begitu cinta sesungguhnya?
Sepulang dari tempat itu, Aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidur. sambil menunggu Azan Magarib Aku membuka sebuah buku. Sebuah kisah perjalanan cinta yang mebangun spritualitas. 
ku pernah ………..
Aku pernah tersenyum meski kuterluka !
karena kuyakin Tuhan tak menjadikannya untukku,
Aku pernah menangis kala bahagia,
karena kutakut kebahagiaan cinta ini akan sirna begitu saja,
Aku pernah bersedih kala bersamanya,
karena kutakut aku kan kehilangan dia suatu saat nanti, dan
Aku juga pernah tertawa saat berpisah dengannya,
karena sekali lagi, cinta tak harus memiliki, dan
Tuhan pasti telah menyiapkan cinta yang lain untukku.

penggalan puisi itu sudah cukup menghiburku. Bahwa sejatinya cinta memang tak harus memiliki. Kalau memang pertemuan itu hanya sebatas ujian untukku, Aku menerimanya dengan keimananku. Karena iman dalam hati, takkan pernah bisa mengusik  lubuk hati paling dalam sekalipun. Aku bisa belajar dari banyak kisah takdir cinta hidup orang. Kisah yang menyentuh hati agar tidak menyalahkan qadar cinta itu sendiri. Ceritaku memang tidak apa-apanya. Tapi, bagiku kehidupan ini adalah catatan yang harus dilukiskan lewat tulisan. Tulisan takkan pernah  memudarkan  sejarah masa lalu. Lewat ini, Aku bisa belajar lebih banyak.  Karena sejatinya hidup  tanpa cinta memang sirna, tapi lebih sirna jika kita menegakkan cinta bukan mengharap Ridha dari-Nya.






Tidak ada komentar: